Dinamisme Pembangunan Berkelanjutan dan Membangun kesadaran bersama : dunia yang bergerak cepat

Dhany.R, Januari 2014

Dinamisme Pembangunan Berkelanjutan dan Membangun kesadaran bersama : dunia yang bergerak cepat

 Dunia yang Bergerak Cepat
Setelah abad pertengahan,dimulai dengan era rennaissance (awal 1300an sampai awal 1600an) yang kemudian diikuti abad pencerahan atau Enlighment (awal 1700an sampai pertengahan 1700an), peradaban dunia mulai berkembang dan mengalami perubahan secara cepat. Era rennaissance diawali dengan gerakan kebudayaan yang mencakup berbagai kesenian yang hidup di masyarakat sebagai penggerak dinamika perkembangan zaman. Berbagai pandangan dan penemuan-penemuan baru dalam bidang keilmuan telah membongkar kemapanan tradisi.
Penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1976, telah memicu revolusi industri di negara eropa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era inilah yang kemudian merubah peradaban manusia dan menandai masa kejayaan pengetahuan manusia dalam teknik kerekayasaan industri dan pemanfaatan sumber daya alam. Penemuan di bidang teknik tersebut kemudian didukung dengan lahirnya teori ekonomi oleh Adam Smith (1776) yang mengemukakan pendapatnya mengenai pasar bebas.
Kualitas lingkungan dan status kesehatan yang semakin meningkat menyebabkan jumlah penduduk terus meningkat hingga terjadi ledakan jumlah penduduk dunia. Pada tahun 1806 penduduk dunia hanya mencapai 1 milyar, dan kemudian secara berangsur, naik menjadi 2 milyar pada tahun 1927 dan menjadi 3 milyar pada tahun 1960an. Kemudian, hanya dalam waktu kurang dari setengah abad atau antara tahun 1960-2000, penduduk dunia telah meningkat berlipat menjadi 6 milyar.
Masalah yang muncul kemudian adalah dengan jumlah penduduk yang semakin besar adalah persoalan pemakaian energi yang besar sehingga mendorong eksploitasi yang tinggi pula pada sumberdaya alam. Kekhawatiran akan terjadinya kelangkaan pangan, energi, meningkatnya polusi udara, pencemaran air, dan berbagai kerusakan lainnya adalah konsekuensi logis dari kondisi yang sedang berlangsung. Negara-negara maju pun saling berlomba untuk memenuhi ambisi dan keinginannya dengan melakukan segala cara dalam hal penguasaan sumber daya alam di bumi dan menjadi penguasa modal yang dapat mengontrol dunia. 
Perubahan terjadi begitu cepat dan berlangsung di seluruh belahan dunia, mengakibatkan kemajuan dalam peradaban manusia namun sekaligus juga melahirkan ketimpangan sosial-ekonomi, perkembangan global sekaligus pemikiran budaya lokal, eksploitasi sumber daya alam dan dampak kerusakannya yang kompleks, hingga akhirnya bermuara pada persoalan keadilan dan keberlanjutan masa depan. Muncul kekhawatiran akan datangnya bencana ekologi yang dapat menyebabkan daya dukung kehidupan hancur dan sulit dipulihkan lagi. Suatu bencana sistematis yang mengancam kehidupan generasi masa depan jika kita tidak memiliki kesadaran mulai dari sekarang, saat ini.

Pembangunan berkelanjutan
Rachel Carson, pada tahun 1962 mengarang sebuah buku yang berjudul “The Silent Spring” (Musim semi yang sunyi). Dalam buku tersebut, carson menguraikan tentang adanya penyakit baru yang mengerikan dan kematian hewan yang disebabkan oleh pencemaran. Buku tersebut berpengaruh amat besar dan semakin meluas setelah ditemukannya telur burung yang tak dapat menetas, ikan, dan hewan lain yang mengalami kematian secara besar besaran. Kota kota besar Los Angeles Amerika serikat dilanda pencemaran udara yang parah yang mengganggu kesehatan dan merusak tumbuhan. Bahkan, air susu ibu pun telah mengandung residu pestisida.
Club of Rome, yang terdiri dari peneliti dan industriawan, mengeluarkan laporan yang bertajuk Limits to Growth. Laporan ini banyak didiskusikan mengingat pandangannya yang pesimistik sekaligus menggugah kesadaran akan masa depan. Berdasarkan hal tersebut, keprihatinan dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan pun mulai tumbuh dan mulai di vokalkan secara lantang dimana gerakan kesadaran tersebut awal mulanya berkembang dari negara-negara maju. Persoalan tersebut bukanlah hanya merupakan masalah di negara maju melainkan juga untuk peringatan pada seluruh dunia tentang dampak kerusakan lingkungan yang semakin meluas.
Kerusakan lingkungan tidak pernah mengenal batas negara. Pengrusakan lapisan ozon, pemanasan global, berkurangnya keragaman hayati, hujan asam, dan kerusakan lainnya, merupakan ancaman yang terjadi diseluruh dunia dan tentunya sangat merugikan. Menurut Edith Brown Weiss (1991), menyatakan bahwa secara garis besar ada tiga tindakan generasi dulu dan sekarang yang sangat merugikan generasi mendatang di bidang lingkungan yaitu : pertama, konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya berkualitas, membuat generasi mendatang harus membayar lebi mahal untuk dapat mengkonsumsi seumber daya alam yang sama; kedua, pemakaian sumber daya alam yang saat ini belum diketahui manfaatnya secara berlebihan ; ketiga pemakaian sumberdaya alam secara habis-habisan oleh generasi dulu dan sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya alam yang tinggi.
Menyikapi masalah tersebut, PBB kemudian membentuk World Commision Environment and Development (WCED) untuk mengkaji permasalahan tersebut yang berkaitan dengan lingkungan dan pembangunan. Hasil penelitian dan pengkajian tersebut dituangkan dalam laporan yang berjudul our common future pada tahun 1987 yang memunculkan konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan. Menurut WCED, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Didalam konsepsi pembangunan berkelanjutan, mengandung dua gagasan penting yakni:
-       Gagasan “kebutuhan”, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin di dunia, yang harus diprioritas utamakan;
-       Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.
Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus diucapkan dalam gagasan keberlanjutan disemua negara maju dan berkembang. Meskipun penafsiran konsepnya akan berbeda-beda namun tetap ada ciri umum yang menandai pembangunan berkelanjutan tersebut yaitu perhatian terhadap segala kebutuhan generasi masa kini dan juga untuk generasi masa depan.
Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya bukanlah suatu konsep yang lahir begitu saja melainkan melalui proses panjang yang bahkan secara implisit telah ada pada masyarakat tradisional di berbagai bangsa sejak masa lalu. Pertama kalinya prinsip pembangunan berkelanjutan dirumuskan oleh negera-negara di dunia pada konferensi Stockholm tahun 1972. Dalam konferensi tersebut dinyatakan bahwa sumber daya alam harus diselamatkan demi keuntungan (kesejahteraan) generasi kini dan mendatang melalui perencanaan atau pengelolaan yang secermat mungkin. Akan tetapi, dalam perkembangannya, sangat sedikit hasil kesepakatan dalam konferensi Stockholm yang di implementasikan.
Konvergensi antara meningkatnya kebutuhan pembangunan dan ekonomi dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia mengakibatkan penggunaan sumber daya alam semakin meningkat. Berbagai kerusakan lingkungan yang tergolong “baru” saat itu, seperti kerusakan lapisan ozon, pemanasan global, hingga hujan asam merupakan masalah global, sehingga penanganannya harus secara global pula.
Di dalam buku sectoral Agenda 21 Book 1 : Guidebook For Sustainable Development: An Effort to Achieve A Better Quality of Life (2000) disebutkan bahwa:
“ ...unlike other existing development theories brought up by economic development thinkers,...the emergence of sustainable development concept has a different dimension. The emergence was closely connected with the rise of the environmental awareness”
Pernyataan diatas menunjukan bahwa pembangunan berkelanjutan sesungguhnya, sangat erat hubungannya dengan kesadaran lingkungan. Neuman dan Sarantakos, sebagaimana dikutip Erlyn Indiarti (2000), menyebutkan bahwa konsep adalah blok-blok dasar yang menyusun suatu teori. Selanjutnya, konsep mengandung asumsi secara built in yakni pernyataan mengenai sifat dan ciri-ciri berbagai hal yang tidak atau belum diobservasi maupun di test. Maka benar, jika dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mengandung asumsi yang menyangkut mengenai environmental awareness sebagaimana dijelaskan.

Tatanan Global Yang Berubah
Berakhirnya Kapitalisme Klasik dan kelahiran Neo-liberalisme
Setelah perang dunia kedua usai, yang ditandai dengan kemerdekaan negera-negara selatan mengakibatkan perubahan yang sangat besar pada tatanan sosial dan ekonomi. Perubahan tersebut disebabkan oleh banyaknya kecaman terhadap ekses-ekses dalam sistem ekonomi kapitalisme klasik yang lahir dari paham ideologi di negara-negara barat. Dimana, dibanyak negara, eksploitasi tenaga buruh secara kejam dan kesenjangan yang tinggi antara pemilik modal dan kaum buruh. Sehingga, melahirkan pemberontakan kaum buruh di negara-negara utara sekitar tahun 1930-1940an yang juga diikuti keberhasilan perjuangan kemerdekaan di negara-negara selatan pada rentang tahun 1940-1950. Situasi kemudian dapat memaksa berakhirnya paham kapitalisme klasik tersebut.
Paham kapitalisme klasik, yang menyebutkan bahwa pemerintah dilarang ikut campur tangan dalam urusan warga negara, lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus proaktif mengatur kehidupan ekonomi sosial. Dalam kondisi ini, kemudian lahir konsepsi negara kesejahteraan (welfare state). Dimana dalam konsep tersebut, ide solidaritas mendasari distribusi kebijakan sehingga diperlukan otoritas negara untuk memberikan perlindungan. Hukum berperan sebagai pelegitimasi negara yang memiliki peran cukup besar dalam konsep negara kesejahteraan.
Perubahan ini ini juga disebabkan karena mulai tersebarnya paham paham sosialisme yang menginginkan distribusi kekuasaan secara merata. Paham ini berkembang karena pengaruh aliran ekonomi yang dipelopori, John Maynard Keynes (1883-1946). Gagasan ekonominya, telah menggeser kebijakan liberal menjadi state-ism, yang mengarah pada menguatnya peran negara selaku penyelenggara kesejahteraan rakyat. Hal inilah yang kemudian mendasari lahirnya neo-kapitalisme atau neo-liberalisme.
Konsepsi ini juga sangat dipengaruhi paham filsafat liberalisme dimana menurut Miriam Budiardjo, diartikan sebagai pemerintahan yang sedikit mencampuri urusan warga negaranya adalah yang paling baik. Dengan dilepaskannya negara dan urusan warga negara, maka pasar berjalan sedemikian bebas.
Dalam paham neo-liberalisme, pemerintah merupakan aktor utama dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam perkembangannya, akumulasi modal kaum kapitalis mulai bergerak lamban. Beberapa penyebabnya adalah kemunculan paham keadilan sosial, paham kesejahteraan rakyat, paham pengelolaan sumberdaya alam dan proteksionisme. Karena itulah timbul dorongan bagi negara-negara kapitalis untuk menyingkirkan atau mengurangi paham-paham itu. Strategi neoliberalisme kemudian berusaha menyingkirkan rintangan investasi, perlindungan hak kekayaan intelektual, penghapusan subsidi layanan sosial yang diwujudkan melalui mekanisme pasar bebas. Perusahaan swasta kemudian coba dibebaskan dari campur tangan pemerintah untuk melakukan pengaturan sendiri di bidang buruh, harga dan investasi.
            Kesejahteraan bersama dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga dianggap merintangi pengembangan hak kekayaan intelektual. Sedangkan pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat adat atau tradisional dianggap tidak akan efektif untuk kepentingan kapitalisme. Sehingga perlu diintroduksikan konsep pengelolaan sumberdaya alam melalui mekanisme pasar bebas untuk mengakomodasi kepentingan kapitalisme tersebut.
Negara-negara maju/industri kemudian membentuk World bank, IMF dan GATT. Menurut Martin Khor Kok Peng, World Bank dan IMF, yang semula direncanakan sebagai lembaga keuangan untuk membantu pembangunan negara-negara, ternyata digunakan sebagai alat nagara-negara maju untuk memaksakan model pembangunan yang justru hanya menguntungkan negara maju. Bahkan, World Bank dan IMF dan yang kemudian dibentuknya WTO, menentukan diterapkannya persyaratan-persyaratan yang mengarah pada upaya memfasilitasi berlakunya ekonomi pasar bebas di negara manapun.

Modernisasi
Setelah era Kolonialisme telah benar-benar berakhir pasca perang dunia yang kemudian dilanjutkan dengan Kebangkitan negara-negara baru di Asia dan Afrika, muncul kemudian ancaman baru bagi eksistensi paham kapitalisme. Hal ini dikarenakan, banyak dari negara-negara yang baru merdeka tersebut lebih tertarik pada paham sosialisme.  Sehingga perlu dilakukan upaya rekayasa sosial dengan mendorong para peneliti sosial utuk mengembangkan teori-teori yang bisa diintroduksikan untuk mengembalikan kejayaan kapitalisme. Lahirlah kemudian teori Modernisasi, atau teori Pembangunan.
Istilah pembangunan mulai populer ketika presiden Amerika Serikat kala itu, Harry S. Truman melontarkan konsep pembangunan sebagai resep baru untuk mengatasi keterbelakangan negara-negara Selatan (bekas jajahan Eropa) dan bagaimana upaya-upaya untuk memperbaiki wilayah bekas jajahan tersebut yang tentunya masih mengalami masa transisi dengan ekonomi yang labil. ide awal pembangunan bisa jadi sederhana, tetapi implikasi praktisnya tidak dapat disederhanakan dikarenakan realitas kehidupan diisetiap negara sangat kompleks dan beragam.
Menurut pengamatan Wolfgang Sach, konsep pembangunan atau modernisasi, memiliki sejumlah kelemahan yang berkaitan dengan tragedi kemanusiaan dan masalah kelestarian lingkungan. Kesenjangan terjadi di kalangan masyarakat dan kelompok kecil sementara yang menguasai sebagian besar aset produktif. Proyek-proyek modernisasi yang diyakini dapat menjadi solusi, ternyata juga tak mampu menyelesaikan masalah peradaban manusia.
J.W. Schoorl menuliskan pula bahwa modenisasi suatu masyarakat merupakan sebuah proses tranformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya. Mansour Fakih menyebutkan bahwa penggunaan istilah modernisasi di dunia akademik seringkali ditukarbalikkan dengan istilah pembangunan. Secara agak samar, schoorl modernisasi juga merupakan proses westernisasi dimana terjadi penyesuain terhadap mekanisme pasar dan penyesuaian budaya-budaya barat. Dengan demikian, modernisasi dapat diukur sejauhmana pola dan nilai-nilai demookrasi barat tertanam dan berkembang dalam masyarakat tersebut. dengan demikian, sudah pasti bahwa modernisasi bernuansa kapitalis. 

Kegagalan modernisasi
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara berkembang menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya melalui perusahaan multinasional yang melakukan eksploitasi sumberdaya alam di negera-negara berkembang. Keberhasilan Penerapan teori modernisasi di negara berkembang,  menunjukan hal yang berlawanan dengan yang terjadi di AS das Eropa barat. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan modal untuk melaksanakan pembangunan. Negara industri di Eropa barat telah mengawali proses modernisasinya sejak abad 18 dan 19, ketika proses industrialisasi masih membutuhkan modal yang kecil. Modernisasi dapat dijalankan tanpa bantuan pemerintah hanya dijalankan oleh pengusaha dan masyarakat.
Sementara, modernisasi di dunia ketiga  membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia. Keterlambatan tersebut kemudian membutuhkan peran negara untuk terjun langsung dalam proses akumulasi modal, mendirikan perusahaan negara, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan. Hal ini kemudian menenpatkan pembangunan sebagai ideologi.
Saat ini, di negara-negara dunia ketiga, telah terjadi kolaborasi kekuatan kapitalisme global antara negara dan pengusaha. Untuk kepentingan tersebut maka rakyat dan lingkungan akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus menerus diperbesar untuk akumulasi modal.
Mahbub ul Haq (1983) melontarkan kritik keras dalam bukunya “Tirai Kemiskinan” bahwa perencanaan pembangunan telah terbius permainan angka-angka dan kurang tertarik memahami realitas lapangan. Para perencana pembangunan sering dihinggapi penyakit myopi atau tak dapat melihat secara jauh dan lebih luas dari sekedar kacamata ekonomi.
“perencanaan pembangunan terlalu terpukau oleh laju pertumbuhan GNP yang tinggi dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan. Ini dosa yang paling tidak dapat dimaafkan. Di negara demi negara, pertumbuhan ekonomi disertai jurang perbedaan pendapat, antar perorangan maupun daerah, yang semakin menganga. Dari negara ke negara, rakyat banyak makin menggerutu karena pembangunan tidak menyentuh kehidupan sehari-hari mereka. Pertumbuhan ekonomi seringkali bararti sedikit sekali keadilan (Haq. 1983:37)”
Menurut Baiquni (1996), Para aktivis lingkungan terutama yang menganut paradigma Deep Ecology menganggap bahwa modernisasi sama dengan kerakusan manusia atas alam. Kecenderungan modernisasi yang menggalang akumulasi modal dan pemanfaatan sumber daya alam sebesar besarnya, telah dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan yang kini tengah berlangsung.

Demokratisasi
Roberto M.Unger menyatakan bahwa para ahli hukum abad ke19 telah berusaha untuk menciptakan struktur hukum yang didasari ide demokrasi dan pasar bebas yang harus ada dalam sistem pemerintahan republik. Ada simbiosis mutualisme didalamnya yaitu pasar bebas akan memberikan keuntungan bagi kepentingan kapitalisme apabila dijamin adanya demokrasi.
Isu demokratisasi telah menumbuhkan berbagai kesadaran dan desakan untuk membangun konsep pemerintah yang baik (good governance) berupa : 1) pelaksanaan demokrasi dan HAM, 2) perlindungan lingkungan hidup, 3) perbaikan standar kehidupan buruh, 4)  peningkatan peran perempuan, 5) pemberantasan korupsi dan perwujudan clean government. Dengan demikian, globalisasi juga memberikan dampak positif karena melahirkan kesadaran-kesadaran tersebut.
Gagasan baru diperkenalkan oleh Anthony Giddens dengan istilah The Third Way dalam bukunya yang berjudul the third way. Konsep third way merupakan pilihan ketiga antara kapitalisme dengan sosialisme guna menembus dan mengatasi ketimpangan sosial yang terjadi. Reformasi pengelolaan pemerintahan (governance) harus menjadi agenda utama “jalan ketiga”, sehingga perlu dibentuk kemitraan antara pemerintah dengan komponen-komponen lain dalam masyarakat yang bercirikan civil society, seperti masyarakat bisnis, dan komponen masyarakat lainnya. Masyarakat bisnis yang dicita-citakan dalam the third way ini seharusnya tidak hanya mengejar kesejahteraan materi saja tetapi juga kesejahteraan sosial dan spiritual, hidup harmoni dengan lingkungan sesuai dengan prinsip berkelanjutan. Namun, nampaknya hingga saat ini, konsep the third way masih menjadi cita-cita yang terlalu agung  yang menghiasi mimpi negara-negara di dunia. sehingga belum dapat diimplementasikan secara penuh dan masih sebatas wacana.

Pembangunan berkelanjutan pada tatanan sosial yang berubah
Tingkat Global (Proses Globalisasi)
Apabila dilihat dari kronologi kelahirannya, konsep pembangunan berkelanjutan dilahirkan pada tatanan sosial ketika PBB masih kuat menyuarakan perlunya kerjasama yang saling menguntungkan antara negara utara dan negara berkembang. Selain itu, paham walfare state (negara kesejahteraan) menjadi ide yang cukup dominan dalam penyelenggaraan negara di negara maju maupun dunia ketiga. Konsep negara kesejahteraan merupakan jawaban atas ekses-ekses negatif paham kapitalisme periode pertama yang sangat meminimalkan peran negara, yang kemudian berganti dengan kapitalisme periode kedua yaitu neo-liberalisme.
Akan tetapi, keadaan menjadi berubah ketika memasuki era globalisasi yang terjadi tahun 1990-an. Globalisasi, sangat mempengaruhi daya konsep pembangunan berkelanjutan sebagai konsep yang melandasi pengelolaan lingkungan baik di tingkat global maupun di negara-negara. Pendorong utama terjadinya globalisasi adalah ekspansi kapitalisme global yang menuntut agar tata perekonomian dunia harus diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Sistem penjajahan fisik telah berganti menjadi menjadi sistem penjajahan yang baru yang tujuannya untuk ekspansi kapitalisme global. Pembentukan World bank, IMF, GATT, dan WTO adalah mesin-mesin yang setia menjalankan ideologi kapitalisme tersebut.
Era globalisasi juga di pahami sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi oleh negara-negara dalam melaksanakan pembangunan, baik negara industri maupun di negara berkembang adalah terjadinya hubungan antara negara yang semakin dekat dan transparan yang ditopang oleh sarana kemajuan yang canggih. Dalam KTT pembangunan berkelanjutan, masalah globalisasi mendapat perhatian sehingga peserta sepakat bahwa globalisasi mengahadirkan peluang dan tantangan pembangunan berkelanjutan. Para peserta menyadari bahwa globalisasi dan interdependensi menghadirkan peluang-peluang baru bagi perdagangan, investasi dan arus modal serta kemajuan teknologi namun disatu sisi, terdapat tantangan yang serius termasuk krisis keuangan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Negara berkembang khususnya, menghadapi kesulitan khusus dalam menghadapi tantangan dan peluang tersebut.
Di era globalisasi, world bank, IMF, dan WTO seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, semula direncanakan sebagai lembaga keuangan untuk membantu pembangunan negara-negara, ternyata kini telah mengalami pergeseran fungsi sebagai alat kapitalisme negara-negara maju, termasuk pemberlakuan ekonomi pasar bebas di setiap negara.
Mengutip dari buku prof FX Adji Samekto tentang "kapitalisme dan kerusakan lingkungan", didalamnya diuraikan hasil penelitian Maria Hartiningsih (2002) yang menunjukan kekuatan lembaga WTO dan IMF semakin jauh kekuatannya dibanding dengan PBB. Kekuasaan dan pengaruh PBB semakin menurun di bidang sosial dan ekonomi. Berikut dapat dilihat pendekatan kebijakan WTO dan PBB dalam isu sosial-ekonomi yang sangat berbeda :

IMF dan WTO
PBB
Mempromosikan pemberdayaan pasar dan peran minimal negara, serta pelaksanaan liberalisasi yang cepat
Beroperasi dengan keyakinan bahwa intervensi publik baik ditingkat nasional maupun internasional sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar dan HAM
PBB berkeyakinan bahwa pasar saja tidak mampu memecahkan berbagai masalah konkret dalam masyarakat, sebaliknya justru akan menciptakan masalah baru.
Model globalisasi yang dipromosikan adalah globalisasi dengan prinsip liberalisasi dan model pasar laissez faire serta prioritas tinggi untuk kepentingan perdagangan internasional
Model globalisasi yang dipromosikan adalah mengedepankan kemitraan. Menganjurkan agar negara kaya membantu negara yang lebih miskin guna memenuhi hak-hak manusia untuk pembangunan dan memenuhi kebutuhan sosial

Anjuran PBB agar negara kaya membantu negara miskin tidak terlalu menarik bagi negara maju bahkan mungkin saja menghambat perekonomian. Oleh karena itu, ketika berbagai konferensi Internasional yang diadakan oleh PBB sangat intensif membahas tata ekonomi dunia yang timpang, liberalisasi perdagangan malah semakin melaju cepat. Indikatornya adalah dengan meningkatnya monopoli oleh korporasi-korporasi internasional, perusahaan keuangan dan dominasi lembaga keuangan internasional.
Dalam perkembangannya, PBB pun tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh korporasi internasional itu. Penelitian Martin Khor Kok Peng (2002) bersama organisasi non pemerintah Third World Net (jaringan dunia ketiga), menyatakan bahwa PBB kini semakin dekat dengan korporasi korporasi multinasional dalam Business Action for Sustainable Develpoment (BASD) yang didalam faktanya melakukan praktik pembangunan yang merusak lingkungan. Penelitian Jed Greer dan Kenny Bruno menunjukan bahwa pada tahun 1990-an, korporasi multinasional telah memberi pengaruh atas berbagai urusan internasional. Istilah yang digunakan untuk itu adalah “Kamuflase Hijau”, dimana koroprasi tersebut mengendalikan pendekatan lingkungan dalam sistem PBB, terutama dalam konferensi PBB di Rio de Janiero tahun 1992.  Sehingga jelaslah bahwa dalam era globalisasi adalah kemenangan ideologi kapitalisme dan keruntuhan tatanan sosial yang melandaskan diri pada sosialisme.
Laporan Sekjen PBB pada pembukaan konferensi dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002, menyatakan bahwa antara 1992 – 2002 terjadi kekosongan pelaksanaan agenda-21. Kondisi lingkungan justru semakin buruk. Laporan tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa dominannya peran korporasi multinasional dalam ekonomi dunia tidak paralel dengan membaiknya kondisi lingkungan. Maka benar bila dikatakan bahwa globalisasi dengan segala implikasinya, telah merubah tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Salah satu sebab kegagalan dalam proses mengimplementasikan paradigma tersebut adalah karena paradigma tersebut kurang dipahami sebagai sesuatu yang memuat prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Selain itu, terdapat perbedaan pandangan antara negara-negara barat dengan dunia ketiga tentang bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan harus diimplementasikan. Paula J Dobriansky dari Departeman Luar Negeri Amerika Serikat urusan masalah global, menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dimulai dari konsep menentukan nasib sendiri yang kemudian didukung dengan kebijakan dalam negeri yang efektif. Cara terbaik untuk melaksanakan kebijakan negara yang efektif adalah melalui pembinaan kemitraan antara swasta dengan publik di tingkat lokal, nasional dan level internasional (Maria Hartiningsih, 2000).
Dalam pandangan Amerika Serikat, dengan cara ini, pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat memberi keuntungan bagi negara berkembang dan negara maju. Lanjutnya, basis utama konsep pembangunan berkelanjutan adalah masyarakat dapat menentukan dirinya sendiri yang dipersiapkan untuk berpartisipasi dalam perdagangan bebas multilateral dengan mensyaratkan adanya good governance (kepemerintahan yang baik). Good  governance dalam konsep Amerika Serikat adalah kekuasaan pemerintah yang lebih terbatas demi pasar. Kekuasaan yang lebih besar harus dialihkan kepada korporasi multinasional (multinational corporations/MNC)  (Maria Hartiningsih,2000). Konsep tersebutlah, yang kemudian dinyatakan Amerika Serikat dalam world summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada september 2002 dan dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara dunia ketiga.
Pandangan Amerika Serikat tentang penjabaran Good Governance yang dapat menjamin pelaksanaan konsep Pembangunan Berkelanjutan tersebut sangatlah berbeda dengan pandangan negara-negara dunia ketiga. Konsep Good Governance yang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan menurut negara-negara dunia ketiga adalah pemerintah yang mampu bertanggung jawab dan dipercaya (accountable), transparan, membuka partisipasi yang luas bagi masyarakat dan menjalankan penegakan hukum secara efektif.  Akan tetapi, sesuai dengan agenda 21, dibuka nya partisipasi yang luas bagi masyarakat, tetap mengedepankan kemitraan, dan peduli terhadap masalah kemiskinan. Dalam hal ini, maka pemerintah memang harus membatasi campur tangannya kepada rakyatnya namun bukan berarti kekuasaan ekonomi dialihkan ke pihak swasta atau perusahaan multinasional.
Posisi strategis dan kekuatan politis negara-negara maju dalam kancah internasional sangat mampu merubah tatanan sosial yang menempatkan kepentingan kapitalisme diatas segalanya. Lahirnya globalisasi, dengan segala implikasinya seperti modernisasi hingga demokratisasi tak lain adalah sebuah kamuflase untuk melindungi kejayaan perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) dan semakin dalam menancapkan tiang-tiang kapitalisme di negara-negara berkembang.

 Tingkat Nasional (Otonomi Daerah)
Hakikat demokratisasi adalah menciptakan kekuatan-kekuatan baru diluar kekuasaan pemerintah pusat secara merata. oleh karena itu, kebijakan yang cocok adalah dengan  adanya desentralisasi sistem penyelenggaraan pemerintahan ke daerah – daerah yang berbasis geografis dan lokal. Sehingga kekuatan masyrakat lokal menjadi penting untuk memajukan kesejahteraan didaerah-daerah. Model tersebut dikenal dengan Otonomi daerah.
Era otonomi daerah merupakan tatanan baru yang diharapkan bisa menciptakan kesejahteraan kepada masyarakat lokal, melalui pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Maka pelaksanaan otonomi daerah harus dapat menumbuhkan demokrasi dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Namun, dalam perkembangan dewasa ini, pergesaran sisitem tersebut kemudiaan menimbulkan persaingan dan ego antar daerah untuk berlomba menjadi yang termaju. Hal ini dikarenakan indikator kemajuan adalah pembangunan, sesuai dengan ideologi modernisme.  untuk itu, masing-masing daerah seakan berlomba dalam melakukan eksploitas sumberdaya alam dan sekaligus berlomba dalam menciptakan kerusakan di masing-masing daerahnya.
Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan dalam tataran nasional seharusnya tercermin dalam penegakkan hukum lingkungan, konsistensi dan penataan ruang dan pelaksanaan AMDAL. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana ketiga hal tersebut di era otonomi daerah sekarang ini. Pergeseran sistem penyelenggaraan pemerintahan dari Sentralistik menuju desentralisasi merupakan bagian dari perubahan tatanan sosial yang juga turut mempengaruhi implementasi konsep Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia.
Sejatinya, implementasi pembangunan berkelanjutan , mensyaratkan seluruh kegiatan pembangunan harus betul-betul didasarkan atau sesuai dengan perencanaan penataan ruang. Dalam konteks tata ruang, tentunya perijinan merupakan hal yang sangat sentral sebagai pengendali agar segala sesuatu tetap berjalan sesuai koridor tata ruangnya yang dituangkan dalam aturan hukum.  Namun, ketika disuatu daerah, kecenderungan untuk meningkatkan PAD menjadi dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka terjadi hubungan yang tidak seimbang antara pemerintah dan swasta. Kedudukan penting pihak swasta dalam memajukan perekonomian menjadi sebuah senjata untuk menekan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan pasar saja.  Misalnya saja dengan melakukan pembangunan tanpa mengindahkan acuan tata ruang wilayah yang telah ditetapkan.
Tidak dapat dipungkiri dalam kondisi yang masih bersifat transisi (akibat pengaruh globalisasi), masing-masing institusi berusaha untuk tetap survive dengan segala cara berdasarkan kepentingannya sendiri. Maka sering keluar kebijakan-kebijakan sektoral (dari tiap Departemen atau Dinas) yang bertabrakan satu sama lain, padahal objek yang diatur sama. Dan jika hal tersebut terjadi, masyarakatlah yang menjadi korban dari kerusakan lingkungan yang terjadi.
Di tingkat nasional pun kondisinya sama. Catatan tahunan yang dikeluarkan oleh beberapa LSM menunjukan bukti-bukti kerusakan Lingkungan di Indonesia semakin menjadi-jadi. Peran negara yang begitu dominan pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, cenderung mendorong negara penguasa untuk terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan, pembuatan ketentuan dan campur tangan dalam proses pembangunan. Ketika peran negara menjadi dominan dan pemgawasan masyarakat terhadap penyelenggaran pemerintahan semakin dipinggirkan, maka munculah “kolaborasi” kepentingan antara korporasi (investor) dengan oknum penguasa. Hal ini akan berpengaruh terhadap pembuatan peraturan lingkungan di tingkat nasional seperti Undang-Undang, Perpu, dan lainnya tidak akan memperhatikan kepentingan ,masyaarakat dan lingkungan.
Sekedar contoh, berubah-ubahnya pernyataan kementrian Lingkungan Hidup tentang tercemar-tidaknya lingkungan dalam kasus Buyat dapat menimbulkan pertanyaan apakah secara kelembagaan KLH telah benar-benar siap untuk melakukan proses pembuktian yang nantinya penting dalam proses litigasi.
Implementasi Pembangunan Berkelanjutan dalam konteks penataan ruang dipahami bahwa kebijakan perijinan merupakan hal yang sangat sentral fungsinya sebagai pengendali agar segalanya tetap berjalan dalam koridor tata ruang yang dituangkan dalam peraturan hukum. Apalagi mengingat sejak tahun 2000, penduduk indonesia telah meningkat pesat mencapai 220 juta jiwa sementara lahan tidak bertambah. Dalam faktanya, tata ruang belum mampu menjadi penjaga gawang dalam mewujudkan pembangnan berkelanjutan.
Penetapan ataupun perubahan tata ruang sering berjalan tanpa dilandasi pertimbangan yang berwawasan lingkungan, dalam hal ini tidak disertakan uraian mengenai daya dukung lingkungan, melainkan kepentingan ekonomilah (peningkatan PAD, Pajak, dan Investasi) yang menjadi fakrtor utama dalam mendorong perubahan tata ruang. Selain itu, sering terjadi benturan antara masyarakat dan pemerintah karena tidak semua informasi mengenai tata ruang diinformasikan ke masyarakat. Akhirnya, perencanaan tata ruang hanya menjadi kebutuhan pembangunan pemerintah dan bukan menjadi kebutuhan masyarakat. 

Tantangan Dalam Implementasi Pembangunan Berkelanjutan
Memahami uraian diatas, jelas kiranya bahwa tantangan pembangunan berkelanjutan adalah adanya perubahan tatanan sosial yang berinti pada kepentingan ekonomi pada masa sekarang baik di tingkat global maaupun nasional. Di tingkat global, berlakunya ketentuan-ketentuan WTO (yang telah diratifikasi Indonesia) ; dominannya peran perusahaan multinasional dala  perekonomian negara, perbedaan konsep Good Governance antara negara maju dengan negara berkembang pasca KTT Johannesburg 2002, adalah hal-hal yang mempengaruhi bagaimana negara mengimplementasikan konsep pembangunan Berkelanjutan. Sementara di tingkat nasional, desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan melalui konsep otonomi daerah, telah cenderung menciptakan ego kedaerahan untuk meningkatkan PAD sehingga melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam dan menciptakan kerusakan lingkungan.
Di era perdagangan bebas ini, korporasi dan dunia bisnis mempunyai peran penting dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat, utamanya dalam mengurangi jumlah pengangguran. Namun yang penting adalah bagaimana kepentingan bisnis tersebut bisa sinkron dengan perlindungan lingkungan. Dalam perkembangannya telah lahir beberapa strategi untuk memadukan kepentingan tersebut seperti lahirnya konsep ecolabelling, corporate social responsibility, good corporate governancee, dan sejenisnya. Akan tetapi, dalam faktanya, dominasi perusahaan swasta dalam lapangan ekonomi tidak mampu mengurangi kerusakan lingkungan yang ada di dunia, termasuk di Indonesia, walaupun perangkat hukum dan aparat penegaknya sudah ada.
Jika kita coba melihat secara global sejarah panjang dalam perubahan tatanan sosial maka ada “benang merah” dari rangkaian sejarah tersebut yakni penguasaan sumberdaya alam. Kapitalisme yang telah berlangsung beratus ratus tahun dan menjadi ideologi negara-negara maju mensyaratkan adanya monopoli terhadap sumber daya alam. Perubahan tatanan sosial mulai dari era kapitalisme klasik, neoliberalisme, lahirnya globalisasi, modernisasi, hingga otonomi daerah merupakan langkah jitu negara-negara maju untuk tetap melanggengkan dominasi kapitalismenya di dunia ini.
Namun serangkaian perubahan tersebut tidaklah semuanya berdampak negatif. Seiring perjalanannya, “mata dunia” telah terbuka pada kesadaran-kesadaran baru. Globalisasi misalnya selain membawa ideologi kapitalisme dalam proses ekonomi dan pembangunan, juga melahirkan kesadaran baru dalam hal sosial yang meliputi demokrasi, HAM, isu gender, kesetaraan hidup buruh, hingga perlindungan terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Mungkin, Kita bisa saja beranggapan skeptis bahwa konsep pembangunan berkelanjutan serta berbagai konferensi tentang  lingkungan kemungkinan juga membawa ideologi kapitalisme yang hanya menguntungkan negara maju. Namun jika kita berpikir lebih bijaksana dan kembali menata orientasi berpikir kita dalam kerangka kebenaran ekologis  yang menyadari bahwa manusia dan alam merupakan bagian tak terpisahkan dan saling membutuhkan dalam sistem ekologi, maka kita akan menyadari bahwa hakikat dari pembangunan berkelanjutan adalah kesadaran untuk menjamin keberlangsungan sumber daya alam dari generasi ke generasi. Dan tentunya, kesadaran inilah yang sangat kita butuhkan sebagai dasar penyelenggaraan pembangunan global dan proses kepemerintahan di masa kini.

Membangun Kesadaran Bersama
            Sony keraf (2010), menuturkan dalam bukunya “etika lingkungan hidup”, bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia.  Paham antroposentrisme yang dianut oleh masyarakat modern memposisikan manusia sebagai pusat segala kehidupan dibumi dan alam dapat dieksploitasi secara bebas demi memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas. Sehingga, kasus-kasus pencemaran da kerusakan hutan, gunung, laut, sungai, tanah, udara, dan seterusnya adalah akibat perilaku manusia. Dengan kata lain, manusia adalah penguasa lingkungan hidup, sehingga lingkungan hidup hanya dipersepsikan sebagai objek dan bukan sebagai objek.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Arne Naess menyatakan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa dibatasi dengan melakukan perubahan secara fundamental dan radikal terhadap cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan yang menuntun manusia untuk berinteraksi dengan alam sehingga dapat tercipta pembangunan yang selaras dengan kelestarian lingkungan hidup.
Keberlanjutan pembangunan disuatu daerah atau negara ditentukan oleh kemaampuan daerah atau negara tersebut dalam mengelola lingkungan hidupnya. Pendekatan pengelolaan lingkungan dilakukan dengan menata sistem manajemennya. Pendekatan manajemen lingkungan mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungannya. Otto soemarwoto mengatakan bahwa mengubah sikap manusia dalam upaya managemen lingkungan, bukanlah perkara yang mudah. Pada dasarnya, ada beberapa usaha yang dapat dilakukan yakni:
Pertama, dengan instrumen pengaturan dan pengawasan. Tujuannya adalah untuk mengurangi pilihan dan egoisme pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup serta mendorong pelaku untuk lebih ramah lingkungan dengan ancaman sanksi tindakan hukum. Kedua, dengan instrumen ekonomi. Tujuannya ialah untuk mengubah nilai untung relatif terhadap rugi bagi pelaku, dengan memberikan insentif dan disintensif ekonomi. Misalnya dengan pengurangan pajak lingkungan untuk produksi dan penggunaan alat yang hemat energi, pemungutan retribusi limbah, dan pemberian denda untuk pelanggar peraturan. Dan yang ketiga adalah dengan instrumen persuasif. Dalam kondisi ini diharapkan dapat mengajak secara persuasif masyarakat dan pelaku agar memprioritaskan pilihan ke arah yang lebih menguntungkan kelestarian lingkungan hidup. Tujuan jangka panjang instrumen persuasif ini adalah agar nilai-nilai lingkungan hidup dapat membudaya dalam masyarakat dan pelaku usaha.
Konsep Atur dan Awasi merupakan bentuk keterlibatan pemerintah dalam manajemen lingkungan hidup di indonesia dengan menererapkankebijakan yang sifatnya regulatif dalam hukum dan perundang-undangan. Namun, hingga saat ini, penerapan kebijakan dan peraturan pemerintah semisal AMDAL dan Tata Ruang, masih sering terbentur pada kepentingan ekonomi dan politis yang tentu saja masih menjadikan aspek ekonomi dan pembangunan sebagai pemenangnya.
Menurut Otto Soemarwoto, sistem Atur dan Awasi (ADA) dinilai telah gagal sehingga perlu dicari terobosan baru agar pengelolaan lingkungan hidup menjadi lebih baik. Atur Diri Sendiri (ADS) ialah tanggung jawab menjaga kepatuhan dan penegakan hukum lebih banyak ditanggung oleh masyarakat. Dengan demikian, diusahakan agar egoisme negatif yang anti-lingkungan hidup dan anti-sosial dimotivasi untuk berubah menjadi egoisme positif yang pro lingkungan hidup.
Inspirasi dari konsep Atur-diri-sendiri ini berpangkal dari respon dunia usaha terhadap tudingan sebagai penyebab utama pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Praktik-praktik pengelolaan bersifat sukarela pun mulai dilakukan, misalnya penerapan standar ISO 14000 dalam pengelolaan bisnis serta penerapan ecolabelling dalam proses produksi, yang sebenarnya bukanlah merupakan keharusan. Dari sisi bisnis, terutama dalam era global saat ini, perhatian dunia bisnis terhadap kelestarian lingkungan mulai besar misalnya WTO yang memberlakukan standar ecolabelling dalam sistem perdagangan internasionalnya.
pelaku usaha yang telah memenuhi standarisasi lingkungan baik yang ditetapkan oleh pemerintah dalam perundang-undangan (Tata ruang, AMDAL, dll), ataupun yang tidak diatur (ISO 14000 dan ecolabelling), akan mendapat keuntungan lebih karena pelaku tersebut akan mendapat kepercayaan lebih dan bisa berpartisipasi dalam pasar global yang mensyaratkan standar ramah lingkungan.disamping itu, pemberian subsidi dan pemberlakuan pajak lingkungan yang rendah  juga menjadi motivasi dunia usaha untuk beralih ke teknologi yang  ramah lingkungan.
Pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan adalah suatu keniscayaaan dalam kehidupan manusia. Kita tidak mungkin menafikan pembangunan dan hanya mendukung perlindungan lingkungan, begitupun sebaliknya. Dari hal diatas mengenai konsep Atur-diri-sendiri, menekankan pada kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan kepentingan perlindungan lingkungaan, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi. Tentunya keselarasan inilah yang menjadi cita-cita luhur pembangunan berkelanjutan yang harus diwujudkan untuk menjawab tantangan pembangunan baik secara global maupun nasional.


Daftar Pustaka

Adji Samekto,Adjie,  Kapitalisme, “Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan”, pustaka belajar, yogyakarta, 2005.
Baiquni & Susilawardani, Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan, refleksi kritis pembangunan indonesia, Transmedia Global Wacana, 2002.
Hidayat, Arief  &  Samekto,Adjie,  “Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan” di Era Otonomi Daerah, BP Undip, Semarang, 2007.
Keraf, Sony, Etika Lingkungan Hidup, kompas, jakarta, 2010.
Keraf, Sony, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Kanisius,Yogyakarta, 2010.
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia sebuah pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
The World Commisiion on Environment And Development (WCED), “Hari Depan Kita Bersama” , PT.Gramedia, Jakarta, 1988.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Pajak dan Pencemaran Lingkungan

Good Governance dan Good Environmental Governance dalam perencanaan lingkungan hidup