Good Governance dan Good Environmental Governance dalam perencanaan lingkungan hidup

  Good Governance dan Good Environmental Governance dalam perencanaan lingkungan hidup 
    
        Author : Dhany R

      



     Pengertian Good Governance

Konsep governance mulai berkembang pada awal 1990a-an dan dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap konsep government dimana pemerintah dinilai telah terlalu berkuasa sehingga masyarakat ttidak memiliki keleluasaan ruang untuk berkembang. Pemerintah dianggap telah menjadi institusi yang paling mengetahui dan mengerti apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga banyak kebijakan yang dibuat tanpa perlu mendengar aspirasi masyarakat. Akibatnya kebijakan menjadi bersifat top down. Keadaan ini kemudian membuat dukungan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun (lilin budiati, 2012).

Dalam suasana yang demikian, maka berkembanglah pandangan baru mengenai tentang apa itu pemerintahan, apa yang harus dilakukan oleh pemerintahan, dan bagaimana pemerintah yang bertanggungjawab. Kemudian lahirlah istilah governance.

Perbedaan mendasar antara government dan governance terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi, dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep government berkonotasi bahwa peranan pemerintah adalah yang lebih dominan.  Sedangkan Governance lebih merupakan kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen yakni: pemerintah (government), rakyat (citizen) dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau dan Campos,1997 dalam Thoha, 2003:63).

Webster’s New World College Dictionary, Third Edition (1996), memaknai governance sebagai ‘the act, manner, function, or power of government” yang kemudian diperluas dengan makna, “the exercise of authority over a state, district, organization, or institution,” “system of rulling or controlling”, juga “the right, function, or power of governing”, dan “ all people or agencies that administer or control the affairs of a nation, state, insititution etc”. Sedangkan UNDP (1997) mendefinisikan governance sebagai: “pelaksanaan otoritas administratif, politik, dan ekonomi untuk mengelola masalah suatu Negara pada semua tingkat yang mencakup mekanisme, proses, dan lembaga ketika warga negara dan kelompok- kelompok masyarakat menyampaikan kepentingan, melakukan hak politiknya, memenuhi kewajibannya, dan mendiskusikan perbedaan di antara mereka” (Dwiyanto, dkk, 2003:4).

Berangkat dari pemaknaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa governance tidak lagi menunjuk secara eksklusif pada pemerintahan, tetapi juga merujuk pada penggunaan kekuasaan dalam institusi atau organisasi di luar pemerintah. Secara sederhana, banyak pihak menerjemahkan governance sebagai Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government) hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance. Dua aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil society (masyarakat madani). Karenanya memahami governance adalah memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta dan civil society dalam suatu aturan main yang disepakati bersama. Hal ini sejalan dengan definisi Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang mengembukakan bahwa good governance adalah penyelenggaraan pemerintah yang efektif dan efisien, solid, serta bertanggungjawab dengan menjaga kesinergisan interaksi antara domain-domain negara diantaranya pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.  Adapun peran tiga domain  tersebut menurut UNDP adalah :

- Pemerintah (State)
Negara adalah organisasi kekuasaan yang didasarkan pada kewenangan tertinggi dalam suatu wilayah tertentu, serta memiliki kelompok orang yang mengakui dan taat pada kekuasaaan yang ada. dalam pengertian governance, kekuasaan diartikan secara luas yang mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini ditujukan bagi terciptanya pemerintahan yang efektif dan efisien dengan mengandalkan mekanisme checks and balances. Dengan mekanisme tersebut, kontrol antar kekuasaan yang ada senenatiasa terbentuk guna menghindari  pemerintahan otoriter yang cenderung mengabaikan kepentingan rakyat dalam penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik.

- Sektor Swasta (Private)
Pendekatan pasar untuk pembangunan ekonomi berkaitan dengan penciptaan kondisi dimana produksi barang dan jasa (goods and services) berjalan dengan baik dengan dukungan lingkungan yang mapan untuk melakukan aktifitas sektor swasta. Sistem pemerintahan yang baik akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi aktifitas pasar dan sektor swasta untuk menciptakan produksi barang dan jasa agar kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.

- Masyarakat (Society)
Dalam praktek governance, peran masyarakat sama penting dan sejajar dengan peran pemerintah dan sektor swasta. Masyarakat mampu memfasilitasi interaksi sosial politik serta memobilisasi berbagai kelompok dalam masyarakat untuk terlibat dalam aktifitas sosial, ekonomi, dan politik. organisasi masyarakat sipil dapat menyalurkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas sosial dan ekonomi serta mengorganisasinya ke dalam suatu kelompok yang lebih potensial untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam mencapai kesejahteraan bersama.

UNDP merumuskan beberapa karakteristik good governance, sebagai berikut:
a.  
    Participation (partisipasi), yaitu keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
b.   
      Rule of law, yaitu kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
c.  
    Transparency. Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Apapun informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik, harus secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan.
d. 
      Responsiveness. Setiap lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder. 
e. 
   Consensus orientation. Adanya keharusan untuk selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.
f.  
   Equity. Setiap individu dalam masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
g. 
    Efficiency and effectiveness. Pengelolaan sumberdaya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif).
h. 
      Accountability, yaitu pertanggungjawaban kepada publik atas aktivitas yang dilakukannya.

i.  Strategic vision. Setiap penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan.
    
   Good Governance merupakan suatu upaya untuk mengubah watak pemerintah dari yang semula bekerja sendiri, mejadi lebih memperhatikan pelibatan dan aspirasi masyarakat. Dalam good governance, masyarakat tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan sebagai subjek yang turut bekerja dalam program pembangunan. dengan demikian sistem pemerintahan yang demokratis menjadi prasyarat dalam penerapan good governance untuk menjamin distribusi keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.


Good Environmental Governance dalam Konsep Pembangunan berkelanjutan

Paradigma pembangunan (sustainable development) yang diadopsi oleh sebagian besar negara-negara dunia, mulai memunculkan berbagai tantangan masa depan. Masalah kerusakan lingkungan dan kasus pencemaran yang melanda seluruh negara-negara di dunia, dianggap sebagai dampak dari pembangunan industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Keadaan ini kemudaian dianggap mengancam keberlanjutan kehidupan masa depan. Menyikapi masalah tersebut, PBB kemudian membentuk World Commision Environment and Development (WCED) untuk mengkaji permasalahan tersebut yang berkaitan dengan lingkungan dan pembangunan. Hasil penelitian dan pengkajian tersebut dituangkan dalam laporan yang berjudul our common future pada tahun 1987 yang memunculkan konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan.

Menurut WCED, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan sebagai pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Didalam konsepsi pembangunan berkelanjutan, mengandung dua gagasan penting yakni:
-    Gagasan “kebutuhan”, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin di dunia, yang harus diprioritas utamakan;
-  Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.

Di dalam buku sectoral Agenda 21 Book 1 : Guidebook For Sustainable Development: An Effort to Achieve A Better Quality of Life (2000) disebutkan bahwa:
“ ...unlike other existing development theories brought up by economic development thinkers,...the emergence of sustainable development concept has a different dimension. The emergence was closely connected with the rise of the environmental awareness”

Pernyataan diatas menunjukan bahwa pembangunan berkelanjutan sesungguhnya, sangat erat hubungannya dengan kesadaran lingkungan. Krisis lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam untuk kebutuhan pembangunan ekonomi, menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam konsep pembangunan.

Berdasarkan hasil KTT Bumi di Rio de Janiore, tahun 1992, esensi pembangunan  berkelanjutan pada dasarnya meliputi tiga aspek yaitu; ecology, economy, dan social security, yang selanjutnya disebut triangle of sustainability. Pembangunan dikatakan tidak berkelanjutan jika pembangunan hanya berpusat pada aspek sosial dan ekonomi, melainkan harus memperhatikan ketersediaan sumber daya alam untuk kebutuhan jangka panjang generasi masa depan.
        
       Berangkat dari kesadaran tersebut dan maraknya wacana lingkungan hidup dalam berbagai konferensi internasional, maka prinsip good governance sebagai tata pemerintahan yang baik, dalam menajemen administrasi pemerintahan, harus mengintegrasikan prinsip-prinsip sustainable development yang meliputi aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. dalam upaya mewujudkan perhatian terhadap krisis lingkungan dalam tata pemerintahan, maka lahirlah istilah yang dikenal dengan good environmental governance, atau kepemerintahan lingkungan yang baik. Dalam good environmental governance, terdapat tiga prinsip utama yaitu; 1) membuat keputusan pada tingkat yang tepat; 2) penyediaaan akses informasi, partisipasi dan ganti rugi, dan 3) mengintegrasikan aspek lingkungan dalam semua kebijakan.

Relevansi dari konsep good environmental governance adalah pada upaya untuk memahami dan mengelola hubungan timbal balik antara sistem sosial dengan ekosistem. Lebih dari itu, pengelolaan sistem sosial perlu dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai ekologis dan sebaliknya, ketahanan ekosistem bisa dipelihara melalui npengelolaan sistem sosial yang terbimbing oleh kaidah-kaidah ekologis. Konsep good environmental governance  perlu dibangun di atas premis sentral bahwa sistem sosial dan ekosistem dari waktu ke waktu, terlibat dalam interaksi yang terus menerus.

Pada awalnya, penerapan konsep good governance hanya didasarkan pada pengamatan atau teorisasi mengenai interaksi sosial dan pemerintahan. Namun, belum mengkaji secara mendalam mengenai dinamika ekosistem. Dinamika ekosistem secara mendalam dijelaskan dalam konsep manajemen lingkungan yang berdasarkan interaksi sistem bio-fisik. Dengan demikian pemaknaan good governance sifatnya masih teknosentrik dan belum menjamin kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, perlu diintegrasikan konsep manajeman lingkungan dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, sesuai dengan rumusan pembangunan berkelanjutan.

Melalui pemikiran good environmental governance, diharapkan dapat dirumuskan pembaruan penyelenggaraan kepentingan publik yang baik dengan mengacu dan mengedepankan nilai-nilai ekologis. Lebih jelasnya, baik-buruknya penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya dilihat dari kualitas hubungan negara dengan rakyatnya, namun juga dari komitmennya untuk menjunjung tinggi kaidah-kaidah ekologis (lilin budiati, 2012).

Pilar - Pilar Perencanaan Lingkungan untuk mewujudkan Good Environmental Governance

Dalam proses penerapan perencanaan lingkungan terutama di negara-negara berkembang seperti misalnya implementasi good governance, nampaknya belum mengarah pada hal-hal yang dicita-citakan, namun dalam berbagai kasus, justru praktik-praktik korupsi, pelanggaran HAM, Gender, serta masalah kerusakan lingkungan justru semakin marak terjadi. Bahkan dapat dikatakan kondisi ini dari waktu kewaktu semakin kritis. Menurut Friedman (1987), perencaanaan merupakan seuatu strategi dalam pengambilan keputusan sebelumnya sebagai suatu aktifitas tentang keputusan dan implementasi. Friedman juga melanjutkan bahwa salah satu penyebab krisis dalam penerapan perencanaan adalah tidak adanya keterkaitan antara pengetahuan (knowledges) dan implementasi (action). Artinya, terdapat krisis pemahaman tentang masyarakat. Ketidakberhasilan memahami kebutuhan masyarakat merupakan pertanda krisisinya suatu teori perencanaan.

Kondisi demikian lebih nampak dinegara-negara berkembang dimana para perencana menerapkan begitu saja teori-teori perencanaan dari negara maju tanpa melakukan penyesuaian dengan karakteristik sosial budaya masyarakatnya.  Banyak kebijakan, program dan proyek yang telah diterapkan  belum mampu menerjemahkan kepentingan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Tentu kita dapat melihat bagaimana modernisasi dan globalisasi yang justru semakin menyeret negara-negara berkembang ke jurang krisis perekonomian karena sumber daya alamnya yang telah dikuasai negara-negara pemodal. Dalam implementasi good governance kemudian berkembang mnjadi good environmental governance dimana aspek perencanaan dan pengambilan kebijakan pembangunan yang berpihak pada perlindungan lingkungan. Beberapa pilar perencanaan lingkungan untuk mewujudkan good environmental governance adalah harus memperhatikan keseimbangan dan keharmonisan pilar-pilar perencanaan lingkungan, diantaranya; perilaku, manajemen, hukum dan politik.

1.      Perilaku
Pada jaman dahulu, yang dikenal dengan era Pan-Cosmism, masyarakat dan alam masih hidup berdampingan, alam dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tak terlawankan dan manusia hidup dengan memanfaatkan hasil alam sesuai dengan kebutuhan saja. Keseimbangan alam masih terjaga, karena daya dukung dan daya tampung lingkungan masih lebih besar daripada kebutuhan manusia saat itu. Namun seiring kemajuan peradaban dan teknologi, paradigma tersebut mulai bergeser ke tahap Antroposentrisme dimana manusia mulai berusaha menguasai alam. Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, perkembangan pola pikir, modernisasi, hingga penemuan-penemuan teknologi dan mesin industri, adalah beberapa alasan mendasar yang mendorong terbentuknya paradigma tersebut demi memenangkan persaingan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Persaingan untuk memenuhi kebutuhan dasar sandang pangan pun semakin tinggi sehingga mendorong manusia untuk menciptakan teknologi dan mesin yang mampu mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan liar. Sumber daya alam pun dieksploitas secara liar dan massiv. Dampaknya adalah kerusakan lingkungan karena telah terjadi ketidakseimbangan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan tersebut dengan aktifitas masyarakatnya.

Sony Keraf (2002) mengemukakan bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah moral manusia, atau persoalan perilaku manusia. Kerusakan lingkungan bukanlah hanya persoalan teknis saja tetapi lebih pada krisisi moral yang dialami seluruh bangsa didunia. Untuk mengatasi masalah lingkungan hidup, maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah merubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara mendasar.

Paham Antroposentrime merupakan paham klasik yang berkembang dari cara pandang filsafat barat yang melihat bahwa manusia adalah pusat etika dan moral. Lingkungan merupakan bagian yang terpisah dari manusia dan lingkungan dapat dipergunakan sebebas-bebasnya untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Perilaku Antroposentrisme, menetapkan manusia sebagai pusat semesta. Hanya manusia yang mempunyai nilai. Sehingga alam dengan segala isinya adalah alat pemuas kebutuhan manusia. Hubungan manusia dan alam berada pada relasi materi dan ekonomis. Manusia baik secara sadar maupun tidak, berinteraksi dengan industrialisme, konsumerisme dan perkembagan teknologi, menjadi sebab kerusakan lingkungan. Akibatnya semua sisi lingkungan menjadi rusak baik itu lingkungan fisik maupun biologi dan bencana alam pun datang silih berganti.

Beberapa kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam skala global mencerminkan betapa kondisi bumi kita saat ini benar-benar telah memprihatinkan. Rusaknya lingkungan air, berbentuk pencemaran disungai-sungai oleh limbah-limbah domestik/rumah tangga dan industri yang langsung mengalirkan limbah produksinya ke badan sungai dan laut menyebabkan kematian pada ikan dan rusaknya ekosistem air tersebut. Lebih jauh pencemaran itu dapat menyebabkan mutasi genetis pada ekosistem air tesebut sepert ikan dan makhluk lain yang hidup didalamnya dan akan sangat berbahaya ketika dikonsumsi oleh manusia seperti yang terjadi pada tragedi minamata di Jepang dan teluk buyat yang tercemar limbah mercury.  dan yang saat ini sedang menjadi perdebatan adalah pencemaran danau Toba di Sumatera Utara oleh Limbah ternak babi. Padahal daerah ini merupakan destinasi pariwisata yang sangat terkenal juga tak luput dari pencemaran limbah industri.

Kerusakan lingkungan juga dapat dilihat dari kualitas udara, seperti munculnya beragam polusi atau pencemaran udara, baik yang dihasilkan oleh industri maupun kendaraan bermotor. Peristiwa yang sangat ekstrim terjadi ketika kecelakaan industri di Bhopal, India pada tahun 1984 yang menyebabkan polusi udara, yakni gas beracun. Peristiwa lain juga terjadi pada bencana radiasi nuklir di chernobyl, Ukraina pada tahun 1986 dan kebocoran reaktor nuklir Fukushima jepang yang meledak terkena tsunami pada tahun 2011 lalu. Di tanah air, marak terjadi kebakaran Hutan, seperti yang terjadi kembali di riau beberapa bulan lalu yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk kebutuhan perkebunan kelapa sawit. Asap tebal membuat penurunan signifikan terhadap kualitas udara dan dampaknya pun merambah hingga ke negara tetangga seperti Singapura.

Sementara itu, rusaknya tanah dan hutan kita, tidak lepas dari adanya lahan-lahan krisis akibat penggundulan hutan dan pembukaan lahan secara besar-besaran untuk aktivitas pertambangan dan perkebunan misalnya pembukaan lahan perkebuan kelapa sawit di sumatera dan aktivitas pertambangan yang semakin marak di Kalimantan, papua, dan kini sulawesi. Hutan yang menyangga  sistem lingkungan hidup didunia sebagai rumah untuk segala keanekaragaman hayati, penghasil oksigen dan penyedia cadangan air telah mengalami kerusakan parah. Kerusakan hutan tentunya menyebabkan pula punahnya satwa-satwa langka yang hidup didalamnya misalnya orang utan, badak, harimau, dll.

Negara-negara berkembang saat ini semakin “gila”nya mengeksploitasi kekayaannya sumber daya alam, guna mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju. Modernisasi yang secara sempit dimaknai sebagai development (pembangunan) dimana tolak ukurnya hanyalah semata-mata pada pertumbuhan ekonomi. Begitupun dengan efek globalisasi yang melahirkan pasar bebeas dimana banyaknya diterapkan peraturan-paraturan perdagangan yang mematikan industri di negara berkambang dan semakin menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan multinasional dari negara-negara maju untuk berinvestasi di negara-negara berkembang.

Vandana Shiva (1995) menilai dimensi developmentalisme yang berlangsung di negara dunia ketiga sendiri merupakan kelanjutan praktik kolonialisme yang terjadi di masa lalu. Shiva mengajukan istilah “sindrom eksploitasi” (exploitation syndrome) untuk mengkritisi wacana developmentalisme yang berkembang dalam negara dunia ketiga. Sindrom tersebut meliputi dua tahapan utama.

Pertama, munculnya kepemilikan barang privat untuk menggantikan barang publik dalam manajemen pengelolaan sumber daya alam.  Konsep kepemilikan publik sendiri dinilai tidak menguntungkan dari segi ekonomis dan tidak mendorong manusia untuk berekspresi secara bebas dalam beraktivitas ekonomi. Kepemilikan barang privat menciptakan perilaku konsumtif yang besar untuk memuaskan kebutuhan ekonomi masing-masing sehingga menciptakan fenomena tragedy of the commons dalam masyarakat. Tragedy of the Commons merupakan istilah yang Garrett Hardin (1968) mengenai adanya ketidakseimbangan kebutuhan konsumtif populasi manusia dengan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di lingkungan. Adanya ketidakseimbangan tersebut menciptakan adanya perilaku rakus manusia untuk terus memenuhi kebutuhannya dengan terus-menerus mengeksploitasi kekayaan alam. Alam yang semula merupakan collective goods kemudian dikapling-kapling menjadi kepemilikan barang privat sebagai bentuk aksi rasionalitas ekonomi. Selagi sumber daya alam tersebut masih menyediakan kekayaan alam melimpah, manusia akan terpacu untuk mengeksploitasinya sampai habis. Hingga pada suatu ketika sumber daya alam itu habis, maka manusia akan berpindah mencari potensi sumber daya alam lainnya untuk dieksploitasi.

Kedua, berdirinya aparatus birokrasi pemerintahan yang melegalkan dan mengizinkan adanya komersialisasi barang publik tersebut dikarenakan pendapatan negara amatlah tergantung dari ekstrasi yang dihasilkan dari sumber daya alam tersebut. Adanya peralihan sumber daya alam dari barang publik menjadi barang privat sangatlah erat berkaitan dengan global disorder maupun global instabilities yang menekankan pada de-negara-nisasi dalam aspek ekonomi (Endaryanta, 2007 :15). Peran eksesif negara dalam mengatur aktivitas ekonomi dinilai tidak kompetitif dalam membangun dan menciptakan iklim perekonomian yang sehat dalam rangka menciptakan angka pertumbuhan ekonomi (Jati, 2011). Pasar harusnya didorong sebagai eksekutor dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Adapun langkah pertama dilakukan adalah melakukan komodifikasi atas sumber ekonomi non komersial yang dikuasai oleh basis kepemilikan komunal oleh masyarakat lokal. Komodifikasi tersebut menciptakan kondisi marketable goods yakni keadaan dimana barang publik yang sejatinya bernilai sosial berubah menjadi barang privat bernilai ekonomis.

Negara berkembang misalnya Indonesia, mempunyai sumberdaya alam yang begitu besar namun kita tidak mempunyai teknologi dan sumber daya manusia untuk mengolah itu. Untuk itu, kita harus mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar negeri untuk bekerja dan mengeksploitasi kekayaan di negeri kita. Namun apa yang didapatkan..?? kita “dirampok” secara sadar dan kita tidak mempunyai daya untuk menghalau hal tersebut. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah bukannya kemajuan eknomi yang terjadi melainkan lingkungan kita yang menjadi rusak dan utang negara kita semakin bertambah untuk mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar. Belum lagi di tambah dengan biaya yang dibutuhkan untuk menangani kerusakan lingkungan dan bencana yang ditimbulkannya misalnya banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, dll. Nah pertanyaannya kapan kita akan menikmati kekayaan kita jika hasil kekayaan itu habis terpakai untuk membayar utang dan membiayai bencana yang semakin sering terjadi...??

KTT Bumi yang di sepakati di Rio de janiero pada tahun 1992, sempat membawa angin segar bagi keberlanjutan lingkungan dengan dicanangkannya sustainable development, yang sekaligus juga mengembangkan paham good governance menjadi good environmental governance, dimana isu lingkungan mulai mendapatkan perhatian utama. Namun nampaknya konsep dan paradigma pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, masih belum mampu dilaksanakan selama dua dekade ini. Nampaknya ideologi economic developmentalism masih menguasai sebagian besar paradigma dan perilaku bangsa-bangsa di dunia ini. Dan kita bisa saja berpendapat bahwa ideologi ini sebenarnya bersifat politis untuk meloloskan kepentingan negara-negara eropa di belahan utara yang menguasai industri dan teknologi terhadap negara-negara selatan yang memiliki kekayaan sumber daya alam. Setidaknya dalih keberlanjutan tiga aspek tersebut mampu “meninabobokan” negara-negara berkembang untuk mendukung gerakan ini sebagai solusi krisis lingkungan global. Namun nyatanya, eksploitasi sumber daya alam, malah semakin menggila.

Kita tentunya telah menyaksikan melalui media telvisi, koran, dan internet bagaimana kerusakan lingkungan dan eksploitas Sumber daya alam dimuka bumi ini secara berlebihan terjadi dimana-mana dengan tingkat kerusakan yang sudah sangat mengkhawatirkan. Maka fenomena ini seharusnya lebih menyadarkan dan menggugah hati kita untuk mengkoreksi kembali pola pikir dan perilaku kita selama ini, utamanya dalam tata kelola pemerintahan sehingga cita-cita luhur dalam good environmental governance dapat terwujud.

Menurut Arne naess, permasalahan terbesar yang harus diatasi adalah pada persoalan paradigma kita terhadap lingkungan itu sendiri. Dan untuk mengatasi krisis lingkungan yang terjadi, maka paradigma atau cara pandang harus dirubah secara fundamental dan radikal. Dengan memahami bahwa hanya dengan memperlakukan alam secara etis, menempatkan alam dengan segala isinya termasuk hewan dan tumbuhan sebagai sebuah kesatuan ekologis dan saling ketergantungan dengan manusia, menghapus paham dominasi manusia terhadap alam, juga menghapus dikotomi manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek. Begitupun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus diarahkan kepada nilai-nilai etis terhadap lingkungan.

Arne naess menyebut pandangan itu sebagai ecosophy yang berarti kearifan lingkungan, dalam pandangan ini danjurkan untuk pola dan gaya hidup yang sesuai dengan kearifan merawat alam sebagai rumah tangga bagi semua makhluk hidup. Keinginan memelihara hubungan yang serasi dengan alam melahirkan banyak pengetahuan lokal (indigenous people) yang sangat berguna untuk pelestarian daya dukung lingkungan. Indigenous knowmledge yang merupakan environmental wisdom sampai sekarang masih ada yang dipelihara dengan dan diterapkan secara turun temurun oleh beberapa suku tradisional di antaranya tradisi “zoning” di suku Tabla di papua yang membuat batasan-batasan wilayah untuk pemukiman, pertanian, hingga daerah keramat yang tak boleh diganggu, ada juga tradisi sistem Sasi di Maluku dan Papua yang melarang masyarakatnya menangkap ikan pada musim-musim tertentu seperti pada saat musim transissi, dan ketika adanya perayaan adat. Larangan ini bertujuan untuk memberikan kesmpatan pada ikan untuk hidup dan berkembang lagi sehingga ketika sasi kembali dilepas, hasil tangkapn ikan akan semakin banyak.

Ada juga tradisi suku baduy dalam pengelolaan pangan secara mandiri (self reliance) yang membuat masyarakatnya swasembada beras. Kemandirian ini dibangun dengan cara tidak memperjualbelikan hasil pertanian (padi) melainkan disimpan dilumbung, baik lumbung bersama maupun lumbung keluarga. Lumbung bersama diisi oleh padi yang ditanam bersama-sama sedangkan lumbung keluarga diisi padi yang ditanam sendiri. Pengambilan gabah baik untuk acara adat maupun untuk konsumsi sehari-hari diatur dengan aturan adat yang telah ditentukan sesuai dengan kubutuhan dan persediaan gabah.

Beberapa contoh diatas merupakan bukti kearifan lokal yang masih diterapkan hingga saat ini oleh masyarakat tradisional. Mereka mampu membangun keharmonisan dengan lingkungan alam dan memanfaatkan sumber daya alam sesuai kebutuhan, disamping itu juga masyarakat meningkatkan kualitas kehidupan sosialnya untuk membangun kemandirian masyarakatnya tanpa harus bergantung pada teknologi luar. Tentunya untuk mewujudkan hal diatas bukanlah merupakan hal mudah karena yang ingin dirubah adalah paradigma manusia yang sangat kompleks. Dan tantangan yang kemudian dihadapi adalah Jumlah peduduk yang semakin meningkat serta kemajuan teknologi yang seolah memaksa kita untuk mengikuti pola hidup modernisme dan meningglkan kearifan lokal kita
.
     Permasalahan krisis lingkungan dan kependudukan bukanlah masalah yang bisa diselesaikan secara parsial dari sisi ekonomis saja dengan menciptakan teknologi mutakhir, namun lebih dari itu, ekologi manusia dan semua komunitas biotis maupun abiotis didalamnya meruapakan jaringan kompleks yang juga meluputi persoalan sosial dan budaya dan lingkungan. Bumi ini bukanlah mesin yang solusi permasalahannya harus dipahami secara mekanis dan reduksionistis melainkan harus dipahami secara holistic (menyeluruh) dan sistematis.

2.   Manajemen
Seperti yang telah kita ketahui bahwa kasus kerusakan dan pencemaran lingkungan kerap terjadi saat ini, terutama ketika dunia telah memasuki  era industrialisasi. Persaingan global sejak diwacanakanya modernisasi hingga globalisasi, memicu negara-negara di seluruh dunia, untuk memacu perkembangan ekonomi dan pengembangan infrastruktur negara menuju negara maju dan sejahtera. Indikator negara maju tentu diukur dari pertumbuhan ekonomi, sehingga negara-negara berkembang tak memiliki pilihan selain mengeksploitasi sumber daya alam sebesar-besarnya untuk membiayai kebutuhan negaranya. Akhirnya, lingkungan selalu menjadi aspek yang dikorbankan demi pembangunan.

Namun, kesadaran terhadap kerusakan lingkungan dan dampak kerusakan tersebut pada kehidupan manusia akhirnya menggugah manusia untuk mulai melihat lingkungan juga sebagai aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan. KTT Bumi yang digelar di Rio de Janiero pada tahun 1992 merupakan buah dari kesadaran global terhadap permasalahan lingkungan. KTT ini lahir ketika seluruh dunia sedang hangat membicarakan isu globalisasi. Isu Globalisasi yang menyertakan wacana perdagangan bebas (Free Trade) sebagai solusi pembangunan negara-negara berkembang, disatu sisi lain ternyata mampu membuka kesadaran global terhadap isu kerusakan lingkungan sebagai dampak pembangunan sejak era modernisasi.

Dalam KTT Rio tersebut, di wacanakan sebuah model pembangunan yang berwawasan lingkungan, yaitu Pembangunan Berkelanjutan. konsep ini merupakan konsep manajemen pembangunan global dimana prinsipnya adalah pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Persoalan keterbatasan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, dan juga dampak dari pembangunan pada kesehatan manusia dan ekosistem menjadi dasar utama perlunya dilakukan manajemen atau pengelolaan sumber daya alam agar terus berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan generasi mendatang.

Untuk mewujudkannya, ada tiga aspek yang perlu disinergiskan konsep manajemen pembangunan berkelanjutan ini yakni pembangunan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Dan konsep ini harus diintegrasikan pada setiap aspek pembangunan di seluruh dunia. Dalam proses penerapannya, konsep manajemen pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan, diturunkan ke dalam peraturan-peraturan mengenai lingkungan yang disebut manajemen lingkungan.

Dalam praktek manajemen lingkungan, khususnya di industri/perusahaan yang melakukan proses produksi, kita mengenal ISO 14001, dimana  didalamnya ditetapkan standar-standar operasional dalam pengelolaan lingkungan dan berlaku secara internasional. Menurut ISO 14001, sistem manajemen lingkungan (EMS) adalah 'that part of the overall management system which includes organizational structure planning, activities, responsibilities, practices, procedures, processes, and resources for developing, implementing, achieving, reviewing, and maintaining the environmental policy'. Jadi disimpulkan bahwa menurut ISO 14001, EMS adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang berfungsi menjaga dan mencapai sasaran kebijakan lingkungan. Sehingga EMS memiliki elemen kunci yaitu pernyataan kebijakan lingkungan dan merupakan bagian dari sistem manajemen perusahaan yang lebih luas.

Manajemen lingkungan dalam ISO 14001 ini mencakup lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Yang termasuk dalam lingkungan internal yaitu di dalam lingkungan pabrik/lokasi produksi. yang termasuk didalamnya adalah kondisi lingkungan kerja, fasilitas kesehatan, alat pelindung diri, asuransi pekerja, dll. Sedangkan lingkungan eksternal yaitu lingkungan diluar lokasi pabrik/lokasi produksi diantaranya adalah usaha penanganan limbah, perhatian pada keseimbangan ekologis di sekitar pabrik, dampak terhadap masyarakat di sekitar lokasi pabrik,dll.  Penerapan prinsip ISO 14001 ini menjadi standar umum terutama bagi pabrik/perusahaan dalam menjalankan proses produksinya dan merupakan salah satu hasil integrasi konsep pembangunan berkelanjutan dalam lingkungan pabrik/perusahaan

Hal yang penting dipahami juga dalam manajemen lingkungan adalah mengenai kebijakan lingkungan. Kebijakan sangat menentukan arah manajemen lingkungan. Paradigma sustainable development yang menjadi acuan baru pembangunan negara telah merubah orientasi kebijakan negara-negara di dunia dari yang sifatnya reaktif terhadap sumber masalah/pencemar, menjadi lebih proaktif dengan mengembangkan prinsip pencegahan.

Manajemen lingkungan menurut orientasi kebijakannya secera umum dapat dibagi 2 yaitu : 1) manajemen yang berorientasi pemenuhan (regulation compliance) dan orientasi setelah pemenuhan (beyond compliance)
1.       
     - Berorientasi pemenuhan (regulation compliance)

    Kebijakan ini merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan di perusahaan. Berangkat dari murni pemikiran akan akibat yang ditimbulkan aktifitas perusahaan jangan sampai merugikan keberlangsungan bisnis perusahaan yaitu dengan menaati peraturan pemerintah semaksimal mungkin untuk menghindari penalti – denda lingkungan, klaim dari masyarakat sekitar, dll. Memakai metoda reaktif, ad-hoc, dan pendekatan end-of-pipe (menanggulangi masalah polusi dan limbah pada hasil akhirnya, seperti lewat penyaring udara, teknologi pengolah air limbah, dll).
2.  
      - Berorientasi setelah pemenuhan (beyond compliance).
   
             Berangkat dari pemikiran bahwa cara tradisional menangani isu lingkungan dalam cara reaktif, adhoc, pendekatan end-of-pipe terbukti tidak efisien. Seiring kompetisi yang semakin meningkat dalam pasar global yang semakin berkembang, hukum lingkungan dan peraturan menerapkan standar baru bagi sektor bisnis diseluruh bagian dunia. Terdapat pendapat bahwa kinerja lingkungan yang baik tidak hanya masalah hukum dan moral. Mengurangi polusi berarti juga peningkatan efisiensi dan menghabiskan lebih sedikit sumberdaya. Kondisi kesehatan dan keselamatan yang baik sehingga tenaga kerja dapat lebih produktif.
  
          Sesuai dengan perkembangan pemahaman manajemen lingkungan, orientasi setelah pemenuhan juga bermacam tahapnya, namun umumnya bermuara pada tahap pencapaian kondisi pengembangan berkelanjutan (sustainable development) sekaligus integrasi bisnis lingkungan sesuai prinsip yang dinyatakan dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, 1992.
   
           Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa proses globalisasi yang membawa agenda pasar bebas juga menghadirkan isu lingkungan dalam kajiannya, terlebih setelah dirumuskannya konsep pembangunan berkelanjutan. dengan demikian persaingan dalam konteks perdagangan semakin kompetitif karena persoalan efisiensi sumber daya, pengelolaan limbah dan penurunan kadar emisi dalam proses produksi menjadi pertimbangan baru yang kemudian dikenal dengan istilah sertifikasi ecolabelling. Konsep manajemen lingkungan semakin berkembang. Dari yang sekedar menaati peraturan dalam negeri agar tak kena denda pencemaran atau protes masyarakat, menjadi berbasis pencegahan, efisiensi, serta inovasi dalam proses produksi, agar memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam pasar global dengan sertifikat ecolabelling.

Suatu industri yang mampu menerapkan manajemen ecolabelling dalam proses perdagangan bebas, tentu akan meningkatkan kredibilitas dan daya saing industri tersebut dalam kacah perdagangan internasioanal. Bagi negara-negara maju, dengan kemampuan finansial yang mapan dan ketersediaan sumber daya manusia yang menguasai teknologi, maka hal ini bukanlah hal yang sulit. Namun, kondisinya sangat berbeda bagi negara-negara berkembang.

Bagi sebagian negara-negara berkembang, sertifikasi ecolabelling ini masih sulit untuk diterapkan utamanya untuk industri dalam negeri. Hal ini dikarenakan untuk memenuhi sertifikasi ecolabelling tersebut, industri dalam negeri memerlukan teknologi yang canggih, biaya yang mahal, serta sumber daya manusia yang mapan. Tentunya bagi negara-negara berkembang, hal tersebut sulit untuk dipenuhi. Keadaan inilah yang kemudian menjadi peluang bagi negara-negara maju untuk berinvestasi modal dan mengeksploitasi sumber daya alam negara-negara berkembang, melalui masuknya perusahaan multinasional yang telah memenuhi syarat ecolabelling.

Penerapan peraturan-peraturan internasional dalam bidang lingkungan disatu sisi baik karena mensyaratkan proses produksi yang ramah lingkungan. Namun, dari sisi lain, kita dapat melihat bagaimana kapitalisme gaya baru bekerja secara terselubung dalam kebijakan-kebijakan tersebut. faktanya tentu dapat kita lihat dari bagaimana perusahaan-perusahaan multinasioanal yang terus mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam negara-negara berkembang. Disamping itu pula keberadaan WTO dan IMF yang seharusnya memberi bantuan finansial kepada negara-negara berkembang, cenderung menjadi “penghisap” kekayaan negara-negara berkembang melalui pemberlakuan peraturan-peraturan internasionalnya.  

3.   Hukum
Pasca dirumuskannya konsep pembangunan berkelanjutan dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de janiero, maka semua aktifitas perekonomian, sosial budaya dan politik, tidak boleh hanya mementingkan kebutuhan jangka pendek, melainkan harus juga memeperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang. Gagasan mengenai pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah mulai dikenalkan sejak tahun 1962, yakni oleh rachel carson dalam bukunga the silent spring yang meneliti mengenai dampak pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Keberhasilan buku tersebut dalam menggugah pandangan dunia dalam konsep pembangunan, membuat PBB menyelenggarakan United Nation Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1972. Selanjutnya, pada tahun 1983, terbentuk pula komisi khusus untuk urusan lingkungan hidup yang dikaitkan dengan kebijakan pembangunan di negara-negara di dunia yang dikenal dengan World Commision on Environment Development (WCED) yang pada tahun 1987 menerbitkan laporan yang berjudul Our Common Future. Dalam laporan ini isu pembangunan berkelanjutan semakin menjadi topik sentral dalam wacana solusi pembangunan di dunia.

Kondisi lingkungan hidup dari waktu ke waktu cenderung mengarah ke penurunan kualitas bahkan telah mencapai tahap kritis. Tentu kita dapat melihat dari pencemaran yang terjadi di sungai, danau, laut, dan udara, sebagai dampak dari meningkatnya aktifitas manusia dalam proses industri, domestik, ataupun pertanian yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal lain yang menyebabkan kerusakan lingkungan terus terjadi adalah pada tingkat kebijakan dan penegakan hukum. Aspek pelestarian lingkungan masih sering diabaikan sehingga menimbulkan adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya masalah lingkungan maka memicu pula masalah konflik sosial dan krisis ekonomi. Untuk itu diperlukan perangkat hukum yang mengatur dengan tegas mengenai tata perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Di Indonesia perangkat hukum yang mengatur khusus mengenai lingkungan hidup telah diatur dalam UU No. 4 tahun 1982 tentang ketentuaan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup. Dengan mulai diberlakukannya undang-undang tersebut, diharapkan semua kebijakan yang akan dirumuskan sejalan dengan ketentuan normatif yang terdapat dalam undang-undang. Namun, seiring dinamisme perkembangan permasalahan lingkungan yang membutuhkan penanganan yang lebih kompleks, maka aturan tersebut kemudian mengalami perkembangan menjadi UU No 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

Undang-Undang ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam penerapannya, tentunya harus ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterrpaduan secara sektoral. Misalnya dengan lahirnya pula undang-undang No 26 tahun 2007, tentang penataan ruang. Dalam konteks penataan ruang, harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan bagian terpenting dalam perencanaan.

Dalam UU No 23 tahun 1997, diatur pula bahwa semua kegiatan yang berdampak pada lingkungan harus melakukan kajian lingkungan sebelum melakukan pembangunan. kajian lingkungan tersebut dikenal dengan AMDAL dan UKL-UPL. Namun dalam pelaksanaannya seringkali kita menemukan pelaksanaannya tidak sesuai dengan harapan. AMDAL dan UKL-UPL dilakukan pada tahap proyek atau ketika ada proyek yang akan dijalankankan. Sementara hal yang sangat penting juga adalah pada tahap kebijakan dan perencanaan misalnya dengan memperhatikan RTRW sesuai dengan arahan UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.

Aspek perencanaan dan pengambilan kebijakan oleh pemerintah, benar-benar harus diperhatikan karena sistem penataan yang baik dapat mencegah dan memprediksi sejak dini kerusakan atau resiko lingkungan yang akan terjadi. Sehingga dapat diketahui pembangunan apa saja yang boleh dilakukan dan batas maksimum pembangunan di suatu daerah berdasarkan prinsip daya dukung & daya tampung lingkungan.

Semakin dinamisnya permasalahan lingkungan dan untuk semakin menguatkan penegakan hukum lingkungan di Indonesia, maka dirumuskannlah UU 32 Tahun 2009, Tentang PPLH (perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup), yang meliputi beberapa aspek yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pada tahap paling awal yaitu perencanaan dilakukan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup) yang wajib menjadi pertimba ngan dalam penyusunan Tata Ruang.

Yang menarik disimak adalah penetapan wilayah Ekoregion. Karena masalah lingkungan tidak mengenal batas administratif untuk itu penyelesaiannya harus melalui pendekatan dengan mengelompokkan beberapa daerah/wilayah yang memiliki hubungan dan kesamaan karakteristik bentang alam, iklim, flora, sosial-budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat, dll. Penetapan ekoregion ini sangat penting sebagai dasar untuk menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan juga sebagai strategi pengelolaan lingkungan.

Sebagai contoh, permasalahan banjir di Kota Jakarta, sebenarnya bukanlah hanya masalah di Jakarta saja, melainkan berhubungan dengan kota-kota di sekitarnya misalnya Bogor yang dihubungkan dengan DAS Ciliwung. Kini, karena intensitas curah hujan yang tinggi, aliran airnya meluber dan membuat banjir di kota Jakarta. Jadi, sebagus apapun pengelolaan dan penanganan banjir di Jakarta tidak akan efektif jika kota-kota lain disekitar DAS sungai Ciliwung, tidak melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik misalnya dengan masih menebang hutan atau membuang sampah di sungai sehingga terjadi pendangkalan. Untuk itu pendekatan ekoregion yang lintas administratif berdasarkan karakteristik, daya dukung dan daya tampung  DAS Ciliwung, sangat penting dalam upaya pencegahan banjir di Jakarta.

Tata Ruang, dalam UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), merupakan instrumen pencegahan kerusakan lingkungan, bersama dengan KLHS, Baku Mutu Lingkungan, Kriteria baku Kerusakan Lingkungan, Amdal, UKL-UPL, Perizinan Lingkungan, Ekonomi Lingkungan, PUU lingkungan, Anggaran Lingkungan, Analisis Resiko Lingkungan, Audit Lingkungan, dan instrumen lain sesuai kebutuhan. Dengan demikian, agar rencana tata ruang ataupun rencana pembangunan jangka menengah dan panjang yang direncanakan pemerintah benar-benar telah mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, maka harus melaksanakan Kajian KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Kajian KLHS menurut UU 32 tahun 2009 tentang PPLH, mencakup daya dukung dan daya tampung lingkungan, prakiraan dampak dan resiko lingkungan, kinerja jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan SDA, tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim, dan ketahanan potensi keragaman hayati.

Kajian KLHS pada dasarnya serupa dengan Kajian Amdal, hanya saja KLHS kajainnya bersifat lebih menyeluruh dan pada tahap awal yaitu pada tataran Kebijakan, Rencana, Program. Sedangkan AMDAL, kajiannnya pada tataran proyek yang lebih mengkhusus pada analis dampak lingkungan dari adanya proyek/kegiatan yang akan dilaksanakan. Dengan semakin rincinya peraturan dalam hukum lingkungan di Indonesia, diharapkan sejalan dengan penegakan lingkungan. Hal ini tentunya tidak mudah mengingat pertimbangan keuntungan ekonomi terkadang masih menjadi pertimbangna  utama dalam hal pembangunan.

4.  Politik
Sejak era modernisme, paradigma yang dominan yang berkembang dalam tata kelola sumber daya alam adalah developmentalisme dan neoliberalisme yang sangat ekonomi sentris. Paradigma ini menggunakan konsep pembangunan sebagai solusi mengatasi krisis negara-negara berkembang.  Dalam pandangan tersebut, sumber daya alam diperlakukan sebagai objek konsumtif dalam mencapai rasio pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Hal itulah yang kemudian memunculkan adanya perilaku eksplorasi dan eksploitatif yang berlebihan dalam mengeruk kekayaan bumi untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan ekonomi. Implikasi yang timbul kemudian adalah rusaknya tatanan ekosistem lingkungan alam yang diikuti dengan hadirnya bencana alam sebagai bentuk kemarahan alam kepada manusia yang rakus.

Munculnya kesadaran akan rentannya bencana alam yang diakibatkan perilaku rakus dalam manajemen sumber daya alam menciptakan pergeseran paradigma dalam tata kelola sumber daya dari semula economic development menuju sustainable development pada pertengahan tahun 1990-an. Alam mulai mendapat pengakuan politis dalam studi politik maupun studi ekonomi bahwa sudah selayaknya alam dan manusia merupakan entitas organisme yang seharusnya hidup bersama di bumi ini (Kapoor, 2001, dalam wasisto). Adapun wujud nyata pengakuan politis tersebut bisa dilihat dalam revitalisasi kearifan lokal sebagai model manajemen alternatif dalam tata kelola sumber daya alam. Dalam perspektif ekologi politik, kearifan lokal dipandang sebagai praksis dalam menyeimbangkan harmoni manusia dengan alam kaitannya bagaimana manusia memperlakukan alam dan alam menyediakan kebutuhan material ekonomi bagi manusia.

Istilah “pembangunan” kaitannya dengan manajemen pengelolaan sumber daya alam merupakan relasi yang sangat krusial dan ironis. Dikatakan demikian, karena sumber daya alam ini diperlakukan layaknya mesin ekonomi yang senantiasa dipaksa untuk menghasilkan kemanfaatan manusia.

Kajian Ekologi-Politik diintrodusir dalam gagasan Ulrich Beck (1992) tentang Masyarakat Resiko (Risk Society). Dalam pandangan modernisme, masyarakat resiko sendiri hadir dalam bentuk lahirnya kesadaran manusia mengenai bencana yang akan terjadi di masa depan. Manusia modern berpikir bahwa hadirnya bencana di masa depan sendiri dapat harus diminimalisir dan direduksi resiko destruktifnya terhadap kehidupan modern manusia. Hadirnya bencana adalah sesuatu yang fatalis dalam pola linearitas perkembangan kehidupan manusia sebagaimana paradigma modernisme karena bencana akan menghancurkan capaian pembangunan manusia selama ini dalam sekejap.

Konsepsi masyarakat resiko ini menganjurkan manusia untuk bersahabat dengan lingkungan alam supaya bencana yang diakibatkan kerusakan alam lebih terkelola dampak resikonya. Oleh karena itulah, manusia modern masa kini sebisa mungkin harus mengontrol diri untuk tidak secara terus-menerus tergantung pada eksploitasi sumber daya alam dengan mengembangan model alternatif lainnya. Maka dalam tataran ini, lingkungan mulai mendapatkan tempat sebagai subjek partisipan dalam pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Modernitas juga mulai merangkul bentuk norma, nilai, dan pengetahuan dalam kearifan lokal masyarakat untuk merumuskan kembali manajemen sumber daya alam.

Perspektif ekologi-politik hadir sebagai paradigma alternatif dalam merumuskan manajemen pengelolaan sumber daya yang afirmatif dengan kondisi lingkungan alam. Kajian keilmuan ekologi-politik ini merupakan bentuk perkembangan dari kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh sistem ekologi planet bumi, dimana terjadi relasi rumit antara manusia dengan alam yang saling menegasikan. Secara definitif, perspektif ekologi-politik sendiri dapat diartikan kajian politik yang memahami relasi manusia dengan perubahan lingkungan sebagai hasil dari proses-proses politik (Dharmawan, 2007).

Oleh karena itulah, kajian ekologi politik ini selalu mengkritisi dan mempertanyakan konsep ekonomi-politik dalam developmentalisme yang berandil besar dalam perubahan lingkungan. Baik alam dan manusia selama ini berada relasi oposisi biner dimana manusia yang dianggap sebagai pengatur sumber daya alam di planet ini selalu bertindak semena-mena terhadap lingkungan sehingga kemudian menjadi rusak. Perspektif ekologi-politik menolak aliran antroposentrisme yang berkembang dalam wacana developmentalisme. Alam hanya diibaratkan sebagai entitas nonliving yang hanya menjadi objek kuasa bagi manusia. Dalam hal ini, perspektif ekologi politik sendiri mendorong adanya ekosentrisme. Paradigma ekosentrisme merupakan aliran dalam etika lingkungan yang memposisikan antara manusia dengan alam dalam relasi yang timbal balik dan saling membutuhkan sebagai bagian dari komunitas biosfer.

`Dalam penerapan manajemen pengelolaan sumber daya alam tradisional yang menjadi wacana dominan di berbagai negara telah menghancurkan sendisendi ekologis alam tersebut. Adanya penetrasi produk rasionalitas dari Barat seperti halnya teori pengetahuan tentang peningkatan pertanian sejatinya telah merusak tatanan pengetahuan pertanian masyarakat lokal. Oleh karena itulah, Shiva mendorong masyarakat (the commons) juga diberi peran dalam pengelolaan sumber daya alam. Menurut Shiva, pengelolaan sumber daya alam berbasiskan pada masyarakat lebih adil dan merata baik manusia maupun alam karena masyarakat yang tahu persis kondisi situasional mengenai sumber daya yang terdapat di tempatnya.

Shiva mengkritik selama ini aturan tata kelola sumber daya tidaklah jelas dan hanya berlangsung secara top-down sehingga masyarakat hanya menerima pelaksanaannya saja, tanpa tidak bisa memprotes aturan tersebut yang pada akhirnya merugikan masyarakat juga. Oleh karena itulah, manajemen pengelolaan sumber daya alam juga harus memberi tindakan afirmatif bagi masyarakat untuk tampil sebagai aktor penting selain halnya negara dan masyarkat. Menurut Shiva, alam telah diperlakukan bak sapi perah yang dipaksa untuk terus berkesinambungan memenuhi kebutuhan manusia tanpa ada timbal balik manusia untuk memperbaharui kondisi alam tersebut. Dalam hal ini, Shiva menyerukan adanya keadilan bagi lingkungan (environmental justice). Alam perlu mendapat keadilan dalam bentuk legalitas hukum maupun produk politik yang perlu diperjuangkan. Adapun dimensi keadilan bagi lingkungan (environmental justice) ini meliputi berbagai aspek yakni pelibatan pengetahuan lokal, advokasi terhadap aksi perusakan lingkungan, maupun mendorong terciptanya panel internasional pelestarian lingkungan.

langkah pertama yang perlu diwujudkan dalam menyusun ulang manajemen pengelolaaan sumber daya alam agar lebih ramah lingkungan adalah dengan menanamkan spirit green tought. Spirit ini mengajak semua elemen masyarakat untuk kembali memikirkan makna alam sebagai bentuk makhluk hidup. Selama ini, yang berkembang dalam pemahaman common sense dalam struktur ontologis pengetahuan publik adalah lingkungan hijau merupakan entitas yang tak hidup (non-living) karena tidak bisa menggerakkan kekuatan indrawi seperti halnya manusia dan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Adanya pemahaman tersebut muncul karena adanya aliran antroposentrisme yang hinnga kini masih menjadi pengetahuan dominan ditambah lagi dengan doktrin ekonomipoliti yang menilai manusia sebagai pengatur alam.

Dalam hal ini, green tought berusaha untuk mendekonstruksi ulang mengenai dikotomi berharga (valuable) dan tidak berharga (non valuable) dalam menilai dan memperlakukan sumber daya alam. Sumber daya alam yang dianggap bernilai seperti halnya tambang dan mineral akan diperlakukan secara istimewa karena mampu menghasilkan kemakmuran bagi manusia sementara bagi yang tidak berharga hanya akan dibiarkan oleh manusia. Sumber daya alam tidaklah sepantasnya diperlakukan seperti itu karena semua sumber daya alam pastilah bernilai semua bagi kemanfaatan manusia dan tidak sepantasnya pula manusia melakukan pembiaran atas kondisi lingkungan sekitar karena persepsi kurang berharga.

Langkah kedua yakni meletakkan esensi environmentalism dalam perumusan kebijakan publik terutama yang menyangkut dengan pembangunan. Environmentalism dimaknai sebagai sikap politik yang mengedepankan isu lingkungan sebagai bentuk agenda yang diperjuangkan dalam meraih kekuasaan. Dalam hal ini, sikap Environmentalism bisa dilihat dari pembentukan partai hijau (green party) yang terdapat di kawasan negara Eropa dimana partai tersebut memprioritaskan atas permasalahan lingkungan yang rusak akibat pola industrialisasi yang menghasilkan zat-zat yang berbahaya bagi ekosistem alam. Selama ini paradigma utama yang berkembang dalam perumusan kebijakan publik pembangunan selalu menekankan pada aspek orientasi ekonomi (economic oriented).

peradaban manusia yang dibangun selama beradab-abad silam. Paradigma ekologi-politik menawarkan adanya manajemen pengelolaan sumber daya alam yang berbasiskan adanya sinergisitas antar berbagai aktor baik negara, masyarakat sipil, maupun institusi media dan universitas. Adanya pelibatan kalangan media maupun universitas sebagai institusi yang memberikan input pengetahuan ekologis bagi perumusan kebijakan pro lingkungan (McPherson, 2003:15). Harus diakui bahwa selama ini, pelibatan kebijakan mengenai tata kelola sumber daya alam maupun lingkungan berlangsung secara negara sentris semata, padahal seharusnya aktor lain harus diikutsertakan baik secara lintas sektoral maupun lintas kultural (Tompkins,2005:6).

Di Indonesia sendiri, upaya merealisasikan manajemen pengelolaan sumber daya alam berbasis ekologi-politik sendiri menemui berbagai tantangan tersendiri baik dari unsur administrasi pemerintahan, legal formal, maupun politik.

Pertama pemerintahan, dalam proses penyusunan kebijakan selama ini yang terdapat dalam agenda seting, lingkungan selalu dinomor-duakan dan lebih memprioritaskan mengenai aspek kemanfaatan lingkungan. Adapun dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) hanya dianggap sebagai portofolio arsip kebijakan saja tanpa ada tindak lanjut dari pemerintah. Selain itu pula dalam aspek legalitas hukum dalam perlindungan lingkungan maupun sumber daya alam di Indonesia dalam bentuk hukum lingkungan bisa dikatakan amatlah minim

Kedua legal formal, minimnya penerapan hukum lingkungan sebagai dasar hukum kebijakan lingkungan. Hukum Lingkungan sendiri merupakan pendekatan hukum yang berorientasi pada perlindungan terhadap lingkungan hidup. Lingkungan hidup sendiri dalam perspektif hukum kemudian diterjemahkan sebagai kompleksita korelasi ketergantungan manusia dan alam secara timbal balik. Maka hukum lingkungan sendiri kemudian mengalami berbagai kompleksitas hukum mulai dari pidana, perdata, maupun administrsi yang intinya membela lingkungan hidup sebagai mitra hidup manusia (Abigail Clatchy, 2006). Dalam konteks peraturan daerah di Indonesia sendiri sangatlah jarang menggunakan kerangka legal formal hukum lingkungan ini dalam kaitannya dengan pengaturan sumber daya alam dikarenakan jeratan hukumnya yang begitu kompleks sehingga dikhawatirkan tidak memenuhi unsur HAM manusia. Pandangan itu sebenarnya salah, karena selama ini sumber daya alam sendiri hanya menjadi objek manusia sehingga belum mempunyai payung hukumnya, sehingga keadilan dalam konteks hukum di Indonesia hanya berlaku bagi manusia bukan alam. Selain itu pula, alasan lain kenapa hukum lingkungan ini ditiadakan karena masih banyaknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi dari hasil eksploitasi sumber daya alam sehingga keberadaan hukum lingkungan belum begitu penting sebagai aksi advokasi hukum.

Ketiga konteks politik, di Indonesia sendiri belum ada partai yang secara utuh memperjuangkan kelestarian lingkungan sebagai agenda politiknya dalam wujud terbentuknya partai hijau (green party). Minimnya perhatian politis terhadap kelestarian lingkungan tentu akan sedikit menghambat terealisasinya pola manajemen pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkeadilan bagi alam. Selama ini, partai politik di Indonesia lebih banyak dikuasai agenda pragmatis dibandingkan idealis sebagai tolok ukur kejuangan partai politik. Hal itulah yang kemudian menyebabkan partai politik hanya memikirkan dimensi kekuasaannya saja tanpa ada kepentingan politis yang dibawa. Oleh karena itulah, konteks ideologi dalam wajah partai politik di Indonesia boleh dibilang tidak ada sama sekali. Adanya realita politis tersebut menyebabkan ekologi-politik kurang diterima sebagai basis ideologi partai politik di Indonesia.


Daftar Pustaka
Adji Samekto,Adjie,  Kapitalisme, “Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan”, pustaka belajar, yogyakarta, 2005.
Asshiddiqie, Jimly, Green Constitution nuansa hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta, 2010
Budiati, Lilin, Good Governance dalam pengelolaan lingkungan hidup, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012.
Baiquni & Susilawardani, Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan, refleksi kritis pembangunan indonesia, Transmedia Global Wacana, 2002.
Hadi, Sudharto P. Dimensi Lingkungan perencanaan pembangunan, Gadjah mada University, Yogyakarta, 2005.
Harjanto, Tri Nur. Implementasi Sistem manajemen Lingkungan (1SO 14001) dalam manajemen operasi instalasi nuklir, Pusat pengembangan teknologi bahan bakar nuklir dan daur ulang (P2TBDU) ,Batan, 2003
Hidayat, Arief  &  Samekto,Adjie,  “Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan” di Era Otonomi Daerah, BP Undip, Semarang, 2007.
Jati, wasisto. R, Manajemen tata kelola sumber daya alam berbasis paradigma ekologi politik.
Kartono, Penegakan hukum lingkungan administratif dalam undang-undang PPLH, fak Hukum Unsoed, Purwokerto
Keraf, Sony, Etika Lingkungan Hidup, kompas, jakarta, 2010.
Keraf, Sony, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Kanisius,Yogyakarta, 2010.
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia sebuah pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
The World Commisiion on Environment And Development (WCED), “Hari Depan Kita Bersama” , PT.Gramedia, Jakarta, 1988.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Pajak dan Pencemaran Lingkungan