Bangun Kapasitas Adaptasi, Berdayakan Masyarakat Pesisir

Bangun Kapasitas Adaptasi, Berdayakan Masyarakat Pesisir
Sebuah Rekomendasi Perencanaan Pembangunan Pesisir menghadapi Perubahan Iklim (Studi kasus Semarang)
Dhany R 


Pesisir, kaya ataukah rentan?
Wawasan mengenai pengembangan potensi maritim indonesia, kini menjadi isu politik yang begitu ramai diperbincangkan. Pengembangan perekonomian yang selama ini dianggap kurang mengoptimalkan potensi bahari, padahal wilayah indonesia, 62% nya adalah lautan dengan luas 3,1 juta km2, terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km..
Strategi pemerintah untuk mengoptimalisasikan potensi kelautan dan pesisir melalui pengembangan infrastruktur dan penganggaran yang besar di sektor maritim, dianggap dapat menjadi solusi peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional dan mensejahterakan masyarakat. Tentu visi wawasan maritim ini,bukanlah hal yang mengawang-ngawang, melainkan berangkat dari kesadaran bahwa potensi perekonomian indonesia dari sektor  maritim sangatlah besar dan potensial untuk dikembangkan.
Berbagai macam potensi yang dapat dikembangkan di kawasan  pesisir dan lautan indonesia, diantaranya  perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan, jasa transportasi, kawasan industri, pertambangan, pariwisata, pemukiman, dan lain-lain. Hal ini yang kemudian menjadikan wilayah pesisir sebagai prioritas dan tumpuan untuk memenuhi persoalan kebutuhan lahan untuk permukiman, perekonomian dan industri di kota-kota Besar misalnya jakarta, Surabaya, Semarang, dan Makassar.
Menariknya, wilayah pesisir di Indonesia yang sangat kaya, rupanya ibarat pisau bermata dua. Dimana satu sisinya adalah kekayaan alam yang melimpah dan disisi lainnya adalah rentannya kawasan pesisir terhadap  ancaman perubahan iklim (Climate Change) yang ditandai dengan adanya gejala kenaikan paras air laut (Sea Level Rise) dan meningkatnya resiko abrasi.
Kota Semarang, sebagai salah satu kota yang mengarahkan pembangunannya di wilayah pesisir melalui upaya reklamasi lahan, saat ini telah merasakan dampak perubahan iklim. Kenaikan permukaan air laut dan abrasi secara signifikan telah merusak lahan pertambakan warga, hingga menggenangi rumah-rumah warga yang hidup di pesisir. Perubahan iklim juga berdampak pada perubahan pola musim sehingga menyulitkan nelayan untuk menentukan jadwal melaut karena adanya resiko gelombang besar. Keadaan tersebut tentu memberikan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi masyarakat pesisir yang kehidupannya sangat bergantung pada lahan tambak dan nelayan.

Perubahan iklim di Kota Semarang  
Menurut laporan UNFC on Climate Change, 2007, Perubahan iklim pada dasarnya merupakan perubahan secara global terhadap unsur-unsur iklim diantaranya perubahan suhu, tekanan, kelembapan, hujan, angin, dan sebagainya. Perubahan iklim terkait dengan pemanasan global yakni adanya indikasi kenaikan suhu bumi. Berbagai masalah perubahan iklim tentu memberi ancaman bagi kehidupan masyarakat pesisir seperti kenaikan paras air laut (Sea Level Rise).

Perubahan iklim telah menjadi tantangan terbesar bagi kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan politik di abad ke-21. Pengendalian Gas Rumah Kaca (GRK) secara efektif menjadi sangat mendesak untuk menghindari dampak perubahan iklim yang lebih parah. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change ) menunjukkan bahwa antara tahun 1995-2006 merupakan tahun dengan suhu permukaan terpanas sejak tahun 1850. Hal ini disebabkan oleh peningkatan emisi GRK sebesar 70% antara tahun 1970 sampai dengan 2004. Porsi terbesar kenaikan emisi GRK disumbang dari sektor energi dan limbah dari aktifitas kota, serta meningkatnya laju deforestasi.
Kota Semarang merupakan kota Industri, sehingga otomatis menjadi salah satu penyumbang GRK terbesar di wilayah Jawa Tengah. Sebagai kota penghasil GRK yang berkontribusi terhadap perubahan iklim global, maka kota Semarang juga merasakan dampak perubahan iklim tersebut. Kajian kerentanan yang telah dilakukan menunjukkan fenomena perubahan iklim telah terjadi.
Menurut Diposaptono (2009) dalam bukunya Menyiasati Perubahan iklim di Wilayah  Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,  kenaikan paras muka air laut di pantai utara (pantura) Jawa ditaksir antara 6-10 mm/tahun. Sementara itu, khusus di pesisir kota Semarang, diasumsikan terjadi kenaikan paras muka air laut sebesar 8 mm/tahun. Dampaknya, dalam 20 tahun mendatang, diprediksikan terjadi kenaikan paras air laut sebesar 16 cm yang  akan mengakibatkan kerusakan jalan sepanjang 32 km. Selain itu, 3.522 rumah, 63,4 ha sawah, dan 2.149 ha tambak, akan terpengaruh air asin.
Dalam laporan strategi perubahan iklim terpadu kota Semarang tahun 2010 – 2020 dijelaskan bahwa Untuk mengetahui nilai kenaikan muka air laut akibat pengaruh pemanasan global di Perairan Semarang, maka perhitungan yang digunakan yaitu menghitung selisih antara nilai kenaikan muka air laut total dengan nilai penurunan tanah pada lokasi stasiun pasang surut. Kenaikan muka air laut total sebesar 4,47 cm (periode 1985-2008) dan 7,43 cm (periode 2003-2008) sementara penurunan tanah sebesar 5.17 cm/tahun, maka kenaikan muka air laut akibat pemanasan global adalah sekitar 0,79 cm/tahun.
Dalam laporan tersebut juga pemerintah kota Semarang telah menyusun tujuh strategi perubahan iklim terpadu. Strategi  tersebut meliputi peningkatan efisiensi energi, pengembangan sistem pengelolaan limbah terpadu, pengendalian penyakit menular terkait dampak perubahan iklim, peningkatan penyediaan dan pelayanan air bersih, peningkatan kapasitas kesiapsiagaan bencana terkait perubahan iklim, pengendalian dampak banjir dan rob, pengendalian bangunan dan pemanfaatan ruang.

Mitigasi dan Adaptasi Menghadapi Perubahan Iklim di Kota Semarang
Strategi perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, tentu memerlukan pendekatan manajemen resiko bencana untuk mengantisipasi bencana perubahan iklim. Titik berat  tindakan yang dapat dilakukan pra bencana yakni tindakan mitigasi bencana. Menurut UU no 27 Tahun 2007, mitigasi bencana wilayah pesisir  yakni upaya untuk mengurangi risiko bencana secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami atau buatan maupun upaya nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pemerintah kota Semarang, sebenarnya telah melakukan berbagai upaya serius dalam hal perlindungan kawasan pesisir terhadap ancaman perubahan iklim ,abrasi dan pengendalian banjir rob. Beberapa upaya teknis yang telah dilakukan antara lain reklamasi lahan, pembangunan polder, perbaikan drainase, penanaman mangrove, hingga yang saat ini masih dalam perencanaan dan kajian kelayakan adalah rencana pembangunan tanggul laut (great sea wall). Namun, dalam aplikasinya perencanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan pesisir belum dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral serta belum melibatkan masyarakat secara aktif.
Perencanaan kawasan pesisir haruslah dimulai dengan mengkaji tingkat kerentanan dan resiko bencana di kawasan pesisir, terutama terkait dengan dampak perubahan iklim. Selain itu, perlu juga menghitung daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga dapat diketahui batas-batas pembangunan dan aktifitas yang diperblehkan sehingga tidak terjadi degradasi fungsi lingkungan pesisir. Keterlibatan stakeholder pemerintah, private sector dan masyarakat.juga penting dalam untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir diantaranya.

Peningkatan Kapasitas Adaptasi dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Sebuah Rekomendasi Perencanaan Pesisir
Selama ini, perencanaan pesisir juga masih terfokus pada upaya mitigasi dengan membuat bangunan fisik sementara hal non fisik seperti peningkatan  kapasitas adaptasi dan pemberdayaan masyarakat belum diintegrasikan secara penuh dalam perencanaan pengelolaan kawasan pesisir.
Seringkali kegagalan pembangunan diakibatkan karena dalam tahap perencanaannya tidak melibatkan masyarakat. Pembangunan hanya memikirkan aspek teknis dan fisik saja, sementara hak –hak masyarakat kecil cenderung terabaikan.  Masyarakat pesisir umumnya  didominasi oleh masyarakat miskin dan berpendidikan rendah dengan profesi utama adalah nelayan atau petani tambak. Dari aspek ekonomi dan kapasitas, kelompok masyarakat tersebut sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Untuk itu  peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap dampak perubahan iklim sangatlah penting terutama untuk meningkatkan pengetahuan serta kemandirian dalam menghadapi berbagai perubahan lingkungan yang terjadi. Kapasitas masyarakat pesisir dapat ditingkatkan dalam berbagai hal, misalnya kesiapsiagaan menghadapi bencana, perlindungan tambak dengan penanaman mangrove, serta menciptakan alternatif sumber pendapatan yang dapat mendukung kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir. 
Peningkatan kapasitas adaptasi masyarakat pesisir dapat diwujudkan melalui upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Dalam paradigma pembangunan berkenjutan, masyarakat merupakan salah satu dari tiga aktor pembangunan selain pemerintah dan private sector.
Pemberdayaan masyarakat sebagai strategi pengelolaan kawasan pesisir menghadapi dampak perubahan iklim harus dipahami sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat melalaui peningkatan pengetahuan, sehingga mampu mengidentifikasi, merencanakan, dan menemukan solusi atas permasalahan dengan memaanfaatkan potensi yang ada di lingkungan pesisir.
Kejadian abrasi, banjir rob, gelombang tinggi, serta angin kencang adalah berbagai ancaman yang sewaktu-waktu dapat mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai petani tambak dan nelayan. Dengan demikian, masyarakat pesisir yang rentan harus diberdayakan dan diajak terlibat aktif dalam upaya perlindungan kawasan pesisir sehingga mampu bertahan pada ancaman perubahan iklim.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggencarkan upaya penanaman dan perlindungan mangrove di pesisir. Upaya tersebut dilakukan bersama dan diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat pesisir dalam menjaga kawasan pesisir. Upaya edukasi melalui sekolah lapang bagi masyarakat pesisir juga dapat dilakukan sebagai bagian peningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat. Dalam sekolah lapang, masyarakat diberikan pengetahuan tambahan tentang dampak perubahan iklim, strategi menghadapinya, modifikasi teknik budidaya ikan, serta  informasi-informasi iklim yang dapat membantu nelayan dalam menentukan jadwal melaut ataupun kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Selain itu, dari aspek ekonomi, untuk menunjang kesejahteraan masyarakat pesisir, dapat dikembangkan pula alternatif mata pencaharian dengan memberdayakan potensi kaum perempuan. Dalam masyarakat pesisir, laki-laki mengambil peran sebagi pencari nafkah keluarga dengan managkap ikan di laut atau membuka tambak. Namun, pada kondisi perubahan iklim dimana ketidak pastian cuaca dan rusaknya lahan tambak, nelayan tidak bisa melaut dan petani tambak mengalami kerugianbesar. Pada kondisi ini, peran perempuan dapat dimanfaatkan untuk mendukung kebutuhan ekonomi keluarga, misalnya dengan pemberdayaan kelompok perempuan di pesisir untuk membuat usaha-usaha alternatif misalnya usaha pembibitan mangrove, ataupun pengembangan usaha makanan olahan dengan bahan baku ikan, udang, atau buah mangrove. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Pajak dan Pencemaran Lingkungan

Good Governance dan Good Environmental Governance dalam perencanaan lingkungan hidup