Pajak dan Pencemaran Lingkungan



Dhany. R

Pajak dan Pencemaran Lingkungan

Sumber daya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi khususnya di negara berkembang seperti di indonesia. Sumber daya alam, selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi backbone dari perumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta sebagai aset bangsa yang penting. Oleh karena itu, ketersediaan dan kesinambungan (sustainability) dari sumber daya alam ini menjadi sangat penting bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan akan sangat tergantung dari pengelolaan yang baik oleh setiap stakeholder yakni masyarakat dan pemerintah.
Dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan haruslah holistik dan lintas disiplin ilmu, termasuk melalui pendekatan ilmu ekonomi. Setidaknya, Ada dua metode untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan melalui mekanis ekonomi yaitu melalui pendekatan pengaturan langsung berdasarkan baku mutu lingkungan yang diterapkan dengan mekanisme perundang-undangan tanpa bantuan mekanisme pasar (command and control) dan pendekatan insentif ekonomi berdasarkan mekanisme pasar (market based incentive).
Para ekonom sudah lama berargumentasi bahwa sistem insentif berdasarkan mekanisme pasar lebih efisien daripada sistem pengaturan langsung berdasarkan perundang-undangan. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sistem pengaturan langsung memiliki kelemahan diantaranya ialah bahwa sistem ini memerlukan pembiayaan yang besar karena para pelaksana pemerintahan harus mengumpulkan informasi yang sebenarnya informasi tersebut sudah dimiliki oleh para pencemar lingkungan, dan sistem pengaturan langsung menghendaki diterapkannya sistem baku mutu yang harus dipenuhi oleh setiap pencemar lingkungan sehingga menimbulkan biaya yang besar bagi para pencemar yang bersangkutan.
Karena ada kelemahan dalam sistem pengaturan langsung (command and control), maka para ekonom lebih menyukai untuk diterapkannya sistem insentif ekonomi guna mengendalikan pencemaran. Dengan sistem insentif ekonomi atau pungutan pajak maka:
a) Produsen yang mencemari lingkungan memiliki pilihan dalam  menyesuaikan kegiatannya terhadap baku mutu kualitas lingkungan melalui sistem insentif ekonomi. Seorang produsen yang mencemari lingkungan akan lebih senang dan memilih membayar pajak bila ia sangat mencemari lingkungan dan biaya untuk menanggulanginya sangat mahal. Atau produsen yang tak terlalu mencemari lingkungan akan memilih untuk memasang alat pengolah limbah dari pada harus membayar pungutan pajak yang mahal.
b) Penerimaan dari pungutan pajak, merupakan sumber pendapatan pemerintah, sehingga dapat digunakan untuk membiayai pengurangan limbah dan pengelolaan lingkungan. Dalam praktiknya, kedua sistem pengelolaan lingkungan tersebut, baik pengaturan langsung melalui baku mutu maupun melalui insentif ekonomi dipakai bersama-sama dan saling melengkapi.

Prinsip pencemar membayar (Polluter Pays Principle)
Untuk mencagah terjadinya eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan secara berlebihan, maka diterapkanlah prinsip Polluter pays principle atau Prinsip pencemar membayar (PPM) Prinsip ini mencoba menetralkan kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan kegagalan pasar dalam mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan.
Prinsip pencemar harus membayar, memberi dua interprtasi :
 a) Pada dasarnya, menurut prinsip tersebut, pencemar harus menanggung biaya yang timbul karena pencemaran sedemikian rupa sehingga limbah yang dibuang sesuai dengan baku mutu yang ditentukan. Ini berarti bahwa PPM memberikan suatu hak untuk membuang limbah ke dalam lingkungan sampai jumlah tertentu bebas dari pungutan. Interpretasi demikian ini merupakan interpretasi dasar dan sempit.
b)  Perkembangan terhadap interpretasi PPM, yaitu bahwa pencemar tidak lagi diizinkan membuang limbah sampai batas tertentu tanpa bayaran, tetapi ia diharuskan membayar disamping biaya pengendalian juga biaya kerusakan lingkungan. interpretasi ini menghendaki adanya pajak atau pungutan sebagai suatu insentif, yaitu mengaharuskan pencemar membayar nilai bersih limbah buangan yang diizinkan. Hal ini dapat memotivasi para pencemar agar mengurangi volume pencemarannya.
Kenyataan yang harus diakui adalah bahwa kemakmuran material dalam masyarakat modern sekarang ini mau tidak mau, harus pula dihadapkan dengan pencemaran lingkungan, sehingga kalau kita ingin mengurangi derajat pencemaran lingkungan, maka harus juga mengurangi produksi fisik. Sehingga untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara kedua hal tersebut adalah pemerintah harus menerapkan pendekatan berjaga-jaga.
Dalam pendekatan ini, dianut pengertian bahwa banyak ketidakpastian dalam pengendalian pencemaran, maka perhatian harus lebih diberikan pada awal dan selama proses produksi dan bukan pada akhir proses produksi. Pengendalian pencemaran pada akhir proses produksi bisa dilakukan dengan pemasangan alat pengolah limbah atau pemasangan alat penyaring debu dan sebagainya. Dalam hal ini karena ada ketidakpastian dalam pengendalian pencemaran maka terdapat resiko yaitu zat pencemar terakumulasi dalam lingkungan dan akhirnya mengurangi kemampuan asimilasi lingkungan tersebut. untuk menghindari hal tersebut maka pemerintah menerapkan peraturan perundangan secara langsung dengan menentukan baku mutu emisi atau baku mutu limbah cemaran.

Pajak terhadap pemanfaatan lingkungan
Penerapan pajak pencemaran

            Untuk menangani kondisi yang disebabkan oleh perubahan iklim, sebagai contoh, pemerintah dapat menerapkan pajak atas emisi dan bahan bakar yang berasal dari fosil. Kebijakan ini dikenal sebagai pajak karbon (carbon taxes). Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengurangi emisi gas yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan dalam proses produksinya, dan juga untuk mengurangi jumlah bahan bakar fosil yang digunakan individu maupun perusahaan-perusahaan. Dengan menerapkan pajak-pajak tersebut, diharapkan perusahaan-perusahaan akan berupaya untuk berinovasi dan membangun manajemen limbahnya dengan baik, sehingga dapat mengurangi pembayaran pajak yang tentunya akan menaikkan ongkos produksi.
Sejalan dengan hal tersebut, pajak atas bahan bakar fosil akan memicun peningkatan harga bahan bakar tersebut. Secara teori, seseorang akan mengurangi pemakaian bahan bakar ketika harganya naik. Dengan kata lain, pemerintah dapat menyelamakan lingkungannya dengan menerapkan fitur pajak tersebut.
Dalam pendekatan pengendalian pencemaran untuk memelihara lingkungan ada beberapa instrumen yang dapat diterapkan diantaranya :
a) Mengubah secara langsung tingkat harga atau biaya produksi. pengubahan tingkat harga dan biaya secara langsung terjadi bila pungutan atau pajak lingkungan dikenakan terhadap produk atau terhadap proses pengolahan produk seperti pungutan pencemaran ataupun sistem deposit yang digunakan bila terjadi kerusakan lingkungan dan dikembalikan jika tidak terjadi kerusakan lingkungan
b) Mengubah secara tidak langsung harga dan biaya melalui kebijakan fiskal dan moneter. Mekanisme in dapat dilakukan dengan memberi subsidi, pinjaman lunak, ataupun dengan kebijakan fiskal yang semuanya itu mendorong untuk digunakannya teknologi bersih, dan denda terhadap ketidakpatuhan pada peraturan juga dapat dikategorikan pengubahan harga tidak langsung.
c) Menciptakan pasar bagi barang-barang lingkungan. Mekanisme ini dapat dilakukan dengan memperdagangkan hak atau kuota untuk membuang limbah tertentu.pelelangan hak dalam hal pembatasan emisi, pembatasan penangkapan ikan di wilayah tertentu, dan sebagainya.
Pungutan atau pajak lingkungan merupakan instrumen yang langsung menentukan nilai atau harga terhadap penggunaan lingkungan. Bentuk pungutan lingkungan ini bermacam-macam, diantaranya adalah :
a)      Pungutan emisi (emission charge). Pungutan ini dikenakan terhadap pembuangan pencemar ke udara, ke badan air, ataupun ke dalam tanah, termasuk penciptaan kebisingan. Pungutan itu dikaitkan dengan kuantitas maupun kualitas pencemarnya dan biaya kerusakan yang ditimbulkan pada lingkungan.
b)      Pungutan atas penggunaan (user charges). Pungutan terhadap penggunaan sumber daya alam dan lingkungan ini mempunyai fungsi untuk meningkatkan pendapatan negara atau pendapatan daerah yang dikaitkan dengan biaya pengolahan, pengumpulan, dan pembuangan limbah. Pungutan ini tidak langsung dihubungkan dengan kerusakan lingkungan.
c)      Pungutan atas dasar produk (produk charges). Pungutan atas dasar produk ini dikenakan pada proyek yang merusak lingkungan, yaitu bila pproduk itu digunakan dalam proses produksi. atau dikonsumsi dan dibuang kedalam lingkungan. Tinggi rendahnya pungutan tergantung pada kadar atau derajat kerusakan yang ditimbulkannya.
d)     Perdagangan izin. Sistem ini terjadi bila terdapat sistem kuota lingkungan atau batas atas dari pencemaran lingkungan yang diizinkan. Pada awalnya alokasi perizinan dikaitkan dengan target lingkungan ambien, tetapi setelah itu perizinan boleh diperdagangkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e)      Sistem deposit. Sistem ini diterapkan pada produk-produk yang mempunyai potensi mencemari lingkungan. Kalau produk tersebut dikembalikan ke pihak yang diberi wewenang untuk mengumpulkannya setelah digunakan dan menghindari terjadinya pencemaran, maka ia dapat diberikan [pembayaran kembali. Tetapi jika produk yang dihasilkan tetap mencemari lingkungan, maka dana  deposit yang dibayarkan tadi akan digunakan untuk menanggulangi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh produk tersebut.

Pajak yang optimal terhadap pencemaran
Dalam penerapan pajak lingkungan ada kelompok yang bersepakat dengan diberlakukannya mekanisme prinsip tersebut namun ada pula yang tidak sepakat dengan prinsip tersebut dengan beberapa alasan tertentu yang akan dibahas didepan. Professor A.C. SPigou adalah orang pertama yang mengusulkan dikenakannya pajak terhadap pencemaran lingkungan  dan pajak tersebut harus dibayar oleh orang atau lembaga yang menimbulkan pencemaran tersebut. sistem pajak tersebut disebut sebagai “Pigovian Taxes”. untuk memahaminya, perhatikan gambar

 Gambar menunjukan bahwa produksi harus dikurangi sampai pada titik manfaat sosial bersih yang optimal yaitu pada jumlah produksi Qs yaitu pada saat pajak yang dikenakan persis sama dengan biaya kerusakan yang ditimbulkan oleh pencemaran yang dihasilkan oleh perusahaan atau pabrik tersebut (BEM). Pajak atas pencemaran itu (“pigovian tax”)ditunjukan oleh garis putus-putus t yaitu untuk setiap unit pencemaran pengusaha harus membayar pajak kepada pemerintah setinggi t.

Dari gambar dapat dimengerti bahwa seorang produsen akan mendapat keuntungan bersih yang maksimum dengan memproduksi barang atau produk sampai titik Qm. Namun demikian apabila biaya kerusakan lingkungan akibat pencemaran harus dipertimbangkan oleh produsen, maka produksi akan tidak dilaksanakan apabila keuntungan bersih marginal lebih rendah daripada biaya eksternal marginal. Oleh karena itu, produksi akan berhenti pada titik Qs dan berakibat mengurangi pencemaran dari volume sebesar Wm menjadi Ws. Pajak atas pencemaran ini memberikan manfaat yang lebih besar dibanding dengan sistem pengaturan langsung yang disertai denda karena tidak mematuhi baku mutu atau standar pencemaran.

Penentuan baku mutu seringkali tidak berkaitan dengan nilai produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Seandainya baku mutu limbah ditentukan lebih tinggi dari volume Ws, ini berarti produsen masih akan menghasilkan produk yang memberikan nilai manfaat bersih lebih rendah dari pada biaya ekternal yang dipikul oleh masyarakat. Jadi, terlalu banyak produk dan juga pencemaran yang dihasilkan. Sekarang bagaimana kalau baku mutu limbah itu ditentukan lebih rendah daripada volume Ws yaitu setinggi Wf. Kebijakan demikian sungguh akan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Dengan penentuan baku mutu setinggi Wf, ini berarti bahwa masyarakat akan mengalami penurunan manfaat sosial atau keuntungan bersih sebesar luas area Qf,QsAB dan penurunan biaya eksternal seluas QfQsAD.

Selanjutnya bila pemerintah mengenakan denda setinggi garis yang diberi tanda “denda”, maka produsen akan cenderung menghasilkan output setinggi Qp karena produksi setinggi itu masih memberikan tambahan keuntungan bersih yang lebih tinggi daripada denda yang dikenakan. Dalam hal ini, produsen akan menyumbang pada pembentukan pencemaran setinggi Wp yang lebih tinggi dari pada bila produsen dikenai pajak setinggi t. Ini berarti bahwa pengaturan langsung dengan baku mutu dan denda yang relatif rendah tersebut, kurang memberikan dorongan kepada produsen untuk mengurangi pencemaran. Dengan kata lain, produsen lebih senang membayar denda daripada mengurangi produksi atau pencemaran yang diciptakannya.
Keuntungan lain dari pendekatan dengan pajak atas pencemaran dibanding dengan pengaturan langsung adalah bahwa pengenaan pajak atas pencemaran tidak terlalu banyak dihindari dibanding dengan sistem pengawasan oleh polisi. Pengenaan pajak atas pencemaran akan mendorong produsen untuk mengurangi pencemaran karena dengan semakin sedikit jumlah pencemaran yang diciptakannya akan berarti semakin sedikit jumlah pajak yang harus dibayarnya. Selanjutnya dengan pembayaran pajak pencemaran itu, dana akan terbentuk yang dapat digunakan untuk pengembangan penelitian guna mengembangkan teknologi penanggulangan pencemaran atau mengembangkan teknologi bersih yang sedikit menghasilkan limbah pencemar. Dan juga, pengenaan pajak itu memberikan isyarat baik kepada produsen maupun kepada konsumen bahwa ada kerusakan lingkungan sehingga mereka mau mengurangi  konsumsi (bagi konsumen) maupun produksi (bagi produsen) akan barang tersebut dan beralih ke jenis produksi lain yang tidak merusak lingkungan sehingga tingkat pajak akan rendah dan dengan sendirinya harga barang yang bersangkutan akan rendah pula.

Masalah penentuan tingkat pajak
Dari uraian diatas tampaknya sistem pungutan pajak lingkungan mempunyai beberapa kelebihan dibanding sistem pengaturan lingkungan secara lingkungan. Namun demikian dalam praktiknya pajak lingkungan (“pigovian tax”) cukup sulit dilaksanakan karena adanya alasan yang sangat mendasar yaitu adanya ketidakpastian dalam biaya kerusakan lingkungan akibat dari suatu pencemar. Penentuan BEM (biaya eksternal marginal) merupakan dasar bagi penentuan pajak lingkungan yang memerlukan informasi dan data yang jelas berkaitan dengan beberapa faktor berikut :
a.       Pengetahuan tentang macam dan jumlah produk (output) yang dihasilkan oleh suatu perusahaan
b.      Banyaknya (dosis) pencemar yang dihasilkan perusahaan sebagai produk samping yang tidak diinginkan,
c.       Sifat akumulasi pencemar dalam jangka panjang,
d.      Apakah pencemar itu dihadapkan langsung dan terus menerus pada manusia (human exposure),
e.       Timbulnya kerusakan akibat dari pencemar tersebut,
f.       Penilaian dalam rupiah terhadap biaya kerusakan akibat pencemaran tersebut.
Dalam praktik, tampak bahwa perhitungan yang teliti mengenai tingkat pajak lingkungan yang tepat sulit untuk direalisasikan. Misalnya pajak yang dikenakan terhadap penggunaan batubara yang menimbulkan polusi karbon dioksida diudara, harus lebih tinggi dari pada pajak yang dikenakan terhadap bahan gas alam yang hanya menghasilkan 60% volume karbon dioksida jika dibandingkan dengan penggunaan batu bara. Penggunaan gas alam dipandang lebih ramah lingkungan, jadi sebaiknya tidak sama. 

Penggeseran beban pajak ke konsumen
Selanjutnya yang harus dipikirkan adalah siapa yang sebenarnya membayar pajak lingkungan atau pajak pencemaran tersebut. jika menggunakan prinsip “pigovian tax”, maka pencemaran harus dibayar oleh pencemar (pulluter pays principle). Namun, dengan tingginya pajak lingkungan maka otomatis, produksi berkurang dan volume pencemar pun bisa ditekan kebatas normal. Namun hal ini dari perspektif produsen, dianggap merugikan karena keuntungan dari jumlah produksi harus dibatasi karena tingginya biaya eksternal (BEM) yang ditimbulkan pajak lingkungan, sehingga ada kecenderungan untuk menggeser beban pajak ke konsumen.
Dalam teori perpajakan, dikenal konsep penggeseran beban pajak yaitu bahwa beban pajak sesungguhnya dapat digesarkan ke depan ataupun ke belakang. Dengan kata lain, pembayar pajak tidak harus ditanggung oleh pencemar saja. Melainkan konsumen juga harus menanggungnya kerana barang dari proses produksi itu juga dinikmati oleh masyarakat selaku konsumen.

Sebelum ada pajak, produsen menghasilkan produk setinggi Qo yang ditunjukkan oleh perpotongan antara kurva permintaan D dan kurva penawaran So pada titik Eo. Kalau seandainya pemerintah mengenakan pajak per unit (specific tax) terhadap produk karena prosesnya menghasilkan polusi udara yang meningkatkan aktifitas karbondioksida dalam udara, maka oleh produsen, pajak itu akan dibebankan kepada konsumen produk tersebut dengan cara menaikkan harga produk sebesar nilai pajak dari pemerintah, sebesar t. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya permintaan konsumen akibat kenaikan harga produk menjadi P1.
Namun dapat juga dijelaskan bahwa besar kecilnya penggeseran beban pajak tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran akan produk tersebut. apabila permintaan terhadap produk perusahaan tersebut semakin inelastis, maka beban pajak akan cenderung lebih digeser kepada konsumen, sedangkan apabila permintaan akan produk bersifat elastis, maka penggeseran beban pajak pada konsumen akan lebih kecil dan sebagian besar pajak akan dipikul produsen sendiri.

Sudah Tepatkah prinsip Polluter Pays Principle..?
Berdasar analisa tersebut, apakah sudah tepat jika produsen pencemar lingkungan diharuskan membayar pajak atas pencemaran seperti pada prinsip polluter pays principles. Namun kenyataan yang terjadi adalah produsen menggeser beban pajak pada konsumen. Secara teoritis, penggeseran beban pajak dapat diterima karena yang menikmati haasil produksi selain produsen adalah konsumen juga. 

 Kembali kita lihat grafik ini, karena diberlakukannya pajak pencemar, maka produsen tidak mencapai keuntungan bersih maksimalnya yaitu pada Qm. Produsen harus mengurangi produksinya dari Qm menjadi Qs. Ini menunjukan penurunan yang sangat drastis dari keuntungan produsen dan bahkan juga masyarakat (social Loss) karena produksi berkurang dan harga meningkat. Oleh karena itu, penganut paham ini merasa pantas jika perusahaan sebaiknya tidak dikenai pajak atau pungutan atas pencemaran karena memproduksi emisi, polusi atau limbah lainnya.
Disamping itu, dapat juga diajukan argumen bahwa jika setiap produsen dibatasi jumlah produk dan volume pencemarnya pada titik Qs dan Ws maka keseimbangan lingkungan akan terjadi dengan asumsi Qs dan Ws adalah baku mutu produksi yang harus dipertahankan sehingga tak perlu lagi ada biaya pencemar yang harus dibayar karena lingkungan masih dapat mengasimilasi pencemar yang dihasilkan produsen. Maka kelompok dengan argumen ini, lebih menyukai pengaturan langsung yang dapat memaksa produsen membatasi pencemar sampati pada titik Ws tanpa ada pajak tambahan lagi. Inilah alasan mengapa para pembuat kebijakan seringkali belum menerapkan sistem pajak lingkungan atau insentif ekonomi lingkungan dan lebih memilih menerapkan prinsip pengaturan langsung dengan baku mutu pencemaran lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan secara sederhana bahwa penetapan baku mutu lingkungan saat ini, masih berlandaskan pada kepentingan ekonomi dimana terjadi tarik menawar kepentingan antara pemerintah selaku pembuat kebijakan dengan pihak produsen.
Sistem pungutan pajak ini juga dinilai regresif dalam penerapannya dimana kurang memihak pada keadilan atau pemerataan. Kelompok kecil yang berpendapatan rendah akan lebih menderita dibanding kelompok kaya karena beban pungutan pajak tersebut akan digeserkan kepada konsumen tanpa memperhatikan tingkat pendapatan konsumen. Maka, untuk menanggulangi masalah tersebut, harus dicari jalan keluar agar penerapan pajak lingkungan tersebut dapat digunakan untuk menanggulangi kerusakan akibat pencemaran lingkungan juga memperhatikan keadilan dan pemerataan kebutuhan pada kelompok kecil. Salah satu cara adalah pemerintah menggunakan pendapatan dari hasil pajak pencemaran lingkungan itu untuk menyediakan barang dan jasa dengan subsidi kepada para penerima pendapatan rendah, seperti misalnya pemerintah memberikan subsidi harga bagi konsumen dengan pendapatan rendah juga misalnya dengan membangun sistem sanitasi yang baik di perumahan-perumahan kumuh dan padat penduduk. Dalam hal ini diartikan bahwa pengenaan pajak lingkungan bukan dimaksudkan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk mempengaruhi tingkah laku konsumen maupun produsen ke arah pengurangan tindakan yang mencemari lingkungan.

Subsidi Lingkungan
Subsidi bagi pelaku Industri
Pendekatan pasar yang lain untuk mengurangi kerusakan lingkungan adalah dengan membayar subsidi kepada perusahaan sumber polusi untuk tidak menimbulkan polusi. Karena subsidi adalah pajak ‘negatif’,ia mempunyai mekanisme rangsangan yang sama dengan pajak polusi,dimana mereka memberikan reward karena tidak melakukan polusi, yang berlawanan dengan mengenakan hukuman karena terlibat dalam aktivitas polusi. Dalam praktek, subsidi pengurangan polusi dapat diberikan dalam bentuk bantuan, pinjaman dengan bunga murah, atau pembebasan pajak investasi, semuanya memberikan rangsangan kepada perusahaan sumber polusi untuk menanamkan sebagian modalnya dalam teknologi pengurangan polusi. Apabila subsidi diberikan untuk memasang alat pengurangan polusi khusus, seperti scrubbers (mesin pembersih udara).
Kebijakan subsidi dalam bentuk lain yang mungkin dapat menjadi solusi adalah dengan mengalokasikan subsidi bagi penelitian dan pengembangan upaya ramah lingkungan (climate-friendly research and development). Tujuan dari subsidi ini adalah untuk mengajak dan merangsang orang untuk mencari temuan atau teknologi baru bagi pembangunan proses produksi yang bersih. Sebagai contoh, pemerintah memberikan subsidi bagi pengembangan teknologi untuk mengurangi polusi udara, atau bagi pencarian sumber energy terbarukan. Subsidi ini juga dapat menjadi solusi bagi terbukanya peluang-peluang untuk mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan sekaligus murah diaplikasikan dalam proses produksi. 

Subsidi bagi Konsumen, Kasus pemberlakuan Subsidi BBM di Indonesia
Subsidi sebagai salah satu instrumen distribusi pendapatan (khususnya dari sisi alokasi) kepada pihak yang berhak menerimanya, yang diambil dari dana yang dapat dikumpulkan negara, antara lain melalui pajak. Pemerintah kemudian bertindak sebagai distributor untuk memberikan subsidi kepada masyarakat dalam bentuk bantuan-bantuan dan pembangunan infrastruktur. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ternyata subsidi BBM dinikmati oleh sebagian besar masyarakat menengah-atas. Data Kementerian ESDM 2010 menunjukkan 89 persen pengguna BBM bersubsidi adalah transportasi darat. Sementara itu, 59 persen pengguna BBM bersubsidi berada di Jawa-Bali, yang 30 persen berada di Jawa dan 18 persen di Jabodetabek. Yang mengejutkan, penikmat BBM bersubsidi ternyata 53 persen pemilik mobil pribadi, 40 persen pengguna sepeda motor, serta hanya 4 persen pemilik mobil barang dan 3 persen kendaraan umum.
Sementara dari sisi alokasi, tampaknya banyak hal yang perlu diperbaiki pada APBN kita. Dimana komposisinya belum mencerminkan "keseimbangan" yang tepat. Sebagai ilustrasi, pada APBN 2012, anggaran kemiskinan Rp 99,2 triliun dan anggaran kesehatan Rp 48 triliun. Anggaran pertanian (baik pusat maupun transfer ke daerah, termasuk subsidi pangan) hanya Rp 53,9 triliun, dan anggaran infrastruktur Rp 161,5 triliun. Adapun subsidi BBM mencapai Rp 123,6 triliun.
Kebijakan subsidi BBM yang berlebihan tentunya tidak menguntungkan bagi perekonomian. Bagi pemerintah, pembengkakan subsidi BBM pasti akan membebani belanja APBN. Tidak hanya itu, subsidi BBM juga telah menciptakan ketidakadilan, karena penikmat subsidi BBM adalah kelompok masyarakat menengah ke atas (individu pemilik kendaraan bermotor, terutama mobil, di perkotaan). Di sisi lain, alokasi subsidi BBM yang besar menyebabkan anggaran belanja untuk sektor lainnya (termasuk bagi kelompok miskin) menjadi kecil.
Kebijakan subsidi BBM yang berlebihan juga menimbulkan efek negatif lainnya yang tak kalah berat. BBM bersubsidi telah menimbulkan pemborosan dalam hal konsumsi energi tak terbarukan. Kondisi ini sejatinya sama saja mempercepat proses terjadinya kelangkaan energi. BBM bersubsidi juga berdampak pada semakin meningkatkan masalah kemacetan dan polusi diudara seiring meningkatnya jumlah pemilik kendaraan pribadi. Saat ini Indonesia tercatat sebagai pengimpor neto BBM. Karena itu, mempertahankan subsidi BBM berlebihan sama saja dengan memberikan subsidi bagi kilang minyak di luar negeri, yang sudah pasti dampak multiplier-nya terhadap ekonomi kita akan negatif. Hal yang berbeda bila subsidi dialihkan ke anggaran kemiskinan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pasti akan memberikan dampak multiplier positif.
Untuk itu, kebijakan pengurangan subsidi BBM (apakah melalui pembatasan penggunaan BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM bersubsidi) semestinya direalisasi secara konsisten. Tujuannya agar terjadi alokasi subsidi yang tepat sasaran. Hasil pengurangan subsidi BBM ini kemudian dialihkan untuk memperbesar subsidi bagi program jaring pengaman sosial, ketahanan pangan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan masyarakat. Termasuk pula untuk memperbesar anggaran bagi pembangunan infrastruktur transportasi dan infrastruktur migas. Kebijakan pengurangan subsidi BBM juga merupakan langkah yang bijak untuk menjaga ketahanan energi di masa mendatang.

Daftar Pustaka
Koesworo, W Heru, Ekawati euis, ekonomi lingkungan untuk pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, 2002, jakarta
Suparmoko, M, Ekonomika Lingkungan,edisi pertama, BPFE, 2000, Yogyakarta
Tjahja. D. Surna, Hendriani Y,Famiola M, Ekonomi Hijau (Green Economy),rekayasa sains, 2011, Bandung





Komentar

  1. maaf sebelumnya apakah daftar pustakanya sudah mencakup semua?kalau boleh saya minta pustakanya untuk referensi skripsi.kiranya dibalas, terima kasih banyak..
    postingan anda menarik untuk dibaca dan dijadikan referensi penelitian yg sedang saya lakukan

    BalasHapus

  2. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus
  3. Ebobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.

    Sangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
    Bonus yang tersedia saat ini
    Bonus new member Sportbook 100%
    Bonus new member Slot 100%
    Bonus new member Slot 50%
    Bonus new member ALL Game 20%
    Bonus Setiap hari 10%
    Bonus Setiap kali 3%
    Bonus mingguan Cashback 5%-10%
    Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
    Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
    Bonus Referral
    Minimal deposit hanya 10ribu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Manusia Kontra Lingkungan