Prinsip-Prinsip Dalam Etika Utilitarianisme "the greatest happines of the greatest number"

Prinsip-Prinsip Dalam Etika Utilitarianisme    
By : Dhany R

Utilitarianisme; Sebuah etika yang banyak dipakai dalam perumusan kebijakan pembangunan di era demokratisasi dan otonomi daerah
 "the greatest happines of the greatest number"

Etika Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748 – 1832), dimana ia menegaskan kembali apa yang telah dikemukakan oleh filsuf skotlandia, Francis Hutcheson, yang mengatakan bahwa; “tindakan yang terbaik adalah yang memberikan sebanyak-banyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Filosofi mendasar pandangan utilitarianisme adalah berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah berdasarkan pada the greatest happines of the greatest number (kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar). Prinsip utilitarian juga melandaskan pada pilihan kebijakan atas susah dan senang yang dikenal dengan hedonic value.
Secara umum, paham utilitarianisme, percaya bahwa sangat dimungkinkan untuk membuat kalkulasi kesenangan, dan kesusaahan dan membandingkan konsekuensinya yaitu kebahagiaan sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat. Meskipun berusaha untuk tidak mengabaikan individu, namun dalam pengambilan keputusannya sangat dipengaruhi oleh kondisi zaman saat awal paham ini berkembang yakni era ilmu alam (naturall science) menguasai peradaban dunia sehingga paham utilitarianisme sangat positisvitik. 
Dalam kehidupan sehari-hari kita, implementasi paham utilitarianisme kerap tercermin dalam pola pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah yang masih banyak berorientasi pada teori kebijakan tradisional, dimana pengambilan kebijakan hanya didasarkan pada nasihat dan rancangan para pakar dan  kaum elit tanpa melibatkan masyarakat dalam suatu debat dan musyawarah publik.  Kebijakan tradisional dijalankan berdasarkan metodologi ilmu alam (natural science) yang positivitik. Paham positivistik sangat beranggapan bahwa perilaku manusia dapat diperkirakan dan dapat dikontrol secara terukur.
Pendekatan positivisme dalam kebijakan publik saat ini telah dianggap gagal menciptakan rasa keadilan masyarakat. Hal ini dikarenakan dua hal ; pertama, manusia merupakan pribadi yang unik, kompleks, dan dinamis yang tidak dapat disamakan dengan mekanisme ilmu alam yang bersifat pasif. Dengan demikian, kebijakan harus dilandaskan pada wilayah filsafat yang bersifat normatif bukan hanya berlandaskan pada kajian alamiah. Kedua, pendekatan positivis juga cenderung mengabaikan nilai-nilai demokrasi karena melihat permasalahan secara monolitik, bukan secara plural dan juga sangat kuantitatif.
Pemerintah yang mengutamakan Kebijakan dengan analisis kuantitatif dan positivis, dapat dilihat dari cara pandang nya dalam menyelesaikan permasalahan. Sebagai contoh masalah konflik antaretnik, pemerintah yang positivistik  pasti akan menjustifikasi masalah tersebut dari persoalan ekonomi dan perebutan lahan dari masing-masing suku yang bertikai. Penyelesaian dengan pandangan positivis tersebut sangat dangkal dalam menelaah permasalahan konflik tersebut, misalnya hanya mengukur kerugian dari aspek ganti rugi materil, namun tidak mampu menyentuh ke akar permasalahan mengenai persoalan historis, kultural dan antropologis.
Dalam masyarakat demokratis, melekat persamaan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.  Pengambilan keputusan didelegasikan kepada kelompok  tertentu yang mewakili preferensi dari berbagai individu. kemudian keputusan dituangkan dalam kebijakan publik. Namun dalam demokrasi yang kebanyakan diterapkan saat ini kebanyakan masih menggunakan  model majority rule sesuai prinsip utilitarianisme klasik, dimana pilihan didasarkan atas jumlah mayoritas penerima manfaat dan cenderung mengabaikan kebutuhan minoritas.
            Menurut John Rawls, pandangan utilitarianisme dianggap cenderung merugikan kelompok minoritas kerana menggunakan prinsip kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar dalam masyarakat. Rawls mengajukan model keadilan yang mengandung kejujuran (fairness), dimana tidak satupun hak individu yang dapat dilanggar. Dan jika ada pihak yang tidak beruntung dalam kehidupan sosial dan ekonomi maka harus diberikan kompensasi dengan intervensi negara.
Sebenarnya, konsep rawls dan prinsip utilitarian tidaklah bertentangan. Karena perlu dipahami pula bahwa implementasi prinsip utiltarianisme tidaklah semata mata mengabaikan hak individu begitu saja dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat dalam paham utilitarianisme adalah kumpulan dari individu-individu, sehingga tidak mungkin mencapai kesejahteraan masyarakat jika ada individu yang tidak sejahtera. konsep ini dikenal dengan fictiious body, yaitu analogi masyarakat dengan kesatuan organisme tubuh  yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Sedangkan bagi rawls ada konsep socio unity, yaitu kesatuan sosial yang mensyaratkan social co-operation (hunungan kerjasama sosial dalam kesatuan sosial untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dalam kebersamaan)
Kedua pemahaman antara utilitarianisme dari jeremy bentham dan konsep fairness dari rawls secara sama-sama menjamin hak individu dalam implementasinya. Namun, prinsip utilitarianisme sangat berhubungan dengan paradigma pengambil kebijakannya yang masih menerapkan prinsip natural science/ positivistik sehingga sangat mengedepankan rasionalitas, ilmiah dan teknis. Hal-hal yang lain diluar nilai rasional (misalnya tradisi/adat,ritual agama/spiritual), atau yang tidak diatur dalam sistem legal/aturan hukum, tentu akan ditolak karena tidak memiliki dasar ilmiah.
Persoalan apa yang dimaksud dengan individu dan komunitas dalam prinsip utilitarianisme perlu dipahami dengan baik. siapakah individu dan siapakah komunitas..? Secara teoritis, paham utilitarianisme memang mengutamakan preferensi individu dengan menjamin hak-haknya, namun di atas preferensi individu tersebut, ada hal yang lebih utama untuk didahulukan yakni preferensi komunitas (masyarakat). Bentham menganalogikan komunitas sebagai tubuh yang fiksi (fictious body) yang berarti suatu tubuh yang terdiri dari beberapa bagian/komponen yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Komunitas yang dimaksud adalah komunitas yang terlembaga secara legal yaitu pemerintahan, dimana didalamnya terdapat satuan individu. Karena preferensi pemerintah lebih diutamakan, maka dalam perencanaan tentu sifatnya adalah topdown. Pemerintah adalah perencana teknis dengan tujuan menjamin hak individu memperoleh properti dan mendistribusikan kesejahteraan (properti) kepada seluruh individu.
John stuart Mill meengembangkan paham utilitarianisme, dimana menjelaskan bahwa suatu tatanan masyarakat tidak dapat disususn pemahamannya hanya berdasarkan pada hukum alamiah (natural law), akan tetapi harus didasarkan pada kepentingan individu dalam suatu tubuh sosial yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dalam komunitas tersebut. ada hubungan yang saling terkait (resiprokal) antara kepentingan individu untuk mengejar kesenangan dan kebahagiaan komunitas secara umum.
Prinsip utilitarian pun menerapkan standar ganda dalam peneraapannya yaitu preferensi individu dan komunitas. Yang pertama adalah mengejar kepentingan individu semaksimal mungkin dan disisi lain  ada keharusan untuk mengejar kepentingan masyarakat secara umum. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kedua hal ini dapat dijalankan sekaligus. P.J Kelly menjelaskannya bahwa dalam utilitarianisme, terkandung prinsip Hedonisme yang menjadi motivasi bagi manusia untuk memaksimalkan kesenangannya, begitupula pada masyarakat selama tidak mengganggu orang lain secara fisik dan kepemilikan. Sehingga orang lain paling tidak tetap mampu menikmati batas minimal dari kemampuan untuk bertahan hidup yang layak.
Prinsip hedonisme berbeda dengan dan egoisme. Hedonisme hanyalah merupakan motivasi dan tidak boleh melebihi ambang batas yang akan menghancurkan kebahagiaan komunitas secara umum. dan untuk mencegah agar hedonisme tidak menjadi egoisme, perlu ditetapkan suatu legislasi/aturan yang mampu menghambat egoisme tersebut. Dalam proses tersebut harus disadari bahwa ada nilai toleransi dalam utilitarianisme yang memahami bahwa kita berada dalam tubuh sosial yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Meskipun dalam pandangan ini, nilai toleransi bukanlah berangkat dari dorongan moral melainkan karena ada aturan/legislasi. Sebagai contoh adalah aturan pemberlakuan pajak penghasilan bagi orang yang mempunyai penghasilan lebih untuk kemudian pajak tersebut digunakan dan distribusi bagi kesejahteraan kelompok minoritas.
Persoalan kebebasan, menurut kajian utilitarian, berada pada dua titik yaitu kebebasan negatif (negatif freedom) dan kebebasan positif (positif freedom). Kebebasan negatif berpandangan bahwa kebebasan adalah jika tidak ada hambatan secara eksternal  dari pihak luar untuk untuk mencapai tujuan. Namun dalam proses mendapatkan kebebasan itu tidak boleh ada kekerasan terhadap orang lain. Konsep ini sangat mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak kedaulatan individu. Negara hanya berfungsi sebagai penjamin keamanan/legislator dan tidak mengurus  tentang distribusi kesejahteraan warganya. Menurut konsep ini pola distribusi akan justru akan mengganggu hak asasi seseorang untuk menikmati kebebasannya. Misalnya penarikan pajak terhadap orang kaya untuk dikompensasikan terhadap kesejahteraan orang miskin akan merebut nilai kebebasan seorang individu, yaitu orang kaya. Dalam teori adam smith, dengan mereaapkan kebebsan negaatif tanpa campur tangan pemerintah dalam mendistribusikan kesejahteraan maka kesejahteraan itu akan menemukan bentuknya sendiri (invinsible hand)
Konsep kedua yaitu kebebasan positif (possitive freedom) yang beranggapan bahwa otonomi kebebasan individu, tidak hanya bebas dari gangguan ekssternal untuk meraih tujuan tapi juga harus bebas dari gangguan internal. Setiap individu terkadang mengalami hambatan internal dalam dirinya yang menghambatnya dalam mengekspresikan kebebasannya seperti kondisi cacat fisik, kondisi sosial yang tidak memungkinkan (tinggal di daerah konflik, bencana, terpencil), kemiskinan, dll. dalam kasus ini, maka pemerintah harus memberikan kompensasi dengan memberi subsidi agar orang-orang yang mengalami gangguan internal tersebut dapat juga mendapatkan kehidupan yang layak. Utilitarianisme menganut kedua paham positif dan negatif ii dan mencoba mencari keselarasan dalam implementasinya.
Utilitas (kemanfatan bagi orang banyak) dan perlindungan terhadap properti (hak-hak individu) merupakan dua hal yang diperjuangkan dalam utilitarianisme. Keterkaitan antara utilitas dan properti (hak-hak individu) ini adalah harapan (expectation) untuk mampu memaksimalkan kehidupan sosial yang baik. Harapan inilah yang harus dijaga oleh legislasi/aturan dalam bentuk nyata. Harapan tersebut harus dilengkapi dengan kemampuan untuk mengakses properti dan ketiadaan gangguan dari orang lain. Bentham menyebut kemampuan mengakses atau mendapatkan properti untuk memaksimalkan hidup yang baik sebagai the dissapointment preventing principle (prinsip pencegah ketidakpuasan). Selanjutnya, jaminan tidak ada gangguan dari orang lain secara eksternal disebut dengan prinsip the security providing principle (prinsip memberikan keterjaminan).
Namun permasalahan sosial dan moral yang dihadapi dalam paham utilitarianisme ini dikarenakan hak hak individu yang dimaksud, hanya diukur dalam kerangka rasional dan dapat dikuantifikasi sehingga yang dimaksud pemberian jaminan adalah dalam bentuk kompensasi, subsidi, ataupun ganti rugi yang sifatnya sangat materil. Prinsip ini dianggap tidak manusiawi dan sangat rentan mengorbankan hak-hak minoritas terutama masyarakat tradisional. Nilai-nilai moral, spiritual dan budaya dalam masyarakat tradisonal, tidak diperjuangkan perlindungan hak yang dimaksud adalah mengenai kepemilikan material /properti sehingga kompensasi/subsidi yang diberikan juga bentuknya adalah materil. Padahal permasalahan sosial adalah permasalahan yang sangat kompleks. Tidak dapat diselesaikan dengan paradigma teknis dan positivisti semata. Persoalan legalisasi/aturan yang dibuat untuk menjamin hak-hak minoritas juga adalah hal yang sulit terealisasi secara sepenuhnya dalam implementasi. Pengaturan pajak misalnya, sampai saat ini belum mampu menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat. Pengawasan hukum terhadap distribusi pajak ini sangat lemah ditambah lagi dengan sistem birokrat yang korup di dalamnya.  Kelemahan teori ini juga karena mengabaikan partisipasi masyarakat. Proses pemngambilan kebijakan sifatnya topdown dan masyarakat hanya dipandang sebagai objek pembangunan bukan pelaku pembangunan. sehingga banyak sekali celah yang memungkinkan pelanggaran terhadap hak-hak minoritas.  


Daftar Pustaka
Fermana, surya. 2009. Kebijakan publik sebuah tinjauan filosofis.. Ar-ruzz Media. Jogjakarta.
Hadi. P Sudharto,2005. Dimensi Lingkungan perencanaan pembangunan. Gadjah mada university press. Jogjakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Pajak dan Pencemaran Lingkungan

Manusia Kontra Lingkungan