“KOTA” dalam HALAMAN RUMAH-ku. Sebuah kajian lingkungan dalam konsep perkotaan

Dhany.R,    31 januari 2014
“KOTA” dalam HALAMAN RUMAH-ku
Sebuah kajian lingkungan dalam konsep perkotaan



Halaman rumah... Kata yang sangat sederhana, bahkan hampir tiap hari kita mengucapkannya. Secara spontan, angan saya melayang pada ingatan tentang halaman rumah saya di kampung. Kemudian pemaknaan halaman rumah yang terbersit dalam pikiran saya  adalah area yang berada di sekitar rumah dan masih merupakan bagian dari rumah tempat tinggal saya. yah mungkin saja perspektif kita bisa berbeda  tentang bagaimana tampilan fisik halaman rumah kita, karena kita berangkat dari keragaman budaya yang mempengaruhi bagaimana pola dan karakteristik penataan halaman rumah kita masing-masing. 
Meskipun secara  bentuk, karakter, dan polanya beragam, namun secara fungsi tentunya ada hakikat yang sama, yaitu halaman menyajikan ruang terbuka yang bebas dimana secara sosial kita bisa berinteraksi dengan orang orang disekitar kita, begitupun dengan lingkungan alam yang mendukung kehidupan kita. 
Halaman telah terintegrasi dalam kehidupan kita dan begitupun sebaliknya sehingga membentuk hubungan interdependensi dan mekanisme yang kompleks, melibatkan aktifitas sosial budaya, ekonomi, hingga proses fisik kimia dan biologis.

Eko = Rumah , Halaman = sistem 

Saya pribadi memahami bahwa halaman rumah adalah sebuah gagasan mengenai ruang yang merdeka dan bebas dimana ada jaminan kemerdekaan kita sebagai individu dan kelompok. Hamalan rumah menjadi ranah kita berkumpul, bekerja, bersosialisasi, melanjutkan kehidupan dan berinteraksi dengan segala keberadaan yang hadir di ruang tersebut sebagai suatu mekanisme yang ketergantungan. Halaman rumah telah menjadi begitu akrab dengan persoalan sosial budaya dan lingkungan. 
Secara pemahaman, tentu kita bisa menarik hubungan jelas antara kata halaman dan lingkungan, terutama karena saya pribadi dan mungkin juga teman-teman yang lain pernah lahir, tumbuh dan belajar di kampungan halaman. dalam kajian ilmu antropologi, dipahami bagaimana mekanisme halaman/lingkungan membentuk perspektif kita masing-masing tentang tentang konsep halaman ideal yang kita dambakan. Sekali lagi, mungkin kita bisa berbeda dalam hal ini. tetapi secara umum, karekteristik budaya tradisional di indonesia adalah hidup berkelompok, gotong royong dan kearifan lokal yang sangat menghargai alam. 
Ekosistem dan halaman rumah menurut saya mempunyai sistem dan prinsip yang sama yang berarti bahwa untuk memahami halaman rumah, berarti harus memahami mekanisme kerja ekosistem. Ekosistem berasal dari kata ekologi dan system. Secara harfiah, Ekologi berasal dari kata dalam bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah, habitat atau tempat hidup dan logos adalah ilmu. Dalam hal ini, secara makro, kita dapat mendefinisikan bumi sebagai rumah tersebut. Dalam ekologi bekerja suatu sistem/mekanisme kehidupan pada suatu lingkungan fisik tertentu, yang kemudian disebut  ekosistem. Pada prinsipnya, ekosistem memiliki tiga unsur utama yakni Abiotik (komponen tak hidup seperti udara, air, tanah, matahari, batu, dll), Biotik (Komponen Hidup; manusia, hewan, tumbuhan, bakteri, dll) dan Culture (Sosial budaya masyarakat). 
Unsur-unsur tersebutlah yang menjalani hubungan timbal balik dan saling ketergantungan. Ketiga unsur (abiotik, biotik dan culture) tersebut, tentu saja ada di Halaman rumah kita. Sangat kompleks untuk kita uraikan satu persatu namun yang perlu kita pahami adalah semua unsur tersebut menjalankan fungsinya masing-masing, mulai dari pohon, rumput, tanah, air, udara, sinar matahari, batu-batuan, hingga komponen mikroba dalam tanah bekerja secara teratur dan terukur untuk menjaga keseimbangan. Dan jika salah satu unsur dalam sistem halaman kita mengalami gangguan maka akan berdampak pada unsur lainnya.
Misalnya, kita membangun rumah dan menutup semua halaman rumah kita dengan beton hingga tidak menyisakan ruang penyerapan air dan untuk kerja mikroba pengurai dalam tanah, maka unsur yang lain akan terganggu dan terjadi kekacauan sistem. Maka dari itu wajar saja jika kini kita menyaksikan Jakarta kerap terkena banjir setiap tahunnya karena sistem halaman rumahnya sedang bermasalah.   
Untuk itu saya kemudian memahami bahwa lebih arif jika makna halaman itu tidak hanya dirujuk pada makna ruang atau tempat. Melainkan lebih dari itu halaman adalah sebuah metafor yang menjelaskan secara sederhana tentang kerja sistemik nan kompleks, dinamis, terintegrasi dan saling ketergantungan antar semua unsur kehidupan yang ada didalamnya. 

Memahami halaman rumah = memahami ekosistem

Memahami halaman rumah berarti sama dengan memahami prinsip ekosistem. Ya karena kerja halaman rumah adalah kerja sistemik  yang berprinsip lingkungan. Halaman rumah kita adalah miniatur sederhana dari kehidupan alam yang luas. Jika kita berdasarkan pada prinsip ekologi, dalam hal ini bagaimana mekanisme unsur-unsur ekosistem mengatur keseimbangan dan keberlanjutan kehidupannya, maka kita perlu memahami beberapa prinsip alam misalnya homeostasis, kesetimbangan, kemampuan purifikasi alamiah, serta daya dukung dan daya tampung. 
Pada prinsipnya, kita tidak perlu mengatur alam, karena alam secara luas, mampu mengatur dirinya sendiri dan cenderung mempertahankan kondisi yang stabil dan seimbang (homeostasis). Hanya saja saat ini, kemampuan daya dukung alam telah jauh berkurang karena tidak seimbang antara ketersediaan sumber daya dan kebutuhan manusia. 
James Lovelock, mengajukan sebuah hipotesis tentang mekanisme keseimbangan bumi yang dikenal dengan Hipothesis Gaia, dimana menyatakan bahwa biosfer dan komponen-komponen fisik bumi (atmosfer, kriosfer, hidrosfer dan litosfer) saling menyatu untuk membentuk sistem interaksi yang menjaga keadaan iklim dan mekanisme biogeokimia bumi dalam neraca keseimbangan. Bumi dianggap sebagai suatu ekosistem tunggal yang memiliki aturan sendiri. Dalam mitologi Yunani, Gaia adalah dewi bumi yang melahirkan dewa-dewi penguasa alam dan memberi kehidupan.
Perubahan-perubahan yang mengganggu keseimbangan ada yang lahir karena siklus  alami atau karena aktifitas manusia. Sebagai contoh sistem sungai, dimana terjadi pemasukan limbah pada badan sungai tersebut yang mengganggu kualitas dan keseimbangan sungai tersebut, maka secara alamiah, sungai akan melakukan proses purifikasi atau proses pemurnian secara alami sehingga kembali pada kondisi seimbangnya yang memungkinkan kehidupan didalamnya berjalan optimal. Tentunya untuk mencapai kondisi optimal (homeostasis) dibutuhkan waktu tertentu yang bergantung pada karakteristik sistem dan unsur-unsur yang masuk yang  mempengaruhi sistem tersebut.
Pada tubuh manusia juga berlaku, misalnya ketika terik matahari, tubuh kita secara spontan mengeluarkan keringat merespon kondisi tersebut untuk menjaga kondisi suhu organ tubuh agar tetap stabil dan seimbang sehingga tetap dapat bekerja optimal. 
Kemampuan purifikasi suatu ekosistem tentunya dipengaruhi kemampuan daya dukung dan daya tampungnya. Menurut UU 32 tahun2009, Daya dukung lingkungan diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Daya dukung meliputi ketersediaan ruang dan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar, kemampuan beradaptasi dan memperbaharui diri sehingga mampu mempertahankan produktivitasnya secara berkelanjutan. Sedangkan Daya tampung adalah kemampuan lingkungan untuk menerima beban cemar dan melakukan proses recovery untuk mengembalikan fungsi optimumnya.  Daya dukung dan daya tampung setiap sistem berbeda sehingga manajemen pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan tertentu, harus memahami prinsip ini. 
Tekanan pada lingkungan semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya pemenuhan kebutuhan dasar. Membuat daya dukung dan daya tampung lingkungan terlampaui berdasarkan indeks baku mutu yang telah ditetapkan. Jika baku mutu terlampaui maka dikatakan ekosistem tersebut tercemar. Dan untuk kembali pada kondisi optimumnya dibutuhkan waktu yang lebih lama. apalagi di tambah dengan input pencemaran dari aktifitas manusia yang tak pernah berhenti. Untuk itu sistem perencanaan dan pengelolaan lingkungan serta penataan ruang yang berdasarkan prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan. 
Kita dapat menganalogikannya mekanisme daya dukung dan daya tampung ekosistem itu seperti tubuh kita. Setiap manusia mempunyai daya tahan tubuh yang berbeda. dan apabila ada virus atau bakteri dari luar dan menginfeksi tubuh kita. Tubuh akan merespon dan melakukan purifikasi alami. Namun jika virus/bakteri yang masuk tersebut kadarnya tinggi hingga melampaui daya tahan tubuh kita, maka tubuh kita akan sakit. Dan kita butuh obat dan penanganan tertentu untuk mengembalikan kondisi kesehatan kita.
Dalam perencanaan lingkungan, semisal perencanaan tata kota (RTRW), seharusnya memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ekosistem sehingga penataan ruang lebih baik dan juga pencegahan pencemaran dapat dilakukan. Dari segi biaya juga tentunya hal ini jauh lebih murah ketimbang harus memperbaiki kodisi lingkungan yang tercemar. 

Migrasi dari Kampung Halaman ke Kota Halaman

Dengan sangat kita sadari, dunia berubah begitu cepat. Ya karena perubahan itu memang berlangsung di halaman rumah kita. Kita yang kini hidup di kota tentu memiliki karakteristik dan pola kehidupan yang sangat kontras dengan pengalaman kampung halaman kita masing-masing. Hal itu bukan sesuatu yang mengherankan karena memang Kota menurut saya merupakan hasil rekayasa lingkungan ala modernisme. Tempat tumbuh suburnya ideologi barat yang menggeser kepercayaan tradisional yang ramah alam menjadi pembangunan ekonomi yang berorientasi fisik dan keras. 
Dalam bukunya manusia dan lingkungan, Prof. Sudharto mengatakan, ada era yang dinamakan pan-cosmism, dimana masyarakat dan alam masih hidup berdampingan. Alam dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tak terlawankan sehingga hampir disetiap kebudayaan tradisional di seluruh dunia, melahirkan mitos tetang “dewa-dewi alam” yang mengajarkan manusia mengenai aturan-aturan alam dan manusia harus menjalankannya agar dunia berjalan seimbang. Di Mitologi masyarakat bugis misalnya, menghadirkan tokoh tomanurung yang mengajarkan tata kehidupan bermasyarakat yang selaras dengan alam, di kebudayaan jawa ada pula tokoh dewi sri atau dewi padi, dan nyi roro kidul yang di kenal sebagai penjaga laut pantai selatan jawa. Mitologi dan ritus tradisional sesungguhnya merupakan mekanisme pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Seiring perkembangan zaman, rasionalisasi manusia mulai berkembang. Paradigma pan-cosmism yang berpusat pada alam semesta dengan ritus dan mitosnya mulai ditinggalkan dan berganti menjadi paham anthroposentrisme yang berlandaskan ideologi cartesian dimana menganggap manusia adalah pusat alam semesta, dan merupakan satu-satunya subjek nilai dan moral. Identitas dan eksistensi manusia hanya ditentukan oleh relasi dalam komunitas sosialnya.  Dengan demikian, Manusia menjadi satu-satunya subjek nilai dan etika dan secara otomatis menyisihkan alam dari lingkup kajiannya. Alam dinilai sebagai objek pasif yang dapat digunakan sebebas-bebasnya untuk kehidupan manusia.  
Teknologi dikembangkan sejak era renaissance dan revolusi industri untuk mengefisiensikan  pekerjaan dalam mengelola alam untuk meningkatkan kesejahteraan. Manusia mulai meningalkan “halaman tradisinya” dan membuka halaman baru untuk kemajuan teknologi. Logika  antroposentrisme menjadi menjadi akar dari eksploitasi alam yang hingga saat ini terus berlangsung di halaman rumah kita. 
Pasca perang dunia, tercipta kesenjangan yang kemudian melahirkan dikotomi negara maju dan negara berkembang. Dikotomi ini tentunya didasarkan pada asumsi Negara barat adalah negara maju karena lebih dulu mengembangkan teknologi dan industrinya sedangkan negara-negara berkembang adalah negara-negara yang baru merdeka (telat teknologi).  Untuk mengejar ketertinggalan dan berupaya menjadi bagian negara maju, maka semua harus mencontoh model dan strategi pembangunan negara-negara barat di segala aspek, misalnya sosial budaya, tata kota, arsitektur, sistem ekonomi & perdagangan, hingga proses penyelenggaraan pemerintahan semua harus seragam dengan pola barat.
Keragamana tradisi dan kearifan lokal di Indonesia yang mengutamakan komunalitas dan hidup sejalan dengan alam, dianggap merupakan hambatan pembangunan karena mencegah eksploitasi sumber daya alam, sementara untuk mengejar pembangunan yang sebagaimana dimaksud dalam modernisme dibutuhkan sumber modal yang besar. Dan apalagi yang bisa dimanfaatkan di negara-negara dunia ketiga selain mengeksploitasi halaman rumahnya.
Kita tak memungkiri bahwa kemajuan teknologi memang melahirkan kesejahteraan, namun ada yang diabaikan dalam kemajuan ini. Yaitu keseimbangan alam. Kesejahteraan masyarakat yang semakin meningkat menyebabkan terjadinya ledakan jumlah penduduk yang berdampak pada krisis lingkungan dan sumber daya alam. Tercatat, dalam rentang tahun antara 1960 – 2000, penduduk dunia mengalami peningkatan dari 3 milyar menjadi 6 milyar. Hal ini kemudian  melahirkan permasalahan sosial, seperti kemiskinan, kelaparan, korupsi, serta krisis lingkungan dan tekanan pada sumber daya alam. Halaman rumah menjadi sesak, dan tak lagi ramah.

Kota Halaman dan Kesadaran Baru 

Kita tentu sadar bahwa modernisme telah memberi banyak interupsi pada struktur halaman rumah kita. Membawa peradaban mesin yang penuh kekerasan ke halaman rumah, dan meninggalkan tradisi lokal di halaman belakang, tanpa terurus hingga membelukar. Berbagai perubahan yang mencakup pola sosiak budaya, gaya hidup, sistem perekonomian, politik, arsitektur, tata ruang, dan lain-lain, yang kesemuanya bermuara pada kepentingan pembangunan. Kota adalah instrumen pembangunan sekaligus ekosistem buatan yang dibentuk untuk mewujudkan cita-cita ideologi modernisme yang  tak lain adalah pembangunan fisik yang seragam.
Namun sesungguhnya tak ada yang berubah dari mekanisme alam. Alam dengan segala komponennya secara konsisten dan sistemik terus bekerja mendaur ulang materi sehingga kembali pada kondisi homeostasis-nya yang memungkinkan keberlanjutan kehidupan. Hanya saja, tekanan dari aktifitas manusia menggunakan sumber daya alam, memberi beban lebih pada daya dukung alam sehingga butuh waktu yang lebih lama untuk menciptakan keseimbangannya. Itupun dengan syarat jika konsumsi manusia nol. Dan tentunya, hal itu sangat mustahil untuk dilakukan. Dengan kondisi beban bumi yang diperkirakan akan mencapai 10 milyar penduduk pada tahun 2050. Tapi yang perlu dilakukan adalah membangun kesadaran bersama bahwa perlu manajeman yang lebih ramah lingkungan untuk hidup yang lebih berkelanjutan. Setidaknya, bisa memperpanjang usia bumi lebih lama. 
Kita mungkin saja “menuduh” aktor utama krisis lingkungan yang terjadi saat ini adalah modernisasi dan globalisasi. Tetapi, justru karena modernisme juga lah yang membawa kesadaran lingkungan hadir di halaman rumah kita secara nyata. Yang juga diikuti dengan lahirnya kesadaran sosial, politik ,dan perekonomian, HAM, demokratisasi, Kesejahteraan buruh, gender, dll. Untuk itu, rasanya tidak adil pula jika kita lantas menolak modernisme dan Globalisasi di halaman rumah kita kemudian menjadi skeptis dengan apa yang terjadi. 
Pada tahun 1960-an, Rachol carson menulis buku yang berjudul “The Silent Spring” (musim semi yang sunyi). Buku ini sangat menggugah kesadaran dunia akan dampak dari penggunaan pestisida yang berlebihan pada lahan pertanian sehingga melahirkan penyakit baru yang mengerikan dan menyebabkan kematian hewan secara massal dan mendadak. Begitupun dengan tragedi Minamata di Jepang, dimana ada penyakit aneh yang muncul karena masyarakat nelayan di teluk Minamata mengkonsumsi ikan yang telah tercemar logam berat merkuri dan berakumulasi dalam tubuh manusia. Mengerikannya karena air susu ibu pun telah mengandung residu merkuri dan siap menularkan racun tersebut pada anak-anaknya. Dan masih banyak lagi bukti kerusakan lingkungan yang terjadi. Dunia Panik karena Halaman rumah tak lagi ramah. 
Berangkat dari tragedi tersebut, masyarakat dunia untuk mulai berbenah dan meletakan persoalan lingkungan sebagai persoalan global, dengan menggelar konferensi Bumi (KTT Bumi) untuk membicarakan persoalan dunia yang tidak terbatas pada krisis lingkungan saja melainkan menyentuh semua aspek kehidupan. Sejak awal tahun 1990-an, ketika Globalisasi menggeliat, gagasan tentang sustainable development (pembangunan berkelanjutan) mulai menjadi ideologi pembangunan negara-negara dunia. Beragam terobosan “ramah” lingkungan telah diintegrasikan ke  seluruh aspek, sebut saja Green revolution dalam industri pertanian, Green economy, ecolabelling dan carbon tax (pajak karbon) dalam sistem perekonomian, Clean development mechanism dan coommunity social responsibility dalam proses produksi industri, hingga Green Constitucion dalam penerapan kebijakan hukum. Namun faktanya hingga saat ini serangkaian program tersebut masih belum mampu menyelesaikan masalah lingkungan, sosial dan ekonomi yang dialami di seluruh dunia.  

Ecopolis, Kota Halaman impian

Di bidang Tata Kota dan arsitektural, para teknokrat juga merespon keadaan tersebut, dengan menggelar KTT Kota di Istanbul,Turki pada tahun 1996, dimana lahir kesadaran bahwa kehidupan masyarakat dunia yang makin mengkota (urbanized), dihantui oleh mutu kehidupan yang semakin buruk akibat dari krisis lingkungan yang terjadi. Kesadaran yang kemudian melahirkan gagasan ecopolis. 
Pada dasarnya, ecopolis searah dengan cita-cita sustainable development yang telah menjadi ideologi pembangunan dunia sejak KTT Bumi tahun 1992. Gagasan ecopolis menekankan pada mekanisme kehidupan kota yang berkelanjutan pada semua aspek diantaranya lingkungan yang bermutu, sosial dan ekonomi yang produktif, serta terjaganya kekhasan atau kearifan lokal. Le corbusier seorang pakar arstektur modern abad 20 mengemukakan konsep arsitektur rumah adalah sebagai “mesin” untuk hidup. Konsep yang sangat mekanistik dan “keras”. Cara berpikir demikian tentu harus dirubah, dan tentunya bukan pekerjaan mudah. 
Jika kita melihat kota sebagai suatu ekosistem, maka tentu, kota bukanlah “mesin”, melainkan kota yang ecopolis harus dilihat sebagai “organisme hidup” yang mempunyai sistem sirkulasi, artinya ada konsep daur ulang dan penggantian, sesuai prinsip metabolisme ekosistem. Kota juga perlu asupan makanan yang sehat agar komponen-komponen didalamnya mampu menjalankan fungsinya secara seimbang. 
Daya tarik kota yang menawarkan kesejahteraan dan kesempatan memperoleh pekerjaan mendorong masyarakat melakukan urbanisasi, sehingga kebutuhan akan pemanfaatan lahan semakin tinggi. Akibatnya, banyak lahan-lahan kritis yang sebenarnya berfungsi ekologis maupun lahan-lahan pertanian yang memproduksi bahan makanan, dirubah peruntukannya untuk aktifitas industri ataupun pemukiman yang dinilai lebih bernilai ekonomis. Selain itu, penataan ruang juga seringkali hanya memperhitungkan persoalan efisiensi ekonomi dan strategi pasar. 
Menurut Cattanese dan Snyder, 1992, keberhasilan dan nilai suatu proyek ditentukan oleh tiga hal yaitu : lokasi, lokasi, dan lokasi. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana kebijakan pemerintah Kota Semarang, yang mengalihfungsikan kawasan pesisir kota yang dahulu dimanfaatkan untuk konservasi mangrove, pertambakan, dan resapan air, kini  peruntukannya menjadi kawasan industri dan perumahan mewah, dengan pertimbangan lokasi/kawasan tersebut sangat strategis karena dilalui oleh jalur pantura dan dekat dengan pelabuhan sehingga perputaran modal dan pasar akan lancar. Apa yang kini terjadi di kawasan tersebut..? kini kawasan tersebut banyak yang terendam banjir karena abrasi air laut (rob) dan terjadi penurunan permukaan tanah yang berdasarkan penelitian pusat studi air Bandung, kawasan pesisir utara kota semarang mengalami penurunan sekitar 3 hingga 14,5 cm per tahun. Kini, tragisnya Industri besar dan perumahan yang dulu sangat mewah di kawasan tersebut telah banyak yang bangkrut, tutup dan kini ditinggalkan terbengkalai.
Manajemen penataan ruang tentunya benar-benar harus memahami prinsip ekosistem, tidak hanya pada pertimbangan ekonomis dan sosial. Tentu kita bisa bercermin dari bagaimana kegagalan kota-kota besar semisal Jakarta dan Semarang dalam menata “halaman” kotanya sehingga melahirkan berbagai kompleksits masalah seperti banjir, abrasi laut,  polusi, pencemaran sungai dan laut, kemacetan, kesenjangan sosial, kesehatan yang buruk, dan beragam masalah lainnya. 
Saya teringat dengan perkataan dosen saya ketika di kelas, yang mengatakan bahwa Planologi = Plan no Logic. Saya tertawa namun sekaligus membenarkan dalam hati. Ya tentu saja kalau kita melihat kenyataan buruknya manajeman tata kota kita saat ini yang sering tidak logis karena kerap mengabaikan aspek lingkungan. 
Persoalan tata kota dan tata ruang tentu sangat berhubungan dengan persoalan penggunaan lahan. Saya tertarik untuk melihat kondisi lahan karena ada prinsip keseimbangan ekosistem yaitu daya dukung dan daya tampung yang sering dilupakan atau mungkin “sengaja” dilupakan oleh pemerintah ataupun pihak pengembang dalam mengeluarkan kebijakan dan melakukan pembangunan kota.

Green Buiding = Solusi...?

Saat ini ramai berkembang konsep arsitektural yang mengusung konsep green building. Menurut saya, konsep green buiding yang dikembangkan saat ini lebih pada aspek teknis. Pertanyaannya adalah apakah permasalahan lingkungan dapat selesai hanya dengan menerapkan konsep green buiding..?
Menurut saya konsep ini hanya sekedar slogan. Lihat saja pembangunan bisnis properti dan perumahan mewah di jakarta yang sebagian besar mengalihfungsikan lahan-lahan kritis seperti seperti kawasan rawa dan hutan mangrove yang berfungsi ekologis sebagai daerah resapan air dan penahan abrasi laut. Keseimbangan ekosistem terganggu, dan menjadi salah satu faktor penyebab banjir dan rob (limpasan air laut) yang kini menggenangi ibu kota jakarta dan juga menyebabkan hawa panas karena ruang-ruang hijau yang semakin menyempit. Padahal Konsep Green buiding telah diterapkan, sistem drainase dan pengelolaan limbah, serta area hijau pengganti telah dibuat, tapi kenapa masalah lingkungan masih terjadi..? 
Prinsip daya dukung lingkungan masih diabaikan.  Lahan masih dilhat sebagai sebuah objek yang dapat “ditaklukan” dengan teknologi canggih. Padahal ada sistem kompleks dalam jaringan ekosistem yang diabaikan. Akibatnya, lingkungan disekitar perumahan/bangunan mewah tersebut terkena dampak lingkungan utamanya yang tinggal di bantaran Sungai. 
Apa yang kita lakukan di satu tempat, akan berdampak pada tempat lainnya, untuk itu aspek penataan ruang harus benar-benar memahami prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jika tidak, maka teknologi canggih apapun tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan. Sekali lagi saya menekankan bahwa lahan atau lingkungan harus dilihat sebagai sebuah sistem yang kompleks , dimana perilaku dan aktifitas kita saat ini saling ketergantungan dan mempengaruhi lingkungan sekitar kita di waktu yang sama dan di masa depan. 
Ya memang sangat kompleks karena cara berpikir kita yang berbeda dengan cara pikir Bumi ini. Bumi selalu berusaha membersihkan dirinya sendiri dan menciptakan keseimbangannya sendiri. Kita tidak tahu apa yang kita lakukan bahkan tak jarang “menghujat” alam.
Sebagai contoh, saat ini perubahan iklim menjadi sulit diprediksi, curah hujan yang tak menentu misalnya. Hujan pada dasarnya merupakan siklus alami alam untuk menciptakan keseimbangan, memberi kesuburan pada tanah, dan juga mekanisme alami bumi untuk “membersihkan” dirinya. BMKG melaporkan bahwa curah hujan dibeberapa daerah di Indonesia, intensitasnya semakin tinggi sehingga menyebabkan banjir dibeberapa kota seperti yang kini terjadi di Jakarta dan Manado. Yaah...Mungkin sepertinya logika kita yang harus dibalik, bahwa seberapa banyak kita “mengotori” halaman rumah kita sehingga Bumi ini bekerja lebih keras dan butuh air yang lebih banyak untuk “membersihkan dirinya”.

Kebijakan lingkungan dalam penataan Ruang

Aspek perencanaan dan pengambilan kebijakan oleh pemerintah, benar-benar harus diperhatikan karena sistem penataan yang baik dapat mencegah dan memprediksi sejak dini kerusakan atau resiko lingkungan yang akan terjadi. Sehingga dapat diketahui pembangunan apa saja yang boleh dilakukan dan batas maksimum pembangunan di suatu daerah berdasarkan prinsip daya dukung & daya tampung lingkungan.
Dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang PPLH PPLH ( perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup), meliputi beberapa aspek yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pada tahap paling awal yaitu perencanaan dilakukan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup) yang wajib menjadi pertimbangan dalam penyusunan Tata Ruang.
Yang menarik disimak adalah penetapan wilayah Ekoregion. Karena masalah lingkungan tidak mengenal batas administratif untuk itu penyelesaiannya harus melalui pendekatan dengan mengelompokkan beberapa daerah/wilayah yang memiliki hubungan dan kesamaan karakteristik bentang alam, iklim, flora, sosial-budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat, dll. Penetapan ekoregion ini sangat penting sebagai dasar untuk menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan juga sebagai strategi pengelolaan lingkungan. 
Sebagai contoh, permasalahan banjir di Kota Jakarta, sebenarnya bukanlah hanya masalah di Jakarta saja, melainkan berhubungan dengan kota-kota di sekitarnya misalnya Bogor yang dihubungkan dengan DAS Ciliwung. Kini, karena intensitas curah hujan yang tinggi, aliran airnya meluber dan membuat banjir di kota Jakarta. Jadi, sebagus apapun pengelolaan dan penanganan banjir di Jakarta tidak akan efektif jika kota-kota lain disekitar DAS sungai Ciliwung, tidak melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik misalnya dengan masih menebang hutan atau membuang sampah di sungai sehingga terjadi pendangkalan. Untuk itu pendekatan ekoregion yang lintas administratif berdasarkan karakteristik, daya dukung dan daya tampung  DAS Ciliwung, sangat penting dalam upaya pencegahan banjir di Jakarta.
Tata Ruang, dalam UU 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), merupakan instrumen pencegahan kerusakan lingkungan, bersama dengan KLHS, Baku Mutu Lingkungan, Kriteria baku Kerusakan Lingkungan, Amdal, UKL-UPL, Perizinan Lingkungan, Ekonomi Lingkungan, PUU lingkungan, Anggaran Lingkungan, Analisis Resiko Lingkungan, Audit Lingkungan, dan instrumen lain sesuai kebutuhan.
Agar rencana tata ruang ataupun rencana pembangunan jangka menengah dan panjang yang direncanakan pemerintah benar-benar telah mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, maka harus melaksanakan Kajian KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Kajian KLHS menurut UU 32 tahun 2009 tentang PPLH, mencakup daya dukung dan daya tampung lingkungan, prakiraan dampak dan resiko lingkungan, kinerja jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan SDA, tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim, dan ketahanan potensi keragaman hayati. 
Kajian KLHS pada dasarnya serupa dengan Kajian Amdal, hanya saja KLHS kajainnya bersifat lebih menyeluruh dan pada tahap awal yaitu pada tataran Kebijakan, Rencana, Program. Sedangkan AMDAL, kajiannnya pada tataran proyek yang lebih mengkhusus pada analis dampak lingkungan dari adanya proyek/kegiatan yang akan dilaksanakan. 

Dimana kita harus memulai..?

Nah..tentunya kita mengharapkan gagasan ecopolis tak hanya sekedar narasi dan teori tentang mimpi masa depan, melainkan harus mampu diwujudkan. yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana mewujudkannya..?
Sebenarnya jika kita melacak dari sejarah masyarakat tradisional kita, sesungguhnya sudah menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan tersebut. lihat saja dari karakteristik setiap rumah dan halaman masyarakat tradisional yang jika di kaji tentunya memuat prinsip hidup yang organik, aktifitas perekonomian yang kontekstual dan ramah lingkungan, serta menyediakan ruang-ruang sosial yang dinamis dan merdeka untuk membangun kekerabatan. Ritus dan mitos tentang kekuatan alam menjadi semacam kontrol sosial dalam masyarakat sehingga masyarakat bisa hidup berdamai dan bersahabat dengan alam.
Kita mungkin tidak perlu terlalu jauh berangan untuk membuat perubahan yang cepat dan besar. Misalnya menata arsitektural dan tata ruang kota seperti yang dicita-citakan gagasan ecopolis ataupun pembangunan berkelanjutan, ataupun yang lebih ekstrim, yaitu kembali ke ritus-ritus kuno yang bersahabat dengan alam. Hmmm....Saya pikir, kita  tak perlu terlalu jauh ke depan atau terlalu mundur ke belakang.  
Kita berangkat dari yang ada.. dari hal yang paling sederhana dan dekat dengan kita. Halaman rumah kita masing-masing.  Sekarang, Bagaimana kita menata  sistem “kota kecil” di halaman rumah kita, dan memulai perilaku yang ramah sosial dan alam.

Kota Kecil di Halaman Rumah Kita

Menarik ketika saya membaca essai kawan saya, Jimpe di makassar, dimana dalam essainya ia menceritakan ketika suatu waktu ia melepas beberapa pavin blok di sekitar akar pohon depan rumahnya, dan menata kembali pavin blok itu menjadi fungsi yang berbeda dengan memanfaatkannya sebagai dudukan pot bunga. Hal ini sangat sederhana tapi mengandung makna ekologis karena memperhatikan prinsip sirkulasi dan daur ulang.
Melepaskan beberapa pavin blok di sekitar akar pohon berarti memberi keleluasaan bagi akar pohon untuk berkembang , sekaligus menyediakan ruang  sirkulasi air hujan untuk meresap ke dalam tanah yang memberi kehidupan pada “dunia bawah” yaitu mikroba.  Mikroba inilah yang kemudian memproduksi unsur hara untuk kembali diserap pohon untuk mendukung kehidupannya sekaligus mendukung kehidupan manusia dengan memproduksi oksigen melalui proses fotosintesis. Sangat sederhana tapi begitulah idealnya karena kesadaran memang harus dimulai dengan perilaku yang sederhana.
Halaman rumah  adalah sebuah sistem ekologis. Halaman rumah juga memuat seluruh unsur kehidupan seperti komponen  fisik, biologis, sosial budaya hingga ekonomi. sehingga dapat dikatakan halaman rumah kita adalah “miniatur bumi” dan lebih kecil lagi kita dapat mengatakan “miniatur Kota”. Karena itu, halaman rumah dapat menjadi “laboratorium” kita untuk membentuk kesadaran ekologis dan memahami hidup berkekotaan (urbanized) yang dekat dengan alam. Saya percaya jika kita semua berangkat dari kesadaran halaman rumah kita, perilaku dan kebiasaan kita sehari-hari, maka akan menjadi karakter pembangunan kota yang ramah lingkungan seperti yang dicita-citakan sustainability development dan ecopolis
Halaman Rumah kita adalah “laboratorium ekosistem”, dan sekaligus bisa menjadi “Kota-kota kecil” yang ramah lingkungan. Kita bahkan seperti menjadi “walikota” yang menghidupi “masyarakat ekosistem” di halaman rumah kita, seperti pohon-pohon, bunga-bunga, burung-burung, serangga, jamur, cacing tanah, hingga mikroba-mikroba yang mesing-masing saling berhubungan dan ketergantungan untuk menciptakan hidup yang berkelanjutan. 

Perilaku = Sistem = Keberlanjutan 

Halaman Rumah kita adalah miniatur ekosistem Kota ini, dan juga Bumi. Karena dalam sistem ada aktifitas yang sirkuler dan ketergantungan, tentu kita harus memahami juga bagaimana perilaku keseharian kita menjadi model untuk perilaku kita selanjutya di Kota dan Bumi secara global.
Kebutuhan Manusia semakin meningkat seiring jumlah penduduk kota (urbanisasi) yang terus meledak, sementara sumber daya alam terbatas dan tidak semua dapat diperbaharui. Untuk itu penghematan energi harus dilakukan untuk keberlanjutan.
Sebuah pendekatan yang berhubungan dengan perilaku manusia dalam menjaga keseimbangan ekosistem dapat diukur dengan memahami konsep Ecological Footprint. Jejak ekologis atau ecological footprint adalah sistem yang mengukur seberapa banyak ruang (di darat dan air) yang diperlukan manusia untuk menghasilkan sumber daya yang mereka habiskan, serta menyerap limbah yang mereka hasilkan.
Konsep ini diperkenalkan oleh William Rees pada tahun 1996, yang menjadi alat ukur yang mengkaji tingkat konsumsi manusia yang semakin meningkat serta dampaknya terhadap daya dukung lingkungan. The Living Planet Report 2012, sebuah laporan dua tahunan tentang kondisi kesehatan planet Bumi, menunjukkan bahwa peningkatan populasi dunia  telah mengakibatkan meningkatnya permintaan sumber daya alam sehingga timbul tekanan yang luar biasa pada keanekaragaman hayati.  dan berdampak pada kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan masa depan penduduk bumi. urbanisasi merupakan salah satu penyebab utama peningkatan tekanan pada SDA.

Direktur Konservasi WWF Indonesia, Nazir Foead mengungkapkan ; “Kita menggunakan sumber daya bumi 50 persen lebih banyak dari yang bumi mampu sediakan secara berkelanjutan. Apabila kita, penduduk dunia, tidak merubah tabiat ini, laju permintaan akan terus tumbuh dengan cepat, dan pada 2030 dua planet pun bahkan tak akan cukup untuk mendukung kebutuhan kita, untuk itu, harus ada pengurangan limbah, pengelolaan air dan sumber daya alam terbarukan” .
Singapura adalah contoh keberhasilan dalam pengelolaan lingkungan “Halaman kota” yang berangkat dari Halaman Rumah. Dengan dukungan kebijakan, manajemen,  stratagi ekonomi yang mantap, serta perilaku masyarakat yang sadar lingkungan, Singapura menata “halaman kota”nya dengan konsep daur-ulang air limbah dan sampah yang berasal dari rumah tangga. Perusahaan NEWater di Singapura, telah mengembangkan teknologi untuk mengolah limbah domestik rumah tangga dan industri, sebagai air baku untuk air minum.  Selain itu, dikembangkan pula teknologi incenerator, yang digunakan untuk mendaur ulang sampah-sampah rumah tangga menjadi sumber energi dan mampu memenuhi lebih dari 50% kebutuhan listrik negara.

Hidup ber-halaman rumah adalah hidup sederhana. Kita harus menyadari bahwa seluruh alam raya ini terhubung. Sekecil apapun aktifitas kita tentu akan mempunyai dampak pada sistem. Karena itu, perilaku konsumtif yang berdasarkan lifestyle harus dirubah dengan hidup yang lebih sederhana dan sesuai kebutuhan. Sebagai contoh, perilaku hidup sederhana yang memperhatikan konsep ecological footprint dapat dilakukan dengan mengurangi pemakaian kita terhadap barang-barang sekali pakai, misalnya kantung plastik yang selalu kita gunakan setiap berbelanja di mall atau supermarket. Mungkin lebih baik jika menggunakan tas belanja khusus yang bisa berkali-kali dipergunakan. Selain itu, efisiensi penggunaan kertas dalam keseharian kita, yang kita tau untuk menghasilkan lembar-lembaran kertas, berarti ada sejumlah pohon yang harus ditebang. Tentunya masih banyak hal lain yang bisa dilakukan...

Karen Armstrong mengatakan “agama, seharusnya dipahami bukan saja tentang kepercayaan, tapi tentang perilaku(behaviour)”. Begitupun dengan Mahatma Ghandi yang mengatakan bahwa “Anda harus menjadi perubahan yang anda inginkan untuk melihat di dunia”. Dari pendapat itu, secara sederhana dapat kita sadari bahwa bahwa semua perubahan termasuk kesadaran lingkungan di kota yang sedang “hiruk-pikuk” ini, harus berangkat dari apa yang ada, apa yang paling dekat dengan kita, dan bagaimana kesadaran itu diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
.....mulai dari Halaman-Rumah..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Pajak dan Pencemaran Lingkungan

Manusia Kontra Lingkungan