Soal Paradigma Reklamasi (antara Visi Maritim dan Keberlanjutan Ekosistem)
Paradigma Reklamasi
(antara Visi Maritim dan Keberlanjutan Ekosistem)
(antara Visi Maritim dan Keberlanjutan Ekosistem)
Dhany R, 15 Agustus 2015
Konsep Pembangunan berkelanjutan
sebagai sebuah ideologi baru terkesan seperti sebuah harapan baru untuk
kelestarian lingkungan. Hal ini ditandai dengan adanya kesadaran Global untuk
memasukan aspek lingkungan sebagai kajian penting dalam kajian pembangunan.
Namun sejak KTT bumi pertama pada tahun 1992 digulirkan, aspek lingkungan hanya
sekedar menjadi jargon politik saja untuk kepentingan pasar global. Berbagai
produk-produk dan lisensi lingkungan dibuat untuk menjamin produk-produk ramah
lingkungan namun kenyataannya sebagai alasan saja untuk memuluskan investasi
pasar global di negara-negara berkembang.
Pembangunaan yang berlangsung saat
ini cenderung mengorbankan kepentingan ekologis. Tak jarang peraturan tata
ruang di ubah untuk meloloskan kepentingan tersebut. Misalnya saja kawasan yang
semula merupakan hutan lindung atau cadangan air tanah dirubah peruntukannya
menjadi kawasan industri atau perumahan. Hal ini sangat sering terjadi dan
setiap daerah pernah mengalami konflik penataan ruang tersebut.Proses perubahan
peraturan ini juga terkadang tidak melibatkan masyarakat, atau bahkan
melibatkan masyarakat yang sudah dipolitisasi untuk meloloskan kepentingan tersebut. Sangat banyak penolakan dan konflik
sosial yang terjadi namun ada saja cara untuk dapat meloloskan kepentingan
tersebut dengan perbagai permaianan regulasi tingkat elite.
Pertumbuhan
penduduk berlangsung demikian pesat sementara lahan atau wilayah tidaklah
bertambah. Oleh karena kebutuhan lahan didaerah-daerah yang produktif semakin
meningkat sementara lahan daratan di daerah produktif tersebut tentu terbatas,
maka alternatif pembangunan yang dapat dilakukan adalah dengan konsep
pembangunan secara vertikal misalnya membangun gedung-gedung pencakar langit
dan rumah-rumah susun. Selain itu pembangunan kota dapat pula dilakukan ke arah
lahan kosong dan berair dengan cara melakukan pengurugan, pengurugan pantai
atau wilayah perairan dikenal dengan istilah reklamasi.
Dalam teori perencanaan
dan pemekaran kota, pengurukan pantai atau wilayah perairan dikenal dengan
istilah reklamasi. Reklamasi dalam arti umum adalah suatu pekerjaan penimbunan
tanah/pengurukan pada suatu kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna/masih
kosong dan berair menjadi lahan berguna. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa,
di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau.
Reklamasi juga merupakan suatu langkah alternatif dalam penyediaan lahan untuk
pembangunan fasilitas pendukung kota sebagai contoh untuk pembangunan bandara,
perkantoran, pertokoan, pergudangan, atau bahkan untuk permukiman. Contoh
negara-negara yang sukses melaksanakan reklamasi pantai untuk memenuhi
kebutuhan lahan adalah Negeri Belanada, Singapura, Hongkong, dan Jepang.
Kawasan
pesisir dinilai sebagai area yang produktif, baik karena akses transportasi
yang mudah, dan potensi pariwisata yang menjanjikan. Pesisir
adalah wilayah transformasi antara darat dan pesisir, sebanyak 60 % penduduk di
Indonesia hidup di pesisir pantai. Namun, pembangunan di kawasan pesisir membutuhkan intervensi
teknis karena kondisi geografisnya yang memerlukan beberapa tahap penyesuaian
sehingga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan industri atau pemukiman.
Kegiatan
reklamasi di kawasan pesisir, bukannya tanpa resiko. Merubah peruntukan lahan
pesisir menjadi daerah terbangun, tentu akan menyebabkan berubahnya fungsi
lahan tersebut. Misalnya reklamasi di daerah rawa-rawa yang semula berfungsi
sebagai polder alam yang menampung
limpasan banjir, karena diurug dan berubah fungsi yang otomatis lebih tinggi dari
keadaan yang sebelumnya, akibatnya air mencari tempat parkir yang yang lebih
rendah dan terjadilah genangan banjir daerah lain yang lebih rendah dari polder
alam yang diurug tersebut. Dampak reklamasi di kota
Semarang telah menjadi bukti jelas karena telah menenggelamkan beberapa desa di
pesisir kabupaten Demak.
Gambar : Dampak reklamasi di Pantai
Utara Kota Semarang yang membuat desa Bedono di kab. Demak terkena Abrasi parah
Pemerintah telah mengeluarkan
peraturan tentang pengaturan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil namun
ironisnya juga melegalkan aktifitas reklamasi. Dalam aturan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, Kawasan Pesisir sejatinya adalah kawasan konservasi
karena mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting. Hal ini tertuang Dalam
peraturan meteri perikanan dan kelautan No 34 tahun 2014 tentang rencana zonasi
wioayah pesisir dan pulau-pulau kecil menyebutkan bahwa, kawasan pesisir yang
merupakan sempadan pantai (jarak 100 meter ke arah darat, dari garis pasang
laut tertinggi) adalah zona konservasi yang berarti dalah kawasan yang harus
dilindungi. Semula peraturan ini seperti menjadi sebuah optimisme baru bagi
kemajuan pengelolan di wilayah pesisir, namun nampaknya kenyataan pelaksanaan
di lapangan tidak “seindah yang dibayangkan”. Karena kenyataannya, pemerintah
juga “menghalalkan” aktifitas reklamasi dengan menerbitkan Peraturan –peraturan
pendukung.
Saat ini dibeberapa tempat di
Indonesia sedang gencar melakukan proses reklamasi lahan karena meningkatnya
kebutuhan ruang pengembangan investasi ekonomi.Di Tanjung Benoa Bali misalnya,
tidak tanggung-tanggung, sekitar 900 Ha lahan Pesisir akan direklamasi.
Beberapa tempat lainnya yang sedang melakukan proses yang sama adalah jakarta,
Makassar, Semarang dan Palu. Investor
sangat tertarik untuk mengembangkan wilayah pesisir melalui proses reklamasi
karena tidak perlu repor-repot berurusan soal ganti rugi tanah dan juga lokasi
pesisir memungkinkan akses transportasi yang lebih mudah serta dekat dengan
pusat kota. Tak heran banyak kepentingan yang kemudian menjadikan lahan pesisir
sebagai bisnis baru yang mendatangkan keuntungan besar. Pemerintah daerah
beralibi bahwa dengan adanya reklamasi pesisir maka akan menambah luasan lahan
kota sehingga ruang investasi bisnis semakin luas dan mendatangkan pendapatan
daerah yang tinggi. Segala cara pun dilakukan sehingga memuluskan jalannya
investasi tersebut misalnya dengan merubah status peruntukan ruang di RTRW, dan
mengeluarkan ijin untuk melakukan kajian. Dampak sosial dan lingkungan selalu
menjadi aspek yang diabaikan dalam kajian perencanaannya.
Proses reklamasi selalu mendapat
penentangan keras dari masyarakat pesisir karena ketidaksesuaian pemanfaatan
ruangpesisir dengan RTRW. Lahan pesisir yang harusnya adalah kawasan konservasi
karena memiliki kekayaan ekosistem dirubah peruntukannya sebagai kawasan bisnis
perhotelan ataupun industri. Status lahan reklamasi juga akan menjadi ruang
privat yg terbatas dan tidak bebas lagi diakses oleh masyarakat lokal. Nelayan tradisonal
akan kesulitan karena harus berlayar lebih jauh ke laut lepas. Reklamasi juga
akan menyebabkan terjadinya pencemaran laut dan
kerusakan ekosistem terumbu karang, lamun dan mangrove yang merupakan
rumah pemijahan ikan-ikan sehingga dampaknya akan mengurangi populasi ikan dan
satwa pesisir lainnya.
saat ini, persoalan pesisir dan laut
memang tengah menjadi isu yang sangat ramai dibicarakan karena Pemerintah
Indonesia melalui kepemimpinan presiden jokowi, menjadikan isu laut atau
maritim sebagai salah satu strategi politiknya dalam membangun Indonesia. Namun,
nampaknya visi maritim ini masih menganut paradigma “darat”. Pesisir, Laut dan
pulau-pulau kecil diperlakukan seperti halnya darat dengan intervensi
pembangunan infrastruktur fisik yang justru merusak. Laut diperlakukan seperti
darat, lihat saja, yang semakin tumbuh subur adalah industri properti dan
pariwisata yang hanya mengeksploitasi kawasan pesisir. kebudayaan masyrakat pesisir juga belum terjamah oleh visi maritim pemerintah ini. pembangunan diseragamkan. satu daerah sukses direklamasi maka contoh itu sertamerta diaplikasikan di berbagai daerah lainnya, padahal pola pembangunan daerah-daerah harusnya disesuaikan dengan karakteristik lingkungannya. bukan hanya melihat dari aspek pemanfaatan eknomisnya saja.
Pemerintah juga terkesan manjadikan laut sebagai arena untuk terlihat “heroik” tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Misalnya saja melakukan pengeboman pada kapal-kapal penjarah ikan. Pengeboman kapal seolah-olah akan memberi stigma bahwa pemerintah indonesia berkuasa penuh atas lautnya. namun ini hanya pencitraan semu dan sangat tidak adil bagi ekosistem laut karena adanya ledakan, tumpahan minyak, bangkai kapal, dapat mengganggu kehidupan ikan-ikan dan terumbu karang yang hidup dibawahnya.
Pemerintah juga terkesan manjadikan laut sebagai arena untuk terlihat “heroik” tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Misalnya saja melakukan pengeboman pada kapal-kapal penjarah ikan. Pengeboman kapal seolah-olah akan memberi stigma bahwa pemerintah indonesia berkuasa penuh atas lautnya. namun ini hanya pencitraan semu dan sangat tidak adil bagi ekosistem laut karena adanya ledakan, tumpahan minyak, bangkai kapal, dapat mengganggu kehidupan ikan-ikan dan terumbu karang yang hidup dibawahnya.
Negeri ini harusnya menemukan cara
dan teknologi membangun tanpa harus merusak dan memberi dampak pada kerusakan
ekosistem. Paradigma mekanistik dan anthroposentris
yang berlaku umum saat ini menempatkan manusia sebagai pusat kekuatan alam
semesta yang secara bebas menetukan pilihannya dan mengabaikan
keseimbangan lingkungan. Dalam paradigma ini, alam hanya dipaham sebagai
tempat hidup dan manusia berhak secara bebas mamanfaatkannya untuk kepentingan
hidupnya tanpa harus adanya tanggungjawab moral tertentu terhadap alam.
Seperti yang dikatakan oleh Arne
naess, bahwa sumber masalah paling mendasar dari kerusakan lingkungan yang
terjadi saat ini adalah persoalan paradigma dan cara pandang kita terhadap
lingkungan itu sendiri. Maka benarlah bahwa persepsi dan paradigma pemerintah kita
saat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pemanfaatan sumber daya laut masih
bersifat anthroposentrik dan mekanistik. Padahal
pemerintah harusnya banyak belajar dari kearifan lokal masyarakat tradisional pesisir
yang banyak memberikan contoh tentang bagaimana membangun kehidupan harmonis dengan menghargai alam. Tentu saja dengan
menempatkan alam selayaknya manusia yang juga memiliki hak untuk hidup dan melanjutkan kehidupan, sehingga
lahir kesadaran moral manusia untuk melindungi alam.
Ya...Sudah saatnya merubah paradigma kita terhadap laut, pesisir, dan alam secara luas
lingkungan memang kerennd...i like ecology. hihihi
BalasHapus