Kapitalisme yang mengalir di Sungai



 Kapitalisme Yang Mengalir di Sungai
(Belajar dari “Kota Seribu Sungai” Banjarmasin)



Author : Dhany.R  (9 juni 2016)

Hubungan Integral dan Spiritualitas (Sungai dan Masyarakat Kota Banjarmasin)  
Sungai sebagai sebuah ekosistem yang terdiri dari komponen hidup dan tak hidup serta budaya masyarakat sekitar. Komponen tak hidup (abiotik) Sungai terdiri dari gugusan bukit, gunung, tanah, batuan, dll. Komponen hidup (biotik) diantaranya ada hutan, pepohonan, tetumbuhan, hewan, ikan-ikan, dll.  Komponen budaya (culture) adalah aktifitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan sungai dan telah menjadi bagian dari peradaban masyarakat. Ketiga komponen tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem sungai secara luas.

Kota Banjarmasin yang terletak di sebelah selatan Pulau Kalimantan, dikenal sebagai kota “Seribu Sungai” karena dilalui oleh dua sungai besar yaitu sungai Barito dan sungai Martapura, dimana kedua sungai ini kemudian “melahirkan” berpuluh-puluh sungai, anak-anak sungai, dan kanal-kanal yang membelah ke-seluruh penjuru kota. Bagi masyarakat Banjarmasin keberadaan sungai telah menjadi bagian integral dari kebudayaan tradisional dan aktifitas didaalamnya menjadi kearifan lokal masyarakatnya.

Bagi masyarakat Banjarmasin, sungai juga merupakan simbol spiritualitas dan kesejahteraan masyarakat Banjarmasin. Nilai spiritualitas dan kearifan lokal ini berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional, yang secara turun temurun mewariskan hubungan yang dekat antara masyarakat lokal/tradisional dengan lingkungan (sungai, hutan, gunung, dll) dan sumber daya alam didalamnya. Masyarakat tradisional secara alamiah mengembangkan pemahamannya terhadap sistem ekologi dimana mereka yang tinggal didalamnya harus mempertahankan kelestarian lingkungan dan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan-kegiatan yang dianggap merusak lingkungan. Berbagai cerita mitos dan legenda tentang sungai dan hutan berkembang sebagai bagian kearifan lokal masyarakat yang mengakui bahwa masyarakat perlu hidup harmonis dengan untuk menghindarkan diri dari bencana alam. Salah satu legenda yang terkenal adalah adaanya mitos tentang ular dan buaya yang menjaga sungai Barito.

Sungai juga menjadi “halaman rumah” yang luas bagi seluruh masyarakat Banjarmasin untuk melakukan berbagai aktifitas sosial, terutama untuk transportasi, perekonomian dan perdagangan. Bahkan, sejak zaman kolonial, wilayah pertemuan sungai martapura dan Barito telah menjadi gerbang lalu lintas transport barang dari singapura dan jawa, menuju ke wilayah timur Kalimantan dan sebaliknya. Sungai sebagai pusat perekonomian dan perdagangan tradisional karena sungai Barito sejak ratusan tahun lalu menjadi titik pertemuan pembeli dan penjual yang dikenal dengan sebutan “pasar apung”.

Sungai sebagai sumber kehidupan dan bagian tak terpisahkan, mendorong masyarakat tradisional Banjarmasin untuk memusatkan aktifitas di bantaran sungai hingga membuat rumah-rumah apung di sepanjang bantaran sungai. Dalam aktifitas sosial sehari-hari, seperti menangkap ikan, bertani, berdagang, masyarakat tradisional baik itu laki-laki, perempuan hingga anak-anak, menggunakan perahu (jukung) untuk melintasi sungai, anak sungai dan kanal-kanal. Sungai telah menjadi bagian integral dalam kebudayaan masyarakat Banjarmasin.

Kondisi geografis bantaran sungai Barito sebagian besar adalah daerah tergenang, rawa-rawa dan lahan gambut. Kondisi Lahan rawa/tergenang bagi sebagian masyarakat di wilayah lain, dianggap sebagai lahan marjinal yang sulit untuk dikelola karena kondisinya yang selalu terendam, dan juga tingkat keasamaan tanah yang tinggi. Namun masyarakat tradisional Banjarmasin secara alami, mampu beradaptasi dan mengembangkan teknologi pertanian yang efektif di lahan-lahan rawa sehingga menjadi lahan produktif. Masyarakat Banjarmasin juga mempunyai teknologi yang akurat dalam memprediksi musim dengan bio-indikator hewan-hewan maupun dengan menganalisa gugusan bintang dilangit, sehingga dapat membuat prediksi akurat mengenai waktu yang baik untuk memulai musim tanam dan juga memprediksi adanya ancaman atau bencana. Masyarakat tradisonal Banjarmasin juga mengembangkan sistem pertanian yang heterogen dengan menanam berbagai jenis buah dan sayur di kebun-kebun rawanya sehingga dianggap mempunyai ketahanan pangan dan kedaulatan pangan yang baik.

Kapitalisme Pembangunan di Era Modernisme (dari “Era Sungai” ke “Era Darat”)
Perkembangan zaman atau modernisme yang ditandai dengan kemajuan teknologi, berdampak signifikan pada perubahan kebudayaan masyarakat Tradisional Banjarmasin. Banjarmasin kini telah menjadi kota. Kota dengan gaya urban nya sangat lekat dengan ideologi pembangunan ala modernisasi. Ideologi modernisasi yang kapitalistik dan konsumeris, masuk dan menawarkan fasilitas dan teknologi yang modern serta peluang kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Pola kehidupan tradisional masyarakat secara cepat mulai bertransformasi. “Era sungai” pun mulai perlahan-lahan ditinggalkan dan beralih ke “Era darat”. 

Kondisi perubahan ini ditandai dengan terbangunnya akses dan fasilitas transportasi darat, seperti pembukaan Jalan-jalan baru, jembatan penghubung, dan moda transportasi yang menjamur jumlahnya. Kebudayaan sungai yang organik dan berkelanjutan, perlahan berganti menjadi kebudayaan darat yang sifatnya fisik, beresiko pada lingkungan dan tak terbarukan. Kemajuan teknologi memang menawarkan kemudahan dan layanan hidup yang disatu sisi dapat dinilai lebih baik, namun disisi lainnya keadaan ini menghancurkan sendi kebudayaan lokal masyarakat dan juga kelestarian lingkungan. 

Untuk konteks Kota banjarmasin, dampak kapitalisme pembangunan di era modernisme ini, dapat dirasakan dengan berangsur sepinya “pasar terapung” yang telah menjadi ikon budaya Banjarmasin. Pasar terapung yang merupakan bagian dari “kebudayaan sungai” kini beralih menjadi “kebudayaaan darat” dengan ditandai gedung-gedung pasar modern. Perubahan ini menjadikan masyakat kelas menengah-atas yang lebih memiliki ketahanan finansial memilih beralih ke pasar-pasar modern dan menjadi sangat konsumtif. Sementara masyarakat tradisional yang berada di lapisan “ekonomi bawah” kehilangan sumber pendapatan utama. Hal yang menarik untuk dicermati adalah, aktifitas pasar apung tradisional didominasi oleh kaum perempuan yang berada di lapisan “ekonomi bawah”, dengan melakukan aktifitas dagang hasil hasil bumi dari perahu ke perahu. Ketika pembeli di pasar apung mulai sepi karena lebih memilih pasar-pasar darat dengan fasilitas yang lebih baik dan lengkap, maka perempuan-perempuan itu yang merupakan mitra suaminya dalam menopang (menyeimbangkan) perekonomian keluarganya menjadi kehilangan pendapatan tambahan. Dampak selanjutnya adalah ekonomi keluarga akan semakin terpuruk terlebih ketika pendapatan suami juga menurun. 

“Kematian” pasar apung ini, mungkin juga bisa diartikan sebagai “kematian” sebagian peran perempuan. Maka mau tidak mau, suka tidak suka, untuk bertahan hidup mereka (perempuan-perempuan perahu) tidak punya pilihan, perahu-perahu terpaksa harus “menepi” dan pekerjaan pun harus berganti. Entah itu beralih ke pasar-pasar darat, bekerja sebagai buruh pabrik/perkebunan, atau terpaksa harus menjual murah sepetak tanah kebun keluarga ke pihak swasta untuk menopang hidup. Sedikit kepedulian dari pemerintah, kini pasar terapung terkesan “dipaksa” bertahan dengan direkayasa sebagai situs wisata saja untuk memanjakan para wisatawan yang datang ke Kota Banjarmasin. Tak ada lagi aktifitas alami di dalamnnya. Lalu apa bedanya kondisi ini dengan museum.

Kesenjangan Modernisme (Rantai Panjang Dampak Sosial dan Lingkungan)
Produk modernisasi pembangunan, juga berimplikasi pada semakin gencarnya upaya eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam lokal, pendirian pabrik-pabrik, Industri, alih fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan sawit, serta pembukaan kawasan pertambangan yang semakin tak terkendali. Teknologi tradisional yang humanis berganti dengan teknologi modern yang dikelola mesin-mesin. Alih fungsi lahan dan alih fungsi teknologi adalah produk-produk kapitalisme pembangunan yang bersembunyi dibalik isu pemanfaatan sumber daya alam dan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Namun kenyataannya kesejahteraan hanya untuk golongan tertentu saja. Sementara masyarakat lokal yang mencoba bertahan dengan pola hidup tradisional dan menjaga tradisi leluhur perlahan menjadi tak berdaya dan hak-haknya terabaikan. Tanah-tanah warisan leluhur yang bertahun-tahun menjadi lahan sumber kehidupan utama keluarga dapat dengan mudah tergadaikan ke pihak swasta karena himpitan kebutuhan ekonomi.

Kesenjangan dari modernisme dalam pembangunan ini membawa kita pada kesadaran bahwa ada ketidakadilan sosial dalam pengelolaan sumberdaya alam lokal. Masyarakat lokal hampir tidak pernah menikmati kelimpahan sumber daya alam yang ada. Ada struktur massive kapitaslisme yang bekerja dalam sistem penguasaan sumber daya alam, dimana korporasi menempatkan masyarakat lokal, terutama kelas ekonomi bawah sebagai bagian yang paling rentan dan hampir tak diperhitungkan hak-haknya. Sumber daya alam (batubara, sawit, kayu, dll) sebagian besar diperuntukan untuk kebutuhan eksport dalam hal ini mensejahterakan negara lain, sementara kesejahteraan masyarakat lokal hampir tidak terpikirkan.

Model pembangunan fisik di era modernisme kerap dihubungkan dengan isu maskulinitas. Dominasi laki-laki dalam struktur yang kemudian membentuk mekanisme kerja yang eksploitatif, penguasaan dan tidak berkelanjutan. Dominasi ini menjadi keniscayaan karena laki-laki dianggap sebagai pelopor sekaligus pelaku utama pembangunan. Dalam pengelolaan sumber daya alam, gaya (maskulin) ini menempatkan potensi laki-laki di strukturnya untuk memanajerial dan mengoperasikan mesin-mesin teknologi canggih demi menunjang efektifitas dan efisiensi kerja. Kondisi ini secara “sadis” mendelineasi peran-peran perempuan yang dipandang tidak efekktif. Perempuan lagi lagi menjadi golongan yang paling rentan dan hampir tidak diperhitungkan. Kalaupun dilibatkan, perannya hanya menjadi buruh kasar pabrik/perkebunan dengan resiko pekerjaan yang tinggi namun minim perlindungan hak. Sebagai contoh kasus di lahan-lahan perkebunan sawit, banyak perempuan yang tak memiliki pekerjaan karena sepetak lahan kebun telah dijual, hanya bisa memungut sisa-sisa buah sawit yang jatuh di perkebunan untuk dijual kembali demi. Aktifitas ini dilakukan hanya untuk sekedar menyambung hidup. Namun resikonya sangat besar, jika ketahuan para perempuan itu bisa saja ditangkap dan bahkan mendapatkan penyiksaaan oleh penjaga kebun.

Selain mempunyai dampak pada ketidakadilan sosial, bentuk-bentuk penguasaan sumber daya alam melalui pembukaan dan pembakaran lahan untuk kepentingan ekspansi perkebunan dan pertambangan, juga menyebabkan keseimbangan lingkungan terganggu. Hutan kalimantan yang kaya akan keanekaragaman hayati seperti hewan-hewan liar dan langka, mulai kehilangan habitat alaminya dan bahkan terancam punah. Ikan ikan di sungai pun banyak yang mati karena sungainya telah tercemar limbah pabrik, industri dan pertambangan.

Limbah-limbah sisa proses produksi pabrik dan pertambangan yang dilepas ke sungai secara bebas dan tak terkelola melahirkan dampak yang luas. Sebagai contoh, dalam eksploitasi SDA seperti pertambangan batubara yang memanfaatkan alur sungai sebagai transport bahan tambang ke kapal tongkang. Keadaan ini berdampak pada pencemaran sungai karena banyak sisa-sisa batubara yang tertumpah di sungai dan meracuni sungai dengan kandungan logam berat. Sungai kini terlihat coklat pekat karena mengandung limbah yang banyak. Sungai yang tercemar ini menyebabkan tangkapan ikan juga jauh berkurang, produktifitas pertanian mulai menurun, dan gangguan kesehatan karena air sungai masih banyak dimanfaatkan masyarakat untuk keperluan sehari-hari seperti sumber air minum, makan, mandi dan mencuci pakaian. Dari kasus ini kita melihat fakta bahwa, perempuan lagi-lagi menjadi bagian yang terdampak besar karena lebih sering bersentuhan/terpapar dengan urusan domestik seperti, membuat makan, minuman, mencuci piring, baju dll sehingga lebih sering terpapar pencemaran.

Tekanan kebutuhan lahan untuk perumahan meningkatnya seiring dengan ledakan jumlah penduduk. Terlebih status Banjarmasin sebagai Kota yang ditandai adanya proses urbanisasi dan peningkatan populasi. Sistem membangun rumah secara terapung dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan konsep ala modernisasi, sehingga mulai ditinggalkan. Solusinya, lahan-lahan rawa dibantaran sungai pun mulai direklamasi (ditimbun), untuk dibuat kawasan perumahan. Lahan-lahan resapan air di bantaran sungai dari tahun ketahun kini semakin berkurang jumlahnya, sungai makin menyempit dan sedimentasi (pendangkalan) sungai semakin cepat. Ekosistem sungai terpengaruh secara signifikan, dan dampaknya adalah banjir saat musim hujan yang kini semakin sering dirasakan. Hal ini penyebabnya sederhana karena “rumah-rumah air” telah berkurang drastis luasannya berganti menjadi tutupan semen dan beton. Masyarakat lokal yang masih bertahan di bantaran sungai terpaksa harus siap menerima dampak dari banjir tersebut.

Masih dalam aspek dampak lingkungan, dimana sepanjang alur sungai dari hulu kehilir adalah kawasan hutan yang luas dengan dipenuhi dengan pohon-pohon besar dan juga keberadaan hutan gambut. Penjarahan kayu secara ilegal dan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan gambut, menjadi ancaman nyata. Meskipun merupakan hutan lindung, hukum seakan tidak mampu menahan segala bentuk pengrusakan. Hutan Kalimantan yang terkenal sebagai “paru-paru dunia” yang memasok oksigen dan penyimpan karbon terbesar bagi kehidupan di bumi kini kondisinya semakin kritis. Ratusan ribu hektar lahan tiap tahunnya akibat aktifitas penjarahan dan pembakaran ini.

Respon dan Perubahan Sosial dari Kerusakan Lingkungan
Dampak pembangunan fisik di era modernisme cenderung eksploitatif, dan berorientasi penguasaan atas sumber sumber daya alam, dikelola secara tidak berkelanjutan dan mengabaikan hak-hak sosial, perempuan dan lingkungan. Hal ini berbanding terbalik dengan sistem tradisional yang organik, humanis, dan mengutamakan keberlanjutan/kelestarian lingkungan.  Kerusakan pada ekosistem sungai, dan hutan adalah salah satu dampak negatif dari pembangunan eksploitatif yang juga melahirkan rantai dampak lanjutan, diantaranya berubahnya kondisi sosial masyarakat, kebudayaan, dan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat sekitar.

Perubahan kondisi sosial masyarakat sebagai akibat dari perubahan lingkungan dari yang semula lahan-lahan rawa, lahan gambut, dan hutan tropis menjadi kawasan perkebunan sawit, pertambangan dan ataupun perumahan, telah merubah sebagian besar pola mata pencaharian masyarakat. Masyarakat lokal yang dahulu hidup di bantaran sungai yang dahulu bertani kini beralih menjadi buruh di kebun-kebun sawit, atau di lahan pertambangan.

Pencemaran sungai juga dapat menjadi penyebab berubahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Air sungai yang tercemar membuat produktifitas lahan-lahan pertanian padi menurun, begitupula dengan komoditi pertanian lainnya yang memanfaatkan air sungai yang tercemar. Bahan-bahan import (padi, buah, dan sayuran import) pun mulai masuk menguasai pasar-pasar. Komoditi pertanian lokal kalah bersaing dengan komoditi pertanian yang diimport dari negara lain. Petani pun meninggalkan lahan-lahan pertaniannya, menjual murah tanahnya dan memilih berganti pekerjaan. Apalah daya, lahan telah hilang, prodktifitas tani menurun, tangkapan ikan berkurang, air tercemar, maka pasar apung pun kini yang mengapung tinggalah namanya, namun aktifitasnya telah tenggelam.

Kehilangan sumber penghidupan membuat tekanan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar semakin mendesak. Hampir tak ada pilihan lain, akhirnya masyarakat lokal pun menjadi bagian dari pengrusakan alamnya sendiri dengan melakukan pembalakan liar dan perburuan hewan hewan liar untuk dijual. Kondisi ini perlu dilihat dari kerangka dampak keserakahan modernisasi dalam mengeksploitasi sumber daya alam, yang mengabaikan keadilan sosial dan hak-hak masyarakat lokal, dan hak-hak lingkungan sehingga melahirkan rantai dampak yang panjang pada aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Pajak dan Pencemaran Lingkungan

Manusia Kontra Lingkungan