Good Governance dan Good Environmental Governance dalam perencanaan lingkungan hidup
Good
Governance dan Good
Environmental Governance dalam perencanaan lingkungan hidup
Author : Dhany R
Pengertian Good Governance
Konsep
governance mulai berkembang
pada awal 1990a-an dan dikembangkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap
konsep government dimana
pemerintah dinilai telah terlalu berkuasa sehingga masyarakat ttidak memiliki
keleluasaan ruang untuk berkembang. Pemerintah dianggap telah menjadi
institusi yang paling mengetahui dan mengerti apa yang diinginkan oleh
masyarakat, sehingga banyak kebijakan yang dibuat tanpa perlu mendengar
aspirasi masyarakat. Akibatnya kebijakan menjadi bersifat top down. Keadaan
ini kemudian membuat dukungan masyarakat terhadap pemerintah semakin menurun
(lilin budiati, 2012).
Dalam suasana yang demikian, maka berkembanglah
pandangan baru mengenai tentang apa itu pemerintahan, apa yang harus dilakukan
oleh pemerintahan, dan bagaimana pemerintah yang bertanggungjawab. Kemudian
lahirlah istilah governance.
Perbedaan
mendasar antara government dan governance terletak pada bagaimana
cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi, dan administrasi dalam
pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep government berkonotasi bahwa
peranan pemerintah adalah yang lebih dominan.
Sedangkan Governance
lebih merupakan kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan,
kohesi dan keseimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan
oleh tiga komponen yakni: pemerintah (government), rakyat (citizen)
dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau dan
Campos,1997 dalam Thoha, 2003:63).
Webster’s
New World College Dictionary, Third Edition (1996), memaknai governance sebagai ‘the
act, manner, function, or power of government” yang kemudian diperluas
dengan makna, “the exercise of authority over a state, district,
organization, or institution,” “system of rulling or controlling”, juga
“the right, function, or power of governing”, dan “ all people
or agencies that administer or control the affairs of a nation, state, insititution
etc”. Sedangkan UNDP (1997) mendefinisikan governance sebagai:
“pelaksanaan otoritas administratif, politik, dan ekonomi untuk mengelola
masalah suatu Negara pada semua tingkat yang mencakup mekanisme, proses, dan
lembaga ketika warga negara dan kelompok- kelompok masyarakat menyampaikan
kepentingan, melakukan hak politiknya, memenuhi kewajibannya, dan mendiskusikan
perbedaan di antara mereka” (Dwiyanto, dkk, 2003:4).
Berangkat
dari pemaknaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa governance tidak lagi
menunjuk secara eksklusif pada pemerintahan, tetapi juga merujuk pada
penggunaan kekuasaan dalam institusi atau organisasi di luar pemerintah. Secara sederhana, banyak pihak menerjemahkan governance
sebagai Tata Pemerintahan. Tata pemerintahan disini bukan hanya dalam pengertian
struktur dan manajemen lembaga yang disebut eksekutif, karena pemerintah (government)
hanyalah salah satu dari tiga aktor besar yang membentuk lembaga yang disebut governance.
Dua aktor lain adalah private sektor (sektor swasta) dan civil
society (masyarakat madani). Karenanya memahami governance adalah
memahami bagaimana integrasi peran antara pemerintah (birokrasi), sektor swasta
dan civil society dalam suatu aturan main yang disepakati bersama. Hal ini
sejalan dengan definisi Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang mengembukakan
bahwa good governance adalah
penyelenggaraan pemerintah yang efektif dan efisien, solid, serta
bertanggungjawab dengan menjaga kesinergisan interaksi antara domain-domain negara diantaranya
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Adapun peran tiga domain tersebut menurut UNDP adalah :
- Pemerintah
(State)
Negara
adalah organisasi kekuasaan yang didasarkan pada kewenangan tertinggi dalam
suatu wilayah tertentu, serta memiliki kelompok orang yang mengakui dan taat
pada kekuasaaan yang ada. dalam pengertian governance,
kekuasaan diartikan secara luas yang mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ini ditujukan bagi terciptanya pemerintahan
yang efektif dan efisien dengan mengandalkan mekanisme checks and balances. Dengan mekanisme tersebut, kontrol antar
kekuasaan yang ada senenatiasa terbentuk guna menghindari pemerintahan otoriter yang cenderung
mengabaikan kepentingan rakyat dalam penyediaan kebutuhan dan pelayanan publik.
- Sektor
Swasta (Private)
Pendekatan
pasar untuk pembangunan ekonomi berkaitan dengan penciptaan kondisi dimana
produksi barang dan jasa (goods and
services) berjalan dengan baik dengan dukungan lingkungan yang mapan untuk
melakukan aktifitas sektor swasta. Sistem pemerintahan yang baik akan
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi aktifitas pasar dan sektor swasta
untuk menciptakan produksi barang dan jasa agar kebutuhan masyarakat dapat
terpenuhi.
- Masyarakat
(Society)
Dalam
praktek governance, peran masyarakat sama penting dan sejajar dengan
peran pemerintah dan sektor swasta. Masyarakat mampu memfasilitasi interaksi
sosial politik serta memobilisasi berbagai kelompok dalam masyarakat untuk
terlibat dalam aktifitas sosial, ekonomi, dan politik. organisasi masyarakat
sipil dapat menyalurkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas sosial dan
ekonomi serta mengorganisasinya ke dalam suatu kelompok yang lebih potensial
untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam mencapai kesejahteraan bersama.
UNDP merumuskan
beberapa karakteristik good governance, sebagai berikut:
a.
Participation
(partisipasi),
yaitu keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan
aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
b.
Rule
of law, yaitu
kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu.
c.
Transparency.
Tranparansi
dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Apapun informasi yang
berkaitan dengan kepentingan publik, harus secara langsung dapat diperoleh oleh
mereka yang membutuhkan.
d.
Responsiveness.
Setiap
lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani stakeholder.
e.
Consensus
orientation. Adanya
keharusan untuk selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih
luas.
f.
Equity.
Setiap individu
dalam masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan
dan keadilan.
g.
Efficiency
and effectiveness. Pengelolaan
sumberdaya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna
(efektif).
h.
Accountability,
yaitu pertanggungjawaban
kepada publik atas aktivitas yang dilakukannya.
i. Strategic
vision. Setiap
penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan.
Good Governance merupakan
suatu upaya untuk mengubah watak pemerintah dari yang semula bekerja sendiri,
mejadi lebih memperhatikan pelibatan dan aspirasi masyarakat. Dalam good governance, masyarakat tidak lagi
dipandang sebagai objek melainkan sebagai subjek yang turut bekerja dalam
program pembangunan. dengan demikian sistem pemerintahan yang demokratis
menjadi prasyarat dalam penerapan good
governance untuk menjamin distribusi keadilan sosial dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat.
Good Environmental
Governance dalam Konsep
Pembangunan berkelanjutan
Paradigma pembangunan (sustainable development) yang diadopsi
oleh sebagian besar negara-negara dunia, mulai memunculkan berbagai tantangan
masa depan. Masalah kerusakan lingkungan dan kasus pencemaran yang melanda seluruh
negara-negara di dunia, dianggap sebagai dampak dari pembangunan
industrialisasi dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Keadaan ini
kemudaian dianggap mengancam keberlanjutan kehidupan masa depan. Menyikapi
masalah tersebut, PBB kemudian membentuk World
Commision Environment and Development (WCED) untuk mengkaji permasalahan
tersebut yang berkaitan dengan lingkungan dan pembangunan. Hasil penelitian dan
pengkajian tersebut dituangkan dalam laporan yang berjudul our common future pada tahun 1987 yang memunculkan konsep sustainable development atau pembangunan
berkelanjutan.
Menurut WCED, pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) didefinisikan
sebagai pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Didalam konsepsi pembangunan
berkelanjutan, mengandung dua gagasan penting yakni:
- Gagasan
“kebutuhan”, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin di dunia, yang harus
diprioritas utamakan;
- Gagasan
keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial
terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.
Di dalam buku sectoral Agenda 21
Book 1 : Guidebook For Sustainable
Development: An Effort to Achieve A Better Quality of Life (2000) disebutkan
bahwa:
“ ...unlike other
existing development theories brought up by economic development
thinkers,...the emergence of sustainable development concept has a different
dimension. The emergence was closely connected with the rise of the
environmental awareness”
Pernyataan diatas menunjukan bahwa
pembangunan berkelanjutan sesungguhnya, sangat erat hubungannya dengan
kesadaran lingkungan. Krisis lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi
sumber daya alam untuk kebutuhan pembangunan ekonomi, menjadi sesuatu yang
harus dipertimbangkan dalam konsep pembangunan.
Berdasarkan hasil KTT Bumi di Rio
de Janiore, tahun 1992, esensi pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya meliputi tiga aspek yaitu; ecology, economy, dan social security, yang selanjutnya
disebut triangle of sustainability. Pembangunan
dikatakan tidak berkelanjutan jika pembangunan hanya berpusat pada aspek sosial
dan ekonomi, melainkan harus memperhatikan ketersediaan sumber daya alam untuk
kebutuhan jangka panjang generasi masa depan.
Berangkat dari kesadaran tersebut dan maraknya wacana lingkungan hidup dalam
berbagai konferensi internasional, maka prinsip good governance sebagai tata pemerintahan yang baik, dalam
menajemen administrasi pemerintahan, harus mengintegrasikan prinsip-prinsip sustainable development yang meliputi
aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. dalam upaya mewujudkan perhatian
terhadap krisis lingkungan dalam tata pemerintahan, maka lahirlah istilah yang
dikenal dengan good environmental governance, atau kepemerintahan
lingkungan yang baik. Dalam good
environmental governance, terdapat tiga prinsip utama yaitu; 1) membuat
keputusan pada tingkat yang tepat; 2) penyediaaan akses informasi, partisipasi
dan ganti rugi, dan 3) mengintegrasikan aspek lingkungan dalam semua kebijakan.
Relevansi
dari konsep good environmental governance
adalah pada upaya untuk memahami dan mengelola hubungan timbal balik antara
sistem sosial dengan ekosistem. Lebih dari itu, pengelolaan sistem sosial perlu
dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai ekologis dan sebaliknya, ketahanan
ekosistem bisa dipelihara melalui npengelolaan sistem sosial yang terbimbing
oleh kaidah-kaidah ekologis. Konsep good
environmental governance perlu dibangun di atas premis sentral bahwa
sistem sosial dan ekosistem dari waktu ke waktu, terlibat dalam interaksi yang
terus menerus.
Pada
awalnya, penerapan konsep good governance
hanya didasarkan pada pengamatan atau teorisasi mengenai interaksi sosial
dan pemerintahan. Namun, belum mengkaji secara mendalam mengenai dinamika
ekosistem. Dinamika ekosistem secara mendalam dijelaskan dalam konsep manajemen
lingkungan yang berdasarkan interaksi sistem bio-fisik. Dengan demikian
pemaknaan good governance sifatnya
masih teknosentrik dan belum menjamin kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu,
perlu diintegrasikan konsep manajeman lingkungan dalam prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik, sesuai dengan rumusan pembangunan berkelanjutan.
Melalui
pemikiran good environmental governance, diharapkan dapat dirumuskan pembaruan
penyelenggaraan kepentingan publik yang baik dengan mengacu dan mengedepankan
nilai-nilai ekologis. Lebih jelasnya, baik-buruknya penyelenggaraan
pemerintahan tidak hanya dilihat dari kualitas hubungan negara dengan
rakyatnya, namun juga dari komitmennya untuk menjunjung tinggi kaidah-kaidah
ekologis (lilin budiati, 2012).
Pilar - Pilar Perencanaan Lingkungan untuk mewujudkan Good Environmental Governance
Dalam
proses penerapan perencanaan lingkungan terutama di negara-negara berkembang
seperti misalnya implementasi good
governance, nampaknya belum mengarah pada hal-hal yang dicita-citakan,
namun dalam berbagai kasus, justru praktik-praktik korupsi, pelanggaran HAM,
Gender, serta masalah kerusakan lingkungan justru semakin marak terjadi. Bahkan
dapat dikatakan kondisi ini dari waktu kewaktu semakin kritis. Menurut Friedman
(1987), perencaanaan merupakan seuatu strategi dalam pengambilan keputusan
sebelumnya sebagai suatu aktifitas tentang keputusan dan implementasi. Friedman
juga melanjutkan bahwa salah satu penyebab krisis dalam penerapan perencanaan
adalah tidak adanya keterkaitan antara pengetahuan (knowledges) dan implementasi (action).
Artinya, terdapat krisis pemahaman tentang masyarakat. Ketidakberhasilan
memahami kebutuhan masyarakat merupakan pertanda krisisinya suatu teori perencanaan.
Kondisi
demikian lebih nampak dinegara-negara berkembang dimana para perencana
menerapkan begitu saja teori-teori perencanaan dari negara maju tanpa melakukan
penyesuaian dengan karakteristik sosial budaya masyarakatnya. Banyak kebijakan, program dan proyek yang
telah diterapkan belum mampu
menerjemahkan kepentingan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Tentu kita dapat
melihat bagaimana modernisasi dan globalisasi yang justru semakin menyeret
negara-negara berkembang ke jurang krisis perekonomian karena sumber daya alamnya
yang telah dikuasai negara-negara pemodal. Dalam implementasi good governance kemudian berkembang
mnjadi good environmental governance
dimana aspek perencanaan dan pengambilan kebijakan pembangunan yang berpihak
pada perlindungan lingkungan. Beberapa pilar perencanaan lingkungan untuk
mewujudkan good environmental governance
adalah harus memperhatikan keseimbangan dan keharmonisan pilar-pilar perencanaan
lingkungan, diantaranya; perilaku, manajemen, hukum dan politik.
1. Perilaku
Pada jaman dahulu, yang dikenal
dengan era Pan-Cosmism, masyarakat
dan alam masih hidup berdampingan, alam dianggap sebagai sesuatu yang sakral
dan tak terlawankan dan manusia hidup dengan memanfaatkan hasil alam sesuai
dengan kebutuhan saja. Keseimbangan alam masih terjaga, karena daya dukung dan
daya tampung lingkungan masih lebih besar daripada kebutuhan manusia saat itu.
Namun seiring kemajuan peradaban dan teknologi, paradigma tersebut mulai
bergeser ke tahap Antroposentrisme dimana
manusia mulai berusaha menguasai alam. Semakin meningkatnya pertumbuhan
penduduk, perkembangan pola pikir, modernisasi, hingga penemuan-penemuan
teknologi dan mesin industri, adalah beberapa alasan mendasar yang mendorong
terbentuknya paradigma tersebut demi memenangkan persaingan dalam pemenuhan
kebutuhan ekonomi.
Persaingan untuk memenuhi kebutuhan
dasar sandang pangan pun semakin tinggi sehingga mendorong manusia untuk
menciptakan teknologi dan mesin yang mampu mengeksploitasi sumber daya alam
secara berlebihan dan liar. Sumber daya alam pun dieksploitas secara liar dan
massiv. Dampaknya adalah kerusakan lingkungan karena telah terjadi
ketidakseimbangan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan tersebut
dengan aktifitas masyarakatnya.
Sony Keraf (2002) mengemukakan
bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah moral manusia, atau persoalan
perilaku manusia. Kerusakan lingkungan bukanlah hanya persoalan teknis saja
tetapi lebih pada krisisi moral yang dialami seluruh bangsa didunia. Untuk
mengatasi masalah lingkungan hidup, maka langkah awal yang perlu dilakukan
adalah merubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara mendasar.
Paham Antroposentrime merupakan paham klasik yang berkembang dari cara
pandang filsafat barat yang melihat bahwa manusia adalah pusat etika dan moral.
Lingkungan merupakan bagian yang terpisah dari manusia dan lingkungan dapat
dipergunakan sebebas-bebasnya untuk memenuhi segala kebutuhan manusia. Perilaku
Antroposentrisme, menetapkan manusia sebagai pusat semesta. Hanya manusia yang
mempunyai nilai. Sehingga alam dengan segala isinya adalah alat pemuas
kebutuhan manusia. Hubungan manusia dan alam berada pada relasi materi dan
ekonomis. Manusia baik secara sadar maupun tidak, berinteraksi dengan
industrialisme, konsumerisme dan perkembagan teknologi, menjadi sebab kerusakan
lingkungan. Akibatnya semua sisi lingkungan menjadi rusak baik itu lingkungan
fisik maupun biologi dan bencana alam pun datang silih berganti.
Beberapa kasus pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam skala global mencerminkan betapa
kondisi bumi kita saat ini benar-benar telah memprihatinkan. Rusaknya
lingkungan air, berbentuk pencemaran disungai-sungai oleh limbah-limbah
domestik/rumah tangga dan industri yang langsung mengalirkan limbah produksinya
ke badan sungai dan laut menyebabkan kematian pada ikan dan rusaknya ekosistem
air tersebut. Lebih jauh pencemaran itu dapat menyebabkan mutasi genetis pada
ekosistem air tesebut sepert ikan dan makhluk lain yang hidup didalamnya dan
akan sangat berbahaya ketika dikonsumsi oleh manusia seperti yang terjadi pada
tragedi minamata di Jepang dan teluk buyat yang tercemar limbah mercury. dan yang saat ini sedang menjadi perdebatan
adalah pencemaran danau Toba di Sumatera Utara oleh Limbah ternak babi. Padahal
daerah ini merupakan destinasi pariwisata yang sangat terkenal juga tak luput
dari pencemaran limbah industri.
Kerusakan lingkungan juga dapat
dilihat dari kualitas udara, seperti munculnya beragam polusi atau pencemaran
udara, baik yang dihasilkan oleh industri maupun kendaraan bermotor. Peristiwa
yang sangat ekstrim terjadi ketika kecelakaan industri di Bhopal, India pada
tahun 1984 yang menyebabkan polusi udara, yakni gas beracun. Peristiwa lain
juga terjadi pada bencana radiasi nuklir di chernobyl, Ukraina pada tahun 1986
dan kebocoran reaktor nuklir Fukushima jepang yang meledak terkena tsunami pada
tahun 2011 lalu. Di tanah air, marak terjadi kebakaran Hutan, seperti yang
terjadi kembali di riau beberapa bulan lalu yang disebabkan oleh pembukaan
lahan untuk kebutuhan perkebunan kelapa sawit. Asap tebal membuat penurunan
signifikan terhadap kualitas udara dan dampaknya pun merambah hingga ke negara
tetangga seperti Singapura.
Sementara itu, rusaknya tanah dan
hutan kita, tidak lepas dari adanya lahan-lahan krisis akibat penggundulan
hutan dan pembukaan lahan secara besar-besaran untuk aktivitas pertambangan dan
perkebunan misalnya pembukaan lahan perkebuan kelapa sawit di sumatera dan
aktivitas pertambangan yang semakin marak di Kalimantan, papua, dan kini
sulawesi. Hutan yang menyangga sistem
lingkungan hidup didunia sebagai rumah untuk segala keanekaragaman hayati,
penghasil oksigen dan penyedia cadangan air telah mengalami kerusakan parah.
Kerusakan hutan tentunya menyebabkan pula punahnya satwa-satwa langka yang
hidup didalamnya misalnya orang utan, badak, harimau, dll.
Negara-negara berkembang saat ini
semakin “gila”nya mengeksploitasi kekayaannya sumber daya alam, guna mengejar
ketertinggalan dengan negara-negara maju. Modernisasi
yang secara sempit dimaknai sebagai development
(pembangunan) dimana tolak ukurnya hanyalah semata-mata pada pertumbuhan
ekonomi. Begitupun dengan efek globalisasi
yang melahirkan pasar bebeas dimana banyaknya diterapkan
peraturan-paraturan perdagangan yang mematikan industri di negara berkambang
dan semakin menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan multinasional dari negara-negara maju untuk berinvestasi di
negara-negara berkembang.
Vandana
Shiva (1995) menilai dimensi developmentalisme
yang berlangsung di negara dunia ketiga sendiri merupakan kelanjutan praktik
kolonialisme yang terjadi di masa lalu. Shiva mengajukan istilah “sindrom
eksploitasi” (exploitation syndrome) untuk mengkritisi wacana developmentalisme yang berkembang dalam
negara dunia ketiga. Sindrom tersebut meliputi dua tahapan utama.
Pertama,
munculnya
kepemilikan barang privat untuk menggantikan barang publik dalam manajemen
pengelolaan sumber daya alam. Konsep
kepemilikan publik sendiri dinilai tidak menguntungkan dari segi ekonomis dan
tidak mendorong manusia untuk berekspresi secara bebas dalam beraktivitas
ekonomi. Kepemilikan barang privat menciptakan perilaku konsumtif yang besar
untuk memuaskan kebutuhan ekonomi masing-masing sehingga menciptakan fenomena tragedy
of the commons dalam masyarakat. Tragedy of the Commons merupakan
istilah yang Garrett Hardin (1968) mengenai adanya ketidakseimbangan kebutuhan
konsumtif populasi manusia dengan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat
di lingkungan. Adanya ketidakseimbangan tersebut menciptakan adanya perilaku
rakus manusia untuk terus memenuhi kebutuhannya dengan terus-menerus
mengeksploitasi kekayaan alam. Alam yang semula merupakan collective goods kemudian
dikapling-kapling menjadi kepemilikan barang privat sebagai bentuk aksi
rasionalitas ekonomi. Selagi sumber daya alam tersebut masih menyediakan
kekayaan alam melimpah, manusia akan terpacu untuk mengeksploitasinya sampai
habis. Hingga pada suatu ketika sumber daya alam itu habis, maka manusia akan
berpindah mencari potensi sumber daya alam lainnya untuk dieksploitasi.
Kedua, berdirinya aparatus birokrasi
pemerintahan yang melegalkan dan mengizinkan adanya komersialisasi barang
publik tersebut dikarenakan pendapatan negara amatlah tergantung dari ekstrasi
yang dihasilkan dari sumber daya alam tersebut. Adanya peralihan sumber daya
alam dari barang publik menjadi barang privat sangatlah erat berkaitan dengan global
disorder maupun global instabilities yang menekankan pada de-negara-nisasi
dalam aspek ekonomi (Endaryanta, 2007 :15). Peran eksesif negara dalam mengatur
aktivitas ekonomi dinilai tidak kompetitif dalam membangun dan menciptakan
iklim perekonomian yang sehat dalam rangka menciptakan angka pertumbuhan
ekonomi (Jati, 2011). Pasar harusnya didorong sebagai eksekutor dalam
menciptakan pertumbuhan ekonomi. Adapun langkah pertama dilakukan adalah
melakukan komodifikasi atas sumber ekonomi non komersial yang dikuasai oleh
basis kepemilikan komunal oleh masyarakat lokal. Komodifikasi tersebut
menciptakan kondisi marketable goods yakni keadaan dimana barang publik
yang sejatinya bernilai sosial berubah menjadi barang privat bernilai ekonomis.
Negara berkembang misalnya
Indonesia, mempunyai sumberdaya alam yang begitu besar namun kita tidak
mempunyai teknologi dan sumber daya manusia untuk mengolah itu. Untuk itu, kita
harus mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar negeri untuk bekerja dan
mengeksploitasi kekayaan di negeri kita. Namun apa yang didapatkan..?? kita
“dirampok” secara sadar dan kita tidak mempunyai daya untuk menghalau hal
tersebut. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah bukannya kemajuan eknomi yang
terjadi melainkan lingkungan kita yang menjadi rusak dan utang negara kita
semakin bertambah untuk mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar. Belum
lagi di tambah dengan biaya yang dibutuhkan untuk menangani kerusakan
lingkungan dan bencana yang ditimbulkannya misalnya banjir, kebakaran hutan,
tanah longsor, dll. Nah pertanyaannya kapan kita akan menikmati kekayaan kita
jika hasil kekayaan itu habis terpakai untuk membayar utang dan membiayai
bencana yang semakin sering terjadi...??
KTT Bumi yang di sepakati di Rio de
janiero pada tahun 1992, sempat membawa angin segar bagi keberlanjutan
lingkungan dengan dicanangkannya sustainable
development, yang sekaligus juga mengembangkan paham good governance menjadi good
environmental governance, dimana isu lingkungan mulai mendapatkan perhatian
utama. Namun nampaknya konsep dan paradigma pembangunan berkelanjutan yang
menekankan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, masih belum
mampu dilaksanakan selama dua dekade ini. Nampaknya ideologi economic developmentalism masih
menguasai sebagian besar paradigma dan perilaku bangsa-bangsa di dunia ini. Dan
kita bisa saja berpendapat bahwa ideologi ini sebenarnya bersifat politis untuk
meloloskan kepentingan negara-negara eropa di belahan utara yang menguasai
industri dan teknologi terhadap negara-negara selatan yang memiliki kekayaan
sumber daya alam. Setidaknya dalih keberlanjutan tiga aspek tersebut mampu
“meninabobokan” negara-negara berkembang untuk mendukung gerakan ini sebagai
solusi krisis lingkungan global. Namun nyatanya, eksploitasi sumber daya alam,
malah semakin menggila.
Kita tentunya telah menyaksikan
melalui media telvisi, koran, dan internet bagaimana kerusakan lingkungan dan
eksploitas Sumber daya alam dimuka bumi ini secara berlebihan terjadi
dimana-mana dengan tingkat kerusakan yang sudah sangat mengkhawatirkan. Maka
fenomena ini seharusnya lebih menyadarkan dan menggugah hati kita untuk
mengkoreksi kembali pola pikir dan perilaku kita selama ini, utamanya dalam
tata kelola pemerintahan sehingga cita-cita luhur dalam good environmental governance dapat terwujud.
Menurut Arne naess, permasalahan
terbesar yang harus diatasi adalah pada persoalan paradigma kita terhadap
lingkungan itu sendiri. Dan untuk mengatasi krisis lingkungan yang terjadi,
maka paradigma atau cara pandang harus dirubah secara fundamental dan radikal.
Dengan memahami bahwa hanya dengan memperlakukan alam secara etis, menempatkan
alam dengan segala isinya termasuk hewan dan tumbuhan sebagai sebuah kesatuan
ekologis dan saling ketergantungan dengan manusia, menghapus paham dominasi
manusia terhadap alam, juga menghapus dikotomi manusia sebagai subjek dan alam
sebagai objek. Begitupun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang harus diarahkan kepada nilai-nilai etis terhadap lingkungan.
Arne naess menyebut pandangan itu
sebagai ecosophy yang berarti kearifan
lingkungan, dalam pandangan ini danjurkan untuk pola dan gaya hidup yang sesuai
dengan kearifan merawat alam sebagai rumah tangga bagi semua makhluk hidup.
Keinginan memelihara hubungan yang serasi dengan alam melahirkan banyak
pengetahuan lokal (indigenous people)
yang sangat berguna untuk pelestarian daya dukung lingkungan. Indigenous knowmledge yang merupakan environmental wisdom sampai sekarang
masih ada yang dipelihara dengan dan diterapkan secara turun temurun oleh
beberapa suku tradisional di antaranya tradisi “zoning” di suku Tabla di papua
yang membuat batasan-batasan wilayah untuk pemukiman, pertanian, hingga daerah
keramat yang tak boleh diganggu, ada juga tradisi sistem Sasi di Maluku dan
Papua yang melarang masyarakatnya menangkap ikan pada musim-musim tertentu
seperti pada saat musim transissi, dan ketika adanya perayaan adat. Larangan
ini bertujuan untuk memberikan kesmpatan pada ikan untuk hidup dan berkembang
lagi sehingga ketika sasi kembali dilepas, hasil tangkapn ikan akan semakin banyak.
Ada juga tradisi suku baduy dalam
pengelolaan pangan secara mandiri (self
reliance) yang membuat masyarakatnya swasembada beras. Kemandirian ini
dibangun dengan cara tidak memperjualbelikan hasil pertanian (padi) melainkan
disimpan dilumbung, baik lumbung bersama maupun lumbung keluarga. Lumbung
bersama diisi oleh padi yang ditanam bersama-sama sedangkan lumbung keluarga
diisi padi yang ditanam sendiri. Pengambilan gabah baik untuk acara adat maupun
untuk konsumsi sehari-hari diatur dengan aturan adat yang telah ditentukan
sesuai dengan kubutuhan dan persediaan gabah.
Beberapa contoh diatas merupakan
bukti kearifan lokal yang masih diterapkan hingga saat ini oleh masyarakat
tradisional. Mereka mampu membangun keharmonisan dengan lingkungan alam dan
memanfaatkan sumber daya alam sesuai kebutuhan, disamping itu juga masyarakat
meningkatkan kualitas kehidupan sosialnya untuk membangun kemandirian
masyarakatnya tanpa harus bergantung pada teknologi luar. Tentunya untuk
mewujudkan hal diatas bukanlah merupakan hal mudah karena yang ingin dirubah
adalah paradigma manusia yang sangat kompleks. Dan tantangan yang kemudian
dihadapi adalah Jumlah peduduk yang semakin meningkat serta kemajuan teknologi
yang seolah memaksa kita untuk mengikuti pola hidup modernisme dan meningglkan
kearifan lokal kita
.
Permasalahan
krisis lingkungan dan kependudukan bukanlah masalah yang bisa diselesaikan
secara parsial dari sisi ekonomis saja dengan menciptakan teknologi mutakhir,
namun lebih dari itu, ekologi manusia dan semua komunitas biotis maupun abiotis
didalamnya meruapakan jaringan kompleks yang juga meluputi persoalan sosial dan
budaya dan lingkungan. Bumi ini bukanlah mesin yang solusi permasalahannya
harus dipahami secara mekanis dan reduksionistis melainkan harus dipahami
secara holistic (menyeluruh) dan
sistematis.
2.
Manajemen
Seperti
yang telah kita ketahui bahwa kasus kerusakan dan pencemaran lingkungan kerap
terjadi saat ini, terutama ketika dunia telah memasuki era industrialisasi. Persaingan global sejak
diwacanakanya modernisasi hingga globalisasi, memicu negara-negara di seluruh
dunia, untuk memacu perkembangan ekonomi dan pengembangan infrastruktur negara
menuju negara maju dan sejahtera. Indikator negara maju tentu diukur dari
pertumbuhan ekonomi, sehingga negara-negara berkembang tak memiliki pilihan
selain mengeksploitasi sumber daya alam sebesar-besarnya untuk membiayai
kebutuhan negaranya. Akhirnya, lingkungan selalu menjadi aspek yang dikorbankan
demi pembangunan.
Namun,
kesadaran terhadap kerusakan lingkungan dan dampak kerusakan tersebut pada
kehidupan manusia akhirnya menggugah manusia untuk mulai melihat lingkungan
juga sebagai aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan. KTT Bumi yang
digelar di Rio de Janiero pada tahun 1992 merupakan buah dari kesadaran global
terhadap permasalahan lingkungan. KTT ini lahir ketika seluruh dunia sedang
hangat membicarakan isu globalisasi. Isu Globalisasi
yang menyertakan wacana perdagangan bebas (Free
Trade) sebagai solusi pembangunan negara-negara berkembang, disatu sisi
lain ternyata mampu membuka kesadaran global terhadap isu kerusakan lingkungan
sebagai dampak pembangunan sejak era modernisasi.
Dalam
KTT Rio tersebut, di wacanakan sebuah model pembangunan yang berwawasan
lingkungan, yaitu Pembangunan Berkelanjutan. konsep ini merupakan konsep
manajemen pembangunan global dimana prinsipnya adalah pembangunan yang berusaha
memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhannya. Persoalan keterbatasan sumber daya alam untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia, dan juga dampak dari pembangunan pada kesehatan
manusia dan ekosistem menjadi dasar utama perlunya dilakukan manajemen atau
pengelolaan sumber daya alam agar terus berkelanjutan dan dapat memenuhi
kebutuhan generasi mendatang.
Untuk
mewujudkannya, ada tiga aspek yang perlu disinergiskan konsep manajemen
pembangunan berkelanjutan ini yakni pembangunan ekonomi, sosial budaya, dan
lingkungan. Dan konsep ini harus diintegrasikan pada setiap aspek pembangunan
di seluruh dunia. Dalam proses penerapannya, konsep manajemen pembangunan yang
memperhatikan aspek lingkungan, diturunkan ke dalam peraturan-peraturan
mengenai lingkungan yang disebut manajemen lingkungan.
Dalam
praktek manajemen lingkungan, khususnya di industri/perusahaan yang melakukan
proses produksi, kita mengenal ISO 14001, dimana didalamnya ditetapkan standar-standar operasional
dalam pengelolaan lingkungan dan berlaku secara internasional. Menurut ISO
14001, sistem manajemen lingkungan (EMS) adalah 'that part of the overall
management system which includes organizational structure planning, activities,
responsibilities, practices, procedures, processes, and resources for
developing, implementing, achieving, reviewing, and maintaining the
environmental policy'. Jadi disimpulkan bahwa menurut ISO 14001, EMS adalah
bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang berfungsi menjaga dan mencapai
sasaran kebijakan lingkungan. Sehingga EMS memiliki elemen kunci yaitu
pernyataan kebijakan lingkungan dan merupakan bagian dari sistem manajemen
perusahaan yang lebih luas.
Manajemen
lingkungan dalam ISO 14001 ini mencakup lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Yang termasuk dalam lingkungan internal
yaitu di dalam lingkungan pabrik/lokasi produksi. yang termasuk didalamnya
adalah kondisi lingkungan kerja, fasilitas kesehatan, alat pelindung diri,
asuransi pekerja, dll. Sedangkan lingkungan eksternal
yaitu lingkungan diluar lokasi pabrik/lokasi produksi diantaranya adalah usaha
penanganan limbah, perhatian pada keseimbangan ekologis di sekitar pabrik,
dampak terhadap masyarakat di sekitar lokasi pabrik,dll. Penerapan prinsip ISO 14001 ini menjadi
standar umum terutama bagi pabrik/perusahaan dalam menjalankan proses
produksinya dan merupakan salah satu hasil integrasi konsep pembangunan
berkelanjutan dalam lingkungan pabrik/perusahaan
Hal
yang penting dipahami juga dalam manajemen lingkungan adalah mengenai kebijakan
lingkungan. Kebijakan sangat menentukan arah manajemen lingkungan. Paradigma sustainable development yang menjadi
acuan baru pembangunan negara telah merubah orientasi kebijakan negara-negara
di dunia dari yang sifatnya reaktif terhadap sumber masalah/pencemar, menjadi
lebih proaktif dengan mengembangkan prinsip pencegahan.
Manajemen
lingkungan menurut orientasi kebijakannya secera umum dapat dibagi 2 yaitu : 1)
manajemen yang berorientasi pemenuhan (regulation
compliance) dan orientasi setelah pemenuhan (beyond compliance)
1.
- Berorientasi
pemenuhan (regulation compliance)
Kebijakan
ini merupakan awal pemikiran manajemen lingkungan di perusahaan. Berangkat dari
murni pemikiran akan akibat yang ditimbulkan aktifitas perusahaan jangan sampai
merugikan keberlangsungan bisnis perusahaan yaitu dengan menaati peraturan
pemerintah semaksimal mungkin untuk menghindari penalti – denda lingkungan,
klaim dari masyarakat sekitar, dll. Memakai metoda reaktif, ad-hoc, dan
pendekatan end-of-pipe (menanggulangi masalah polusi dan limbah pada
hasil akhirnya, seperti lewat penyaring udara, teknologi pengolah air limbah,
dll).
2.
- Berorientasi
setelah pemenuhan (beyond compliance).
Berangkat
dari pemikiran bahwa cara tradisional menangani isu lingkungan dalam cara
reaktif, adhoc, pendekatan end-of-pipe
terbukti tidak efisien. Seiring kompetisi yang semakin meningkat dalam pasar
global yang semakin berkembang, hukum lingkungan dan peraturan menerapkan
standar baru bagi sektor bisnis diseluruh bagian dunia. Terdapat pendapat bahwa
kinerja lingkungan yang baik tidak hanya masalah hukum dan moral. Mengurangi
polusi berarti juga peningkatan efisiensi dan menghabiskan lebih sedikit
sumberdaya. Kondisi kesehatan dan keselamatan yang baik sehingga tenaga kerja
dapat lebih produktif.
Sesuai
dengan perkembangan pemahaman manajemen lingkungan, orientasi setelah pemenuhan
juga bermacam tahapnya, namun umumnya bermuara pada tahap pencapaian kondisi
pengembangan berkelanjutan (sustainable development) sekaligus integrasi
bisnis lingkungan sesuai prinsip yang dinyatakan dalam KTT Bumi di Rio de
Janeiro, 1992.
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa proses globalisasi yang membawa agenda
pasar bebas juga menghadirkan isu lingkungan dalam kajiannya, terlebih setelah
dirumuskannya konsep pembangunan berkelanjutan. dengan demikian persaingan
dalam konteks perdagangan semakin kompetitif karena persoalan efisiensi sumber
daya, pengelolaan limbah dan penurunan kadar emisi dalam proses produksi
menjadi pertimbangan baru yang kemudian dikenal dengan istilah sertifikasi ecolabelling. Konsep manajemen
lingkungan semakin berkembang. Dari yang sekedar menaati peraturan dalam negeri
agar tak kena denda pencemaran atau protes masyarakat, menjadi berbasis
pencegahan, efisiensi, serta inovasi dalam proses produksi, agar memenuhi syarat
untuk berpartisipasi dalam pasar global dengan sertifikat ecolabelling.
Suatu
industri yang mampu menerapkan manajemen ecolabelling
dalam proses perdagangan bebas, tentu akan meningkatkan kredibilitas dan daya
saing industri tersebut dalam kacah perdagangan internasioanal. Bagi
negara-negara maju, dengan kemampuan finansial yang mapan dan ketersediaan
sumber daya manusia yang menguasai teknologi, maka hal ini bukanlah hal yang
sulit. Namun, kondisinya sangat berbeda bagi negara-negara berkembang.
Bagi
sebagian negara-negara berkembang, sertifikasi ecolabelling ini masih sulit untuk diterapkan utamanya untuk
industri dalam negeri. Hal ini dikarenakan untuk memenuhi sertifikasi ecolabelling tersebut, industri dalam
negeri memerlukan teknologi yang canggih, biaya yang mahal, serta sumber daya
manusia yang mapan. Tentunya bagi negara-negara berkembang, hal tersebut sulit
untuk dipenuhi. Keadaan inilah yang kemudian menjadi peluang bagi negara-negara
maju untuk berinvestasi modal dan mengeksploitasi sumber daya alam
negara-negara berkembang, melalui masuknya perusahaan multinasional yang telah memenuhi
syarat ecolabelling.
Penerapan
peraturan-peraturan internasional dalam bidang lingkungan disatu sisi baik
karena mensyaratkan proses produksi yang ramah lingkungan. Namun, dari sisi
lain, kita dapat melihat bagaimana kapitalisme gaya baru bekerja secara
terselubung dalam kebijakan-kebijakan tersebut. faktanya tentu dapat kita lihat
dari bagaimana perusahaan-perusahaan multinasioanal yang terus mengeksploitasi
kekayaan sumber daya alam negara-negara berkembang. Disamping itu pula keberadaan
WTO dan IMF yang seharusnya memberi bantuan finansial kepada negara-negara
berkembang, cenderung menjadi “penghisap” kekayaan negara-negara berkembang
melalui pemberlakuan peraturan-peraturan internasionalnya.
3. Hukum
Pasca
dirumuskannya konsep pembangunan berkelanjutan dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio
de janiero, maka semua aktifitas perekonomian, sosial budaya dan politik, tidak
boleh hanya mementingkan kebutuhan jangka pendek, melainkan harus juga
memeperhatikan kebutuhan generasi yang akan datang. Gagasan mengenai
pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah mulai dikenalkan sejak tahun 1962,
yakni oleh rachel carson dalam bukunga the
silent spring yang meneliti mengenai dampak pembangunan yang tidak
memperhatikan aspek lingkungan. Keberhasilan buku tersebut dalam menggugah
pandangan dunia dalam konsep pembangunan, membuat PBB menyelenggarakan United
Nation Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia pada 5 Juni
1972. Selanjutnya, pada tahun 1983, terbentuk pula komisi khusus untuk urusan
lingkungan hidup yang dikaitkan dengan kebijakan pembangunan di negara-negara
di dunia yang dikenal dengan World
Commision on Environment Development (WCED) yang pada tahun 1987
menerbitkan laporan yang berjudul Our Common
Future. Dalam laporan ini isu pembangunan berkelanjutan semakin menjadi
topik sentral dalam wacana solusi pembangunan di dunia.
Kondisi
lingkungan hidup dari waktu ke waktu cenderung mengarah ke penurunan kualitas
bahkan telah mencapai tahap kritis. Tentu kita dapat melihat dari pencemaran
yang terjadi di sungai, danau, laut, dan udara, sebagai dampak dari
meningkatnya aktifitas manusia dalam proses industri, domestik, ataupun
pertanian yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal lain yang menyebabkan
kerusakan lingkungan terus terjadi adalah pada tingkat kebijakan dan penegakan
hukum. Aspek pelestarian lingkungan masih sering diabaikan sehingga menimbulkan
adanya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Dengan terjadinya masalah
lingkungan maka memicu pula masalah konflik sosial dan krisis ekonomi. Untuk itu
diperlukan perangkat hukum yang mengatur dengan tegas mengenai tata
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Di
Indonesia perangkat hukum yang mengatur khusus mengenai lingkungan hidup telah
diatur dalam UU No. 4 tahun 1982 tentang ketentuaan-ketentuan pokok pengelolaan
lingkungan hidup. Dengan mulai diberlakukannya undang-undang tersebut,
diharapkan semua kebijakan yang akan dirumuskan sejalan dengan ketentuan
normatif yang terdapat dalam undang-undang. Namun, seiring dinamisme
perkembangan permasalahan lingkungan yang membutuhkan penanganan yang lebih
kompleks, maka aturan tersebut kemudian mengalami perkembangan menjadi UU No 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
Undang-Undang
ini merupakan salah satu alat yang kuat dalam melindungi lingkungan hidup. Dalam
penerapannya, tentunya harus ditunjang dengan peraturan perundang-undangan
sektoral. Hal ini mengingat pengelolaan lingkungan hidup memerlukan koordinasi
dan keterrpaduan secara sektoral. Misalnya dengan lahirnya pula undang-undang
No 26 tahun 2007, tentang penataan ruang. Dalam konteks penataan ruang, harus
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan bagian terpenting
dalam perencanaan.
Dalam
UU No 23 tahun 1997, diatur pula bahwa semua kegiatan yang berdampak pada
lingkungan harus melakukan kajian lingkungan sebelum melakukan pembangunan.
kajian lingkungan tersebut dikenal dengan AMDAL dan UKL-UPL. Namun dalam
pelaksanaannya seringkali kita menemukan pelaksanaannya tidak sesuai dengan
harapan. AMDAL dan UKL-UPL dilakukan pada tahap proyek atau ketika ada proyek
yang akan dijalankankan. Sementara hal yang sangat penting juga adalah pada
tahap kebijakan dan perencanaan misalnya dengan memperhatikan RTRW sesuai
dengan arahan UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Aspek perencanaan dan pengambilan
kebijakan oleh pemerintah, benar-benar harus diperhatikan karena sistem
penataan yang baik dapat mencegah dan memprediksi sejak dini kerusakan atau
resiko lingkungan yang akan terjadi. Sehingga dapat diketahui pembangunan apa
saja yang boleh dilakukan dan batas maksimum pembangunan di suatu daerah
berdasarkan prinsip daya dukung & daya tampung lingkungan.
Semakin dinamisnya permasalahan
lingkungan dan untuk semakin menguatkan penegakan hukum lingkungan di
Indonesia, maka dirumuskannlah UU 32 Tahun 2009, Tentang PPLH (perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup), yang meliputi beberapa aspek yaitu perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Pada
tahap paling awal yaitu perencanaan dilakukan inventarisasi lingkungan hidup,
penetapan wilayah ekoregion dan
penyusunan RPPLH (Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup) yang
wajib menjadi pertimba ngan dalam penyusunan Tata Ruang.
Yang menarik disimak adalah
penetapan wilayah Ekoregion. Karena
masalah lingkungan tidak mengenal batas administratif untuk itu penyelesaiannya
harus melalui pendekatan dengan mengelompokkan beberapa daerah/wilayah yang
memiliki hubungan dan kesamaan karakteristik bentang alam, iklim, flora,
sosial-budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat, dll. Penetapan ekoregion ini sangat penting sebagai
dasar untuk menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan juga sebagai
strategi pengelolaan lingkungan.
Sebagai contoh, permasalahan banjir
di Kota Jakarta, sebenarnya bukanlah hanya masalah di Jakarta saja, melainkan
berhubungan dengan kota-kota di sekitarnya misalnya Bogor yang dihubungkan
dengan DAS Ciliwung. Kini, karena intensitas curah hujan yang tinggi, aliran
airnya meluber dan membuat banjir di kota Jakarta. Jadi, sebagus apapun
pengelolaan dan penanganan banjir di Jakarta tidak akan efektif jika kota-kota
lain disekitar DAS sungai Ciliwung, tidak melakukan pengelolaan lingkungan
dengan baik misalnya dengan masih menebang hutan atau membuang sampah di sungai
sehingga terjadi pendangkalan. Untuk itu pendekatan ekoregion yang lintas administratif berdasarkan karakteristik, daya
dukung dan daya tampung DAS Ciliwung,
sangat penting dalam upaya pencegahan banjir di Jakarta.
Tata Ruang, dalam UU 32 tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), merupakan
instrumen pencegahan kerusakan lingkungan, bersama dengan KLHS, Baku Mutu
Lingkungan, Kriteria baku Kerusakan Lingkungan, Amdal, UKL-UPL, Perizinan
Lingkungan, Ekonomi Lingkungan, PUU lingkungan, Anggaran Lingkungan, Analisis
Resiko Lingkungan, Audit Lingkungan, dan instrumen lain sesuai kebutuhan.
Dengan demikian, agar rencana tata ruang ataupun rencana pembangunan jangka
menengah dan panjang yang direncanakan pemerintah benar-benar telah
mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, maka
harus melaksanakan Kajian KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis). Kajian KLHS
menurut UU 32 tahun 2009 tentang PPLH, mencakup daya dukung dan daya tampung
lingkungan, prakiraan dampak dan resiko lingkungan, kinerja jasa ekosistem,
efisiensi pemanfaatan SDA, tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim, dan
ketahanan potensi keragaman hayati.
Kajian KLHS pada dasarnya serupa
dengan Kajian Amdal, hanya saja KLHS kajainnya bersifat lebih menyeluruh dan
pada tahap awal yaitu pada tataran Kebijakan, Rencana, Program. Sedangkan
AMDAL, kajiannnya pada tataran proyek yang lebih mengkhusus pada analis dampak
lingkungan dari adanya proyek/kegiatan yang akan dilaksanakan. Dengan semakin
rincinya peraturan dalam hukum lingkungan di Indonesia, diharapkan sejalan
dengan penegakan lingkungan. Hal ini tentunya tidak mudah mengingat
pertimbangan keuntungan ekonomi terkadang masih menjadi pertimbangna utama dalam hal pembangunan.
4. Politik
Sejak
era modernisme, paradigma yang dominan yang berkembang dalam tata kelola sumber
daya alam adalah developmentalisme dan
neoliberalisme yang sangat ekonomi
sentris. Paradigma ini menggunakan konsep pembangunan sebagai solusi mengatasi
krisis negara-negara berkembang. Dalam pandangan
tersebut, sumber daya alam diperlakukan sebagai objek konsumtif dalam mencapai
rasio pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Hal itulah yang kemudian memunculkan
adanya perilaku eksplorasi dan eksploitatif yang berlebihan dalam mengeruk
kekayaan bumi untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan ekonomi.
Implikasi yang timbul kemudian adalah rusaknya tatanan ekosistem lingkungan
alam yang diikuti dengan hadirnya bencana alam sebagai bentuk kemarahan alam
kepada manusia yang rakus.
Munculnya
kesadaran akan rentannya bencana alam yang diakibatkan perilaku rakus dalam
manajemen sumber daya alam menciptakan pergeseran paradigma dalam tata kelola
sumber daya dari semula economic development menuju sustainable
development pada pertengahan tahun 1990-an. Alam mulai mendapat pengakuan
politis dalam studi politik maupun studi ekonomi bahwa sudah selayaknya alam
dan manusia merupakan entitas organisme yang seharusnya hidup bersama di bumi
ini (Kapoor, 2001, dalam wasisto). Adapun wujud nyata pengakuan politis tersebut
bisa dilihat dalam revitalisasi kearifan lokal sebagai model manajemen alternatif
dalam tata kelola sumber daya alam. Dalam perspektif ekologi politik, kearifan
lokal dipandang sebagai praksis dalam menyeimbangkan harmoni manusia dengan
alam kaitannya bagaimana manusia memperlakukan alam dan alam menyediakan
kebutuhan material ekonomi bagi manusia.
Istilah
“pembangunan” kaitannya dengan manajemen pengelolaan sumber daya alam merupakan
relasi yang sangat krusial dan ironis. Dikatakan demikian, karena sumber daya
alam ini diperlakukan layaknya mesin ekonomi yang senantiasa dipaksa untuk
menghasilkan kemanfaatan manusia.
Kajian
Ekologi-Politik diintrodusir dalam gagasan Ulrich Beck (1992) tentang
Masyarakat Resiko (Risk Society). Dalam pandangan modernisme, masyarakat
resiko sendiri hadir dalam bentuk lahirnya kesadaran manusia mengenai bencana
yang akan terjadi di masa depan. Manusia modern berpikir bahwa hadirnya bencana
di masa depan sendiri dapat harus diminimalisir dan direduksi resiko destruktifnya
terhadap kehidupan modern manusia. Hadirnya bencana adalah sesuatu yang fatalis
dalam pola linearitas perkembangan kehidupan manusia sebagaimana paradigma
modernisme karena bencana akan menghancurkan capaian pembangunan manusia selama
ini dalam sekejap.
Konsepsi
masyarakat resiko ini menganjurkan manusia untuk bersahabat dengan lingkungan
alam supaya bencana yang diakibatkan kerusakan alam lebih terkelola dampak
resikonya. Oleh karena itulah, manusia modern masa kini sebisa mungkin harus
mengontrol diri untuk tidak secara terus-menerus tergantung pada eksploitasi
sumber daya alam dengan mengembangan model alternatif lainnya. Maka dalam
tataran ini, lingkungan mulai mendapatkan tempat sebagai subjek partisipan
dalam pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Modernitas juga mulai
merangkul bentuk norma, nilai, dan pengetahuan dalam kearifan lokal masyarakat
untuk merumuskan kembali manajemen sumber daya alam.
Perspektif
ekologi-politik hadir sebagai paradigma alternatif dalam merumuskan manajemen
pengelolaan sumber daya yang afirmatif dengan kondisi lingkungan alam. Kajian
keilmuan ekologi-politik ini merupakan bentuk perkembangan dari kompleksitas
persoalan yang dihadapi oleh sistem ekologi planet bumi, dimana terjadi relasi
rumit antara manusia dengan alam yang saling menegasikan. Secara definitif,
perspektif ekologi-politik sendiri dapat diartikan kajian politik yang memahami
relasi manusia dengan perubahan lingkungan sebagai hasil dari proses-proses
politik (Dharmawan, 2007).
Oleh
karena itulah, kajian ekologi politik ini selalu mengkritisi dan mempertanyakan
konsep ekonomi-politik dalam developmentalisme
yang berandil besar dalam perubahan lingkungan. Baik alam dan manusia selama
ini berada relasi oposisi biner dimana manusia yang dianggap sebagai pengatur
sumber daya alam di planet ini selalu bertindak semena-mena terhadap lingkungan
sehingga kemudian menjadi rusak. Perspektif ekologi-politik menolak aliran antroposentrisme yang berkembang dalam
wacana developmentalisme. Alam hanya
diibaratkan sebagai entitas nonliving yang hanya menjadi objek kuasa
bagi manusia. Dalam hal ini, perspektif ekologi politik sendiri mendorong
adanya ekosentrisme. Paradigma ekosentrisme merupakan aliran dalam etika lingkungan
yang memposisikan antara manusia dengan alam dalam relasi yang timbal balik dan
saling membutuhkan sebagai bagian dari komunitas biosfer.
`Dalam
penerapan manajemen pengelolaan sumber daya alam tradisional yang menjadi
wacana dominan di berbagai negara telah menghancurkan sendisendi ekologis alam
tersebut. Adanya penetrasi produk rasionalitas dari Barat seperti halnya teori
pengetahuan tentang peningkatan pertanian sejatinya telah merusak tatanan
pengetahuan pertanian masyarakat lokal. Oleh karena itulah, Shiva mendorong
masyarakat (the commons) juga diberi peran dalam pengelolaan sumber daya
alam. Menurut Shiva, pengelolaan sumber daya alam berbasiskan pada masyarakat
lebih adil dan merata baik manusia maupun alam karena masyarakat yang tahu
persis kondisi situasional mengenai sumber daya yang terdapat di tempatnya.
Shiva
mengkritik selama ini aturan tata kelola sumber daya tidaklah jelas dan hanya
berlangsung secara top-down sehingga masyarakat hanya menerima
pelaksanaannya saja, tanpa tidak bisa memprotes aturan tersebut yang pada
akhirnya merugikan masyarakat juga. Oleh karena itulah, manajemen pengelolaan
sumber daya alam juga harus memberi tindakan afirmatif bagi masyarakat untuk
tampil sebagai aktor penting selain halnya negara dan masyarkat. Menurut Shiva,
alam telah diperlakukan bak sapi perah yang dipaksa untuk terus berkesinambungan
memenuhi kebutuhan manusia tanpa ada timbal balik manusia untuk memperbaharui
kondisi alam tersebut. Dalam hal ini, Shiva menyerukan adanya keadilan bagi
lingkungan (environmental justice). Alam perlu mendapat keadilan dalam
bentuk legalitas hukum maupun produk politik yang perlu diperjuangkan. Adapun
dimensi keadilan bagi lingkungan (environmental justice) ini meliputi
berbagai aspek yakni pelibatan pengetahuan lokal, advokasi terhadap aksi perusakan
lingkungan, maupun mendorong terciptanya panel internasional pelestarian
lingkungan.
langkah
pertama yang
perlu diwujudkan dalam menyusun ulang manajemen pengelolaaan sumber daya alam
agar lebih ramah lingkungan adalah dengan menanamkan spirit green tought. Spirit
ini mengajak semua elemen masyarakat untuk kembali memikirkan makna alam
sebagai bentuk makhluk hidup. Selama ini, yang berkembang dalam pemahaman common
sense dalam struktur ontologis pengetahuan publik adalah lingkungan hijau
merupakan entitas yang tak hidup (non-living) karena tidak bisa
menggerakkan kekuatan indrawi seperti halnya manusia dan diciptakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia. Adanya pemahaman tersebut muncul karena
adanya aliran antroposentrisme yang hinnga kini masih menjadi pengetahuan
dominan ditambah lagi dengan doktrin ekonomipoliti yang menilai manusia sebagai
pengatur alam.
Dalam
hal ini, green tought berusaha untuk mendekonstruksi ulang mengenai
dikotomi berharga (valuable) dan tidak berharga (non valuable) dalam
menilai dan memperlakukan sumber daya alam. Sumber daya alam yang dianggap
bernilai seperti halnya tambang dan mineral akan diperlakukan secara istimewa
karena mampu menghasilkan kemakmuran bagi manusia sementara bagi yang tidak
berharga hanya akan dibiarkan oleh manusia. Sumber daya alam tidaklah
sepantasnya diperlakukan seperti itu karena semua sumber daya alam pastilah
bernilai semua bagi kemanfaatan manusia dan tidak sepantasnya pula manusia
melakukan pembiaran atas kondisi lingkungan sekitar karena persepsi kurang
berharga.
Langkah
kedua yakni
meletakkan esensi environmentalism dalam perumusan kebijakan publik
terutama yang menyangkut dengan pembangunan. Environmentalism dimaknai
sebagai sikap politik yang mengedepankan isu lingkungan sebagai bentuk agenda
yang diperjuangkan dalam meraih kekuasaan. Dalam hal ini, sikap Environmentalism
bisa dilihat dari pembentukan partai hijau (green party) yang
terdapat di kawasan negara Eropa dimana partai tersebut memprioritaskan atas
permasalahan lingkungan yang rusak akibat pola industrialisasi yang
menghasilkan zat-zat yang berbahaya bagi ekosistem alam. Selama ini paradigma
utama yang berkembang dalam perumusan kebijakan publik pembangunan selalu
menekankan pada aspek orientasi ekonomi (economic oriented).
peradaban
manusia yang dibangun selama beradab-abad silam. Paradigma ekologi-politik menawarkan adanya manajemen pengelolaan sumber daya
alam yang berbasiskan adanya sinergisitas antar berbagai aktor baik negara,
masyarakat sipil, maupun institusi media dan universitas. Adanya pelibatan kalangan
media maupun universitas sebagai institusi yang memberikan input pengetahuan
ekologis bagi perumusan kebijakan pro lingkungan (McPherson, 2003:15). Harus
diakui bahwa selama ini, pelibatan kebijakan mengenai tata kelola sumber daya
alam maupun lingkungan berlangsung secara negara sentris semata, padahal
seharusnya aktor lain harus diikutsertakan baik secara lintas sektoral maupun
lintas kultural (Tompkins,2005:6).
Di
Indonesia sendiri, upaya merealisasikan manajemen pengelolaan sumber daya alam
berbasis ekologi-politik sendiri
menemui berbagai tantangan tersendiri baik dari unsur administrasi
pemerintahan, legal formal, maupun politik.
Pertama
pemerintahan,
dalam proses penyusunan kebijakan selama ini yang terdapat dalam agenda seting,
lingkungan selalu dinomor-duakan dan lebih memprioritaskan mengenai aspek
kemanfaatan lingkungan. Adapun dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) hanya dianggap sebagai portofolio arsip kebijakan saja tanpa ada
tindak lanjut dari pemerintah. Selain itu pula dalam aspek legalitas hukum
dalam perlindungan lingkungan maupun sumber daya alam di Indonesia dalam bentuk
hukum lingkungan bisa dikatakan amatlah minim
Kedua
legal formal,
minimnya penerapan hukum lingkungan sebagai dasar hukum kebijakan lingkungan.
Hukum Lingkungan sendiri merupakan pendekatan hukum yang berorientasi pada
perlindungan terhadap lingkungan hidup. Lingkungan hidup sendiri dalam
perspektif hukum kemudian diterjemahkan sebagai kompleksita korelasi
ketergantungan manusia dan alam secara timbal balik. Maka hukum lingkungan
sendiri kemudian mengalami berbagai kompleksitas hukum mulai dari pidana,
perdata, maupun administrsi yang intinya membela lingkungan hidup sebagai mitra
hidup manusia (Abigail Clatchy, 2006). Dalam konteks peraturan daerah di
Indonesia sendiri sangatlah jarang menggunakan kerangka legal formal hukum
lingkungan ini dalam kaitannya dengan pengaturan sumber daya alam dikarenakan
jeratan hukumnya yang begitu kompleks sehingga dikhawatirkan tidak memenuhi
unsur HAM manusia. Pandangan itu sebenarnya salah, karena selama ini sumber daya
alam sendiri hanya menjadi objek manusia sehingga belum mempunyai payung
hukumnya, sehingga keadilan dalam konteks hukum di Indonesia hanya berlaku bagi
manusia bukan alam. Selain itu pula, alasan lain kenapa hukum lingkungan ini
ditiadakan karena masih banyaknya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi dari
hasil eksploitasi sumber daya alam sehingga keberadaan hukum lingkungan belum
begitu penting sebagai aksi advokasi hukum.
Ketiga
konteks politik,
di Indonesia sendiri belum ada partai yang secara utuh memperjuangkan
kelestarian lingkungan sebagai agenda politiknya dalam wujud terbentuknya
partai hijau (green party). Minimnya perhatian politis terhadap kelestarian
lingkungan tentu akan sedikit menghambat terealisasinya pola manajemen
pengelolaan sumber daya alam yang lebih berkeadilan bagi alam. Selama ini,
partai politik di Indonesia lebih banyak dikuasai agenda pragmatis dibandingkan
idealis sebagai tolok ukur kejuangan partai politik. Hal itulah yang kemudian
menyebabkan partai politik hanya memikirkan dimensi kekuasaannya saja tanpa ada
kepentingan politis yang dibawa. Oleh karena itulah, konteks ideologi dalam
wajah partai politik di Indonesia boleh dibilang tidak ada sama sekali. Adanya realita
politis tersebut menyebabkan ekologi-politik kurang diterima sebagai basis ideologi
partai politik di Indonesia.
Daftar Pustaka
Adji Samekto,Adjie, Kapitalisme,
“Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan”, pustaka belajar, yogyakarta, 2005.
Asshiddiqie, Jimly, Green Constitution nuansa hijau UUD 1945, Rajawali Pers, Jakarta,
2010
Budiati, Lilin, Good Governance dalam pengelolaan lingkungan hidup, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2012.
Baiquni & Susilawardani, Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan,
refleksi kritis pembangunan indonesia, Transmedia Global Wacana, 2002.
Hadi, Sudharto P. Dimensi Lingkungan perencanaan pembangunan, Gadjah mada University,
Yogyakarta, 2005.
Harjanto, Tri Nur. Implementasi Sistem manajemen Lingkungan (1SO 14001) dalam manajemen
operasi instalasi nuklir, Pusat pengembangan teknologi bahan bakar nuklir
dan daur ulang (P2TBDU) ,Batan, 2003
Hidayat, Arief &
Samekto,Adjie, “Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan”
di Era Otonomi Daerah, BP Undip, Semarang, 2007.
Jati, wasisto. R, Manajemen tata kelola sumber daya alam berbasis paradigma ekologi
politik.
Kartono, Penegakan hukum lingkungan administratif dalam undang-undang PPLH,
fak Hukum Unsoed, Purwokerto
Keraf, Sony, Etika Lingkungan Hidup, kompas, jakarta, 2010.
Keraf, Sony, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Kanisius,Yogyakarta,
2010.
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia sebuah pengantar, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006.
The World Commisiion on Environment And
Development (WCED), “Hari Depan Kita
Bersama” , PT.Gramedia, Jakarta, 1988.
Komentar
Posting Komentar