Gagalnya Pembangunan Berkelanjutan



Dhany.R 12-Sept-2013

Gagalnya Pembangunan Berkelanjutan
Pada tanggal 20-22 Juni Tahun 2012, KTT Bumi Rio+20 kembali di gelar di Rio de janiero Brasil. KTT Bumi ini kembali membahas mengenai persoalan krisis lingkungan yang merupakan masalah global. Pelaksanaan KTT ini sekaligus mengevaluasi hasik kerja selam 20 tahun lalu sejak di laksanakannya KTT Bumi tahun 1992 yang juga digelar di tempat yang sama Rio de Janiero, Brasil.
KTT BUMI di Rio yang ke dua ini mengusung tema “Future We Want” yang memuat masa depan yang diinginkan manusia di planet bumi dan bagaimana institusinya bekerja mewujudkan hal tersebut. Melalui sambutan dalam pembukaan KTT Tersebut, Sekertaris Jendral PBB, mengingatkan akan lambannya progres dalam mencapai kesepakatan dalam konferensi yang hanya terjadi sekali dalam satu generasi. Ban, membuka sesi dengan mengankat kembali KTT Bumi yang bersejarah di Rio, 20 tahun lalu. KTT tersebut melahirkan berbagai kemajuan penting teoritis diantaranya konvensi PBB tentang perubahan iklim, keanekaragaman hayati, serta cetak biru bagi pembangunan global yaitu Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). “sejak itu, kemajuan telah terlalu lambat – kita tidak pergi cukup jauh di jalan,”. Katanya.

 Kenapa KTT Bumi, Rio 1992 Gagal...??
Sejak tahun 1980 agenda politik negara-negara maju dan berkembang mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik tersebut yang akhirnya terwujud melalui KTT Bumi di Rio de Janiero. Sebanyak 172 negara yang berpartisipasi mengirimkan 108 Kepala negara dan disertai 2.400 perwakilan dari organisasi non pemerintah dan juga 17.000 orang lainnya.
Cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaigtu aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup harus dipandang terkait satu sama lain dan tak boleh dipisahkan. Yang ingin dicapai adalah menggeser titik berat pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi menjadi juga mencakup pembangunan sosial budaya dan lingkungan.
Namun apa yang terjadi...krisis ekologi bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pemansan global, kerusakan lapisan ozon, mencairnya es di kutub, kenaikan permukaan air laut, pencemaran industri adalah sekian banyak contoh kasus yang semakin mencuat dalam 20 tahun lebih sejak ditetapkannya paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai pedoman pembangunan seluruh bangsa di dunia.
Banyak ahli lingkungan hidup mulai menyadari kegagalan KTT Rio dari sisi para pejuang lingkungan hidup. Bagi mereka, KTT Rio tahun 1992 adalah kegagalan dalam negosiasi dari pihak pembela lingkungan hidup. Dengan diterimanya paradigma tersebut, yang menang adalah para ekonom dan pembela ideologi developmentalism. Sebagaimana dikatakan Wolfgang Sach, semua delegasi berkumpul untuk mengakui adanya krisis lingkungan hidup, tetapi justru berakhir dengan menegaskan sakralnya pembangunan.
Ada beberapa kelemahan dalam paradigma pembanguan berkelanjutan yang dirumuskan pada KTT Bumi pada tahun 1992 di Rio de janiero, Brasil, diantara kegagalan tersebut adalah:
pertama : tidak adanya sebuah titik kurun waktu yang jelas dan terukur yang menjadi sasaran pembangunan berkelanjutan. Itu hanya merupakan  komitmen yang sulit untuk diukur kapan tercapainya. Sehingga mudah pula diabaikan.
Kedua : asumsi paradigma pembangunan berkelanjutan masih didasarkan pada cara pandang antroposentris yang didominasi pemikiran modernis, yang masih menempatkan paham klasik dikotomi manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek, begitupun dengan dikotomi antara pembangunan ekonomi sebagai yang utama dan pembangunan sosial budaya dan lingkungan sebagai pendukung.
Ketiga : asumsi yang ada dibalik paradigma ini adalah manusia bisa menentukan daya dukung ekosistem lokal dan regional. Seakan manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui batas alam dan manusia mampu mengeksploitasi SDA itu dalam batas wajar sesuai daya dukung alam tadi. Padahal manusia lupa bahwa alam memiliki kompleksitas yang rumit jauh melampaui ilmu pengetahuan manusia.
Keempat : paradigma pembanguan berkelanjutan bertumpu pada ideologi materealisme yang tak diuji secara kritis tetapi diterima begitu saja secara benar.
Sebagai sebuah ideologi, developmentalisme telah menjebak banyak negara didunia dengan membuat pembedaan, yang mula pertama dilontarkan oleh presiden Amerika saat itu Harry Truman, yaitu negara-negara maju di utara dan negara berkembang di selatan. Dengan pembedaan ini secara tidak sadar, telah dibakukan jalan menuju kemajuan, dan yang harus dilewati oleh semua negara-negara di dunia, yaitu jalan yang telah ditempuh oleh negara-negara industri di utara. Bahkan tingkat kemajuan ekonomi diidentikan sebagai kemajuan peradaban yang membuat semua negara ingin meniru jalan yang sama, yah kalau tidak mau dianggap sebagai negara terbelakang dan tidak beradab.
Dampaknya adalah masyarakat di negara-negara Selatan berpacu menyusuri jalan yang sama. Semua aspek kehidupan ditempatkan dibawah imperatif ekonomi. Segala institusi sosial, termasuk pendidikan dan kebudayaan, dirancang utk kepentingan ekonomi.  Hasil yang diperoleh di negara-negara berkembang sangat memprihatinkan. Yang tercipta adalah jurang yang menganga antara segelintir orang yang kaya dengan mayoritas masyarakat yang miskin, kehancuran lingkungan hidup yang memprihatinkan, kualitas kehidupan yang tidak manusiawi, dan tergusurnya kebudayaan lokal yang tidak bisa terakomodasi dalam pacuan ekonomi.
Yang lebih meprihatinkan lagi, kekayaan alam di negara berkembang dieksploitasi secara besar-besaran dalam sebuah tujuan yang katanya mulia yaitu untuk mengentaskan kemiskinan, memeratakan pembangunan dan mengejar ketertinggalannya dari industri maju. Hasilnya justru kekayaan alam tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat negara maju yang semakin tak terpuaskan. Sementara yang kita dapatkan adalah kerusakan lingkungan yang tidak sebanding dengan kemajuan ekonomi.
Dengan kritiknya ini, Worster mengajak semua negara untuk meninggalkan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan menerapkan kebijakan yang lebih radikal, yaitu melakukan perlindungan spesies, subspesies, keanekaragaman, komunitas,dan ekosistem.  Ia mengakui bahwa kita tidak bisa menghentikan kepunahan spesies manapun namun yang kita lakukan adalah akan menambah kepunahan dan kematian dengan tindakan kita sendiri.
Katanya, Green Economy Sebagai solusi..??
KTT Bumi Rio+20 pada Juni 2012 merupakan kali ketiga rantai pertemuan yang mengusung isu pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan pada tingkat global. Jika pada forum sebelumnya strategi pembangunan berkelanjutan hanya mengaitkan dengan masalah ekonomi, maka pada KTT selanjutnya pembangunan berlkelanjutan diperluas dengan mengaitka ke isu sosial dan lingkungan. Hasilnya kemudian lahir dokumen bertajuk “Future We Want” yang mengintrodusir Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai sebuah target pembangunan yang ramah lingkungan.
Satu poin penting yang diusung dalam Sustainable Development Goals (SDGs) adalah gagasan mengenai Ekonomi Hijau (Green Economy) sebagai strategi baru pembengunan berwawasan lingkungan. Gagasan ini bertolak dari kondisi pembangunan yang menyumbang dampak eksternalitas dan kerusakan lingkungan yang besar. Cukup banyak negara-nagara di dunia utamanya negara-negara berkembang merasakan kerusakanekosistem oleh pembangunan ekonomi yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi namun sekaligus menghancurkan ekologi sebagai sebuah konsekuensi yang tak bisa dihindari.
Pertanyaan kemudian adalah dapatkan konsep Green Economy ini menyelesaikan masalaha pembangunan..?? sebagai gambaran di tanah air kita, sekitar 200 perusahaan tambang terbesar (yang dapat beroperasi 20-30 tahun) adalah milik asing yang bercokol di indonesia. Bisa dibayangkan berapa banyak Sumber Daya Alam yang dieksploitasi tiap tahunnya. Belum lagi kerusakan yang ditimbulkannya seperti PT. Freeport, PT. Newmont, PT. Lapindo Brantas, dan masih sangat banyak lagi. Dapatkah kehadiran ekonomi hijau mengubah perusahaan ini menjadi ramah lingkungan...?? ataukah gerakan ekonomi hijau ini justru adalah sebuah langkah politis dan cerdik oleh negara-negara maju untuk melakukan bisnis teknologi dibidang konservasi yang akhirnya kembali memberatkan dan menjadi kendala negara-negara berkembang dalam membangun perekonomiannya yang mandiri.

Green Economy, Strategi baru Kapitalisme
 Kunci penerapan Green Econmy terletak pada upaya manusia dalam mengelola lingkungannya agar tetap berkelanjutan dan mampu memenuhi kebutuhan di masa mendatang. Namun dalam prakteknya, konsep ini akan sangat mudah dimanfaatkan oleh negara-negara maju yang menawarkan aktivitas pelestarian alam di negara-negara berkembang. Dalam logika pemantik, keterbatasan ini akan berusaha dipertahankan negara-nagara maju agar dapat dengan gagasan ekonomi hijau. Green economi memberi peluang dan kemudahan bagi negara-negara maju untuk melakukan aktifitas ekonomi yang dinamis dengan kemasan ramah lingkungan. Di lain hal, negara sedang berkembang seperti Indonesia pastinya akan membuka diri terhadap masuknya investasi asing dengan berbagai konsesi kebijakan. Ibarat musuh dalam selimut, ekonomi hijau menjadi strategi baru Kapitalisme barat yang dilegalisasi pemerintah kita untuk mengikis aset alam dan merusak ekosistem di negara berkembang.  
Dalam konteks yang lain, ekonomi hijau juga dapat berupa inovasi bagi peningkatan produksi perekonomian. Di sektor pertanian misalnya,  petani diarahkan untuk menggunakan bibit unggul dan peralatan canggih yang diperoleh dari impor. Artinya, peningkatan produksi pangan tidak lagi bersifat contextual locally, melainkan lebih mengandalkan rekayasa genetik dan teknologi dari luar. Sebagai salah satu bentuk pengembangan ekonomi hijau, hal ini sebenarnya sudah terjadi sejak dulu di Indonesia melalui program "revolusi hijau". Implikasinya kini sudah menggantikan bibit lokal, pupuk organik/alami, cangkul, pacul, dan kerbau sebagai kearifan bertani lokal. Disini sekali lagi menguntungkan asing, sebab ketergantungan akan tercipta dan kearifan lokal perlahan ditinggalkan bahkan mungkin terlupakan.
Untuk itu, gagasan ekonomi hijau sangat beralasan untuk diwaspadai. Karena sangat mungkin implementasinya tidak lain adalah ajang kapitalisme baru yang kini sudah dengan kemasan semakin peduli lingkungan. Secara substansi, kapitalisme akan selalu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Sehingga ekonomi hijau yang digagas pada KTT Rio+20 akan mudah dimanfaatkan bagi negara maju sebagai legitimasi aktivitasnya untuk tetap mengeruk laba dari sumber daya alam negara berkembang. Apalagi masih belum ada defenisi yang jelas dan pasti mengenai green economy yang dapat diterima oleh komunitas dunia (CSO/aktivis pemerhati lingkungan, pengamat, maupun pemerintah/negara). Rumusan hasil KTT masih kabur dan belum memiliki instrumen yang tegas untuk melindungi bumi. Dengan belum adanya kejelasan, berbagai kepentingan akan gampang bermain di dalamnya.
Negara Berkembang adalah “Tong Sampah polusi”
Bustanul Arifin dalam sebuah kolom media dengan tegas membahasakan bahwa ekonomi hijau dapat menjadi pasar jual-beli jasa lingkungan hidup, yang pastinya akan lebih banyak menguntungkan negara-negara maju yang tidak lain juga adalah sumber datangnya perusahaan-perusahaan yang berkontribusi besar pada kerusakan lingkungan. Contohnya REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), disatu sisi dapat dianggap sebagai bagian green economy karena investasinya yang besar dalam upaya pengurangan emisi, degradasi lingkungan dan deforestasi, tetapi di sisi lain, aktivitas ini adalah kontribusi dari salah satu negara penyalur pencemaran/kerusakan lingkungan terbesar di dunia, yang pastinya juga akan mendapat untung yang lebih besar ketika program ini dilangsungkan.
Masuknya REDD ke Indonesia adalah hasil perjuangan konvensi perubahan iklim (climate change) di Bali tahun 2007. Tetapi diterimanya REDD tidak semata-mata karena alasan lingkungan. Besarnya kompensasi menjadi salah satu faktor pendorong kehadirannya. Makanya, REDD juga mendapat penolakan dari berbagai CSO lokal dan kelompok masyarakat di daerah otonom. Tetapi pemerintah di negara kita ini, cukup sadar akan ketertinggalannnya dalam hal teknologi, rendahnya kemampuan dalam hal pendanaan lingkungan, serta miskinnya strategi dalam pemanfaatan/pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. Sehingga keputusan yang rasional adalah tetap menerima program tersebut. Di sini nampak jelas, kesenjangan pengetahuan dan bukti ketertinggalan kita  yang kemudian menjadi celah dan dimanfaatkan oleh negara maju untuk menciptakan ketergantungan sebagai bagian dari sistem kerja kapitalisme baru.

Awalnya kehadiran REDD dianggap sebagai dewa penolong Lingkungan, dengan memberi kompensasi untuk perlindungan hutan dari dampak emisi karbon di negara-negara maju. Namun yang terjadi adalah REDD menjadi “mesin penghancur yang berbulu domba” yang dikendalikan oleh negara-negara maju untuk menjalankan ideologi kapitalismenya. Negara-negara berkembang diiming-imingi dengan dana kompensasi jika mampu menjaga kelestarian hutannya namun tetap melegalkan aktivitas emisi karbon di negara-negara maju. REDD juga tidak pernah menyertakan adanya pembatasan transaksi pembuangan gas emisi karbon ke belantara hutan indonesia
Jadi, secara logika , aktivitas REDD ini sama halnya dengan memelihara hutan agar dapat menampung gas buang (CO2) yang diproduksi negara-negara maju. Negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) yang masih memilki Hutan yang Luas, ibaratnya “tempat sampah” yang menerima semua sampah polusi negara-negara maju. Inilah kiranya motif lain yang hendak dicapai yakni tetap berjalannya perdagangan karbon.
Paradigma Baru : Keberlanjutan Ekologi
Arne naess kemudian menawarkan apa yang disebutnya sebagai “keberlanjutan ekologi yang luas” sebagai pengganti dari pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan ekologi ini akan dicapai kalau benar-benar dilakukan perubahan mendasar dalam kebijakan politik ekonomi menyangkut pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat konsumtif.
Yang dituntut dari paradigma keberlanjutan ekologi adalah sebuah perubahan mendasar dalam kebijakan nasional, yang memberi prioritas pada kelestarian bentuk bentuk kehidupan diplanet ini, demi mencapai keberlanjutan ekologi. Jadi yang menjadi sasaran utama adalah bukan pembangunan itu sendiri melainkan mempertahankan dan melestarikan ekologi dan seluruh kekayaan bentuk-bentuk kehidupan didalamnya. Ini harus menjadi komitman politik pembangunan nasional.
Yang dibutuhkan adalah sebuah strategi kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi ekologis di masing-masing negara. Strategi ini mempunyai sasaran untuk membangun masyarakat lokal untuk mempunyai sumber penghidupan ekonomi yang ramah terhadap lingkungan. Jadi yang hendak dicapai adalah bagaimana masyarakat setempat dapat mengembangkan kehidupan ekonominya utk mengatasi masalah kemiskinan yang dihadapinya namun mereka tetap melestarikan dan menjamin ekosistem disekitarnya sebagai sebuah simbiosis yang saling mendukung. Hanya dengan itu masyarakat dapat diajak untuk mengembangkan pola-pola kegiatan ekonomi yang berbasis ekologi dan sekaligus menjaga lingkungan hidup demi memberikan penghidupan yang layak, bukan saja dari segi ekonomi tetapi juga sosial dan budaya.
Gaya hidup yang dibangun bukan lagi bersandar pada  produksi dan konsumsi yang berlebihan, melainkan pada apa yang disebut Arne naess sebagai “simple in means, but rich in  ends”, bukan “having more” tapi “being more”.
Konsep ini menarik karena menekankan pada perubahan paradigma sebagai persoalan mendasar danjuga pula konsep kedaulatan terhadap sumber daya alam, dimana pembangunan ekologi disesuaikan dengan kondisi ekologis setiap negara. pemerintah tentunya memegang peran utama sebagai aktor utama dalam perlindungan dan pelestarian lingkungannya dengaan memberdayakan masyarakat lokal yang memiliki sistem sosial dan kearifan lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga membentuk kemandirian bangsa.
Kita juga perlu meyakini bahwa kedaulatan dan kemandirian dapat menjadi basis yang kuat untuk mengawal pembangunan yang ramah lingkungan. Tentunya perlu ditunjang oleh kesadaran bahwa lingkungan memiliki makna yang besar bagi kelangsungan hidup bangsa. Jika ini dapat terinternalisasi pada semua elemen dalam negara, maka apapun konsepnya (termasuk green economy) kelestarian lingkungan tetap akan terjaga. Bukan atas andil asing tetapi oleh komitmen kita bersama melalui kerja yang sadar dan partisipatif.


ress.com/2012/06/21/ktt-bumi-rio20-dalam-suasana-penuh-kecemasan-3/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Pajak dan Pencemaran Lingkungan

Teknologi Reverse Osmosis untuk pengolahan air bersih di Pesisir dan pulau-pulau Kecil