Gerakan Ekofeminisme dan Kritiknya terhadap Kapitalisme



Dhany.R 14 Sept 2013

Gerakan Ekofeminisme dan Kritiknya terhadap Kapitalisme
Tentunya sejak kita duduk dibangku sekolah dasar, kita selalu mendengar istilah Ibu Pertiwi yang berarti bumi tempat kita hidup. Pertanyaannya adalah mengapa Bumi diasosiasikan dengan kata Ibu pertiwi...?? apakah Bumi atau alam secara keseluruhan mempunyai hubungan yang filosofis dan kultural dengan Ibu yang bermakna perempuan. Tentunya pemaknaan ini bukan pada persoalan jenis kelamin apakah “ibu pertiwi” ataukah “bapak pertiwi” melainkan jika dicermati, merupakan sebuah logika struktural yang dibangun oleh laki-laki untuk mendikotomikan perbedaan sifat dan peran antara laki-laki dan perempuan.
kasih sayang, kepedulian, keikhlasan, merawat, menjaga, membesarkan tanpa pamrih selalu dihubungkan dengan perempuan seolah hanya perempuan yang memiliki sifat tersebut sementara laki-laki menganggap dirinya lebih tinggi dengan kekuasaan dan kekuatan fisiknya bisa menguasai alam termasuk perempuan. Logika dominasi ini sudah terbangun sejak dulu, berdasarkan prinsip maskulinitas, patriarkis dan hierarkis yang hingga kini secara sadar atau tidak masih dianut masyarakat modern.
Untuk itulah pandangan ekofeminisme lahir yang merupakan sebuah bentuk telaah lingkungan yang mendobrak cara pandang dominan yang berlaku dalam masyarakat modern yaitu antroposentrisme bahkan lebih khusus lagi yaitu Androsentrisme yang merupakan paham dan etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Bahwa hanya laki-laki berhak menguasai alam termasuk perempuan dan berhak untuk menentukan pilihan dan mengelola kehidupannya. Secara tradisional paham ini masih diterapkan pada masyarakat kita yang patriarkal, contohnya dalam keluarga, anak laki-laki diberikan kekebasan dan hak yang besar untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan sementara perempuan dibatasi pada jenjang tertentu saja kemudiaan dipaksa mengurusi persoalan domestik keluarga yaitu bekerja di dapur.
Alam dan perempuan merupakan sebuah entitas yang selalu menjadi korban atas prinsip dominasi tersebut. Menurut Karen J Warren, cara berpikir patriarki, dualistik, dan menindas, telah berakibat pada rusaknya alam dan kaum perempuan. Sebab perempuan selalu dinaturalisasi (dialamiahkan) dan alam difeminisasi (dianggap perempuan), akibatnya tidak jelas kapan penindasan satu berakhir dan kapan yang lain dimulai.
Dapat dipahami bahwa paham androsentrisme yang diterapkan laki-laki, tentu secara otomatis akan berdampak langsung pada perempuan. Untuk itu, dominasi klasik inilah yang coba didobrak oleh ekofeminisme dengan menawarkan cara pandang dan perilaku baru untuk mengatasi krisisi lingkungan hidup sekarang ini. Ekofeminisme menawarkan sebuah telaah kritis atas akar dari semua krisis lingkungan hidup dewasa ini, menghapus dominasi dan subordinasi, juga menawarkan visi-visi alternatif masa depan yg dengan pandangan yang holistik dan lebih ramah lingkungan.
Lahirnya Ekofeminsme
Istilah Ekofeminsme pertama kali pada tahun 1974 dalam buku tulisan Francoise d’eaubonne yang berjudul la Feminisme ou la mort.  Dalam karya ini diungkapkan pandangan tentang hubungan langsung antara eksploitasi alam dengan penindasan pada perempuan. Kedua-duanya tak bisa dipisahkan sebab persoalan lingkungan dan perempuan sangat ditentuka  keterpusatan yang terletak pada laki-laki (androsentrisme). Adapun definisi ekofeminisme seperti dinyatakan Ariel Salleh adalah sebagai berikut :
“eco-feminism adalah pengembangan kini dalam pemikiran feminisme yang menyatakan bahwa krisis lingkungan global akhir-akhir ini adalah diramalkan sebagai hasil kebudayaan patriarkal” (salleh, 1988)
Teori diatas diperkuat oleh pandangan Karen J. Warren sebagai berikut :
“keyakinan, nilai, sikap, dan asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarki yang menindas, yang bertujuan untuk menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan antara dominasi dan subordinasi secara umum, serta dominasi antara laki-laki dan perempuan pada khususnya.”
Sherry B. Ortner menyatakan bahwa tidak mudah bagi perempuan untuk memutuskan kedekatannya dengan alam. Sebab praktis hampir semua kebudayaan menunjukan bahwa perempuan selalu lebih dekat dengan alam. Ada tiga alasan yaitu : pertama, fisiologi perempuan. Dimana yang lebih terlibat dalam waktu yang lebih lama dengan spesies kehidupan yang merawat masa depan kemanusiaan. Kedua, tempat perempuan adalah domestik, yakni tempat bayi-bayi serupa binatang perlahan-lahan ditransformasi menjadi makhluk kultural. Ketiga, psikologi perempuan yang dibentuk sesuai dengan fungsi ibu melalui sosialisasi dirinya sendiri yang condong berpikir konkret, relasional dan lebih khusus dibandingkan laki-laki.
Susan Griffin menyatakan bahwa perempuan mempunyai cara khusus untuk mengetahui dan melihat realitas, sebab perempuan memiliki modal pengalaman antara dirinya dengan alam. Dunia perempuan cenderung bersifat subjektif, penuh gairah, danbertubuh, sedangkan dunia laki-laki bersifat datar, objektif, dan tidak bertubuh. Menurutnya pula, alam tidak bisa direduksi ke dalam kegunaan bagi kebudayaan bagitupun bagi laki-laki. Oleh karena itu perempuan harus mengeluarkan manusia dari dunia yang dualistik semu dan destruktif, yang selama ini dibawa oleh filsuf-filsuf dari barat dengan corak berpikir patriarkis.
Vandana Shiva dan Maria Mies menyatakan sebagai berikut alam buku Ecofemism: “dalam struktur yang ada, secara inheren terdapat ketidak adilan karena struktur yang telah ada memungkinkan negara-negaara utara mendominasi negara-negara selatan, laki-laki mendominasi perempuan dan semakin banyak penjarahan terhadap sumberr daya alam, maka semakin terjadi ketimpangan dalam distribusi keuntungan ekonomi dalam penguasaan alam.
Terpublikasinya gerakan ekofeminsme yang dimotori vandana Shiva, tidak lepas dari gerakan Chipko di india pada tahun 1974. Tujuh puluh empat perempuan di Kota Reni, bagian Utara India, bersepakat menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat pohon-pohon yang hendak ditebang oleh perusahaan-perusahaan besar. Gerakan ini berhasil menyelamatkan sekitar 12.000 kilometer areal hutan. Gerakan perempuan dalam penyelamatan lingkungan ini disebut garakan Chipko yang dalam bahasa indonesia artinya memeluk.
Adapula gerakan Whyl, yang merupakan kelompok yang paling aktif menolak penggunaan tenaga atom. Kelompk ini berhasil membentuk jaringan gerakan lingkungan yang ada di Prancis, baik yang dimotori kaum feminis, intelektual maupun mahasiswa. Pada tahun 1978, kaum feminis di Jerman banyak berpartisipasi aktif dalam partai Hijau (Green Party) dengan lebih memperhatikan perjuangan ekologi dibandingkan masalah feminisme. Pada masa itu, ratusan ribu warga Jerman Barat turun ke jalan memprotes penempatan rudal jarak menengah Amerika Serikat, karena khawatir eskalasi berikutnya akan memicu persaingan senjata nuklir. Perjuangan partai ini bahkan sampai berhasil menempatkan wakilnya Marieluise Beck di kursi parlemen Jerman pada tahun 1980.
Maria Mies mengatakan : Ekofeminis tidak seperti yaang diargumentasikan sebagian orang bahwa perempuanlah yang akan membersihkan kekacauan ekologis yang disebabkan laki-laki patriarkal-kapitalis. Oleh karena itu, perspektif subsistensi berarti laki-laki harus berbagi dalam praktiknya kewajiban pemeliharaan bumi. Laki-laki harus memulai gerakan untuk mendefinisi ulang identitas mereka, harus berhenti terlibat dalam kegiatan produksi komoditas yang bersifat destruktif demi kepentingan akumulasi dan mulai berbagi pekerjaan dalam penyelamatan lingkungan.
Mies pun memberikan beberapa solusi penyelamatan lingkungan hidup dengan perspektif ekofeminsme diantaranya : manusia harus menghasilkan sebatas yang diperlukan untuk kebutuhan fundamental, manusia menggunakan alam sebatas kebutuhan saja, manusia harus mengganti konsep demokrasi representatif dengan demokrasi partisipatif, manusia harus mengembangkan penyelesaian masalah yang multidimensional dan sinergis, manusia harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis kearifan lokal, manusia harus menghancurkan dikotomi-dikotomi yang dibangunnya, manusia harus memandang alam dan segala isinya adalah milik bersama yang harus dijaga bersama, laki-laki dan perempuan harus menumbuhkan nilai-nilai feminim tradisional (peduli, simpati, merawat), manusia harus menyadari bahwa tidak setiap orang harus mendapatkan semuanya.
Kritik Ekofeminsme terhadap Kapitalisme
Konsep Women in development (WID) sebagai bagian utama dari ideologi developmantalisme yang di canangkan untuk mendorong keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan utamanya di negara-negara berkembang. Semenjak tahun 1970an, pembangunan begitu massiv dilakukan diseluruh belahan dunia dan sangat menggembirakan ketika WID juga menjadi satu-satunya kebijakan resmi yang berkenaan dengan hak-hak perempuan untuk turut serta dalam pembangunan, yang dimulai ketika pemerintahan AS mengumumkan The Pescy Amandement bagi Undang-Undang Bantuan Luar Negeri 1973 yang menetapkan perhatian khusus pada perempuan.
Namun, konsep WID ini tidak terbukti membebaskan perempuan dari ketertindasan. Bahkan melalui Revolusi Hijau, ketertindasan perempuan semakin dilanggengkan disertai dengan kerusakan ekosistem lingkungan. Seiring dengan perkembangan dan kritik terhadap kapitalisme, ide-ide developmentalisme ini mereposisi dirinya dengan konsep-konsep New International Division of Labour (NIDL) yang memunculkan konsep neoliberalisme dengan jargon globalisasi.
Bagi gerakan perempuan, perubahan wajah kapitalisme ini secara substansial tidak mengubah sifat dasarnya yang selalu eksploitatif dan akumulatif. Sebagai bentuk terbaru dari wajah kapitalisme, globalisasi tetap dipandang sebagai sebab utama penindasan perempuan dan kerusakan terhadap ekosistem.
Pada beberapa studi tentang Revolusi Hijau, terungkap bahwa perempuan menjadi pihak yang paling dikorbankan dalam masalah ini. Dengan menggunakan program yang dijalankan pemerintah, Revolusi Hijau masuk kedalam kehidupan masyarakat agraris (termasuk Indonesia). Pemerintah mengharuskan rakyatnya mengadopsi teknologi pertanian asing untuk meningkatkan produksi pertanian. Misalnya penggunaan benih varietass unggul, pupuk kimia, pestisida, dll.
pemerintah menerapkan program pelatihan menggunakan teknologi pertanian untuk petani laki-laki. Perempuan diberi wadah untuk mengembangkan keterampilan domestik mereka. Disini, kesejahteraan keluarga diukur lewat terampilnya perempuan mengurus rumah tangga (domestik), sesuatu yang ‘dikonstruksikan’ negara dalam membangun sistem produksi-reproduksi (tenaga kerja) terselubung.
Pemerintah memaksakan program ini karena ada korporasi benih yang secara sentralistik menyeragamkan benih, kemudian pestisida, inovasi teknik penggemburan tanah, hingga pembuatan bendungan. Korporasi elit yang dalam dunia pertanian dikenal dengan TNCs (Trans National Corporations) yang merupakan milik negara-negara maju atau pemegang saham di IMF. Negara-negara maju itulah yang merupakan lembaga donor bagi negara-negara berkembang termasuk indonesia. Jadi ada konspirasi besar yang seakan memaksa kita untuk meninggalkan metode pertanian lokal yang ramah lingkungan untuk bergantung pada teknologi asing yang dampak ekologisnya sudah jelas merusak lingkungan.
Revolusi Hijau bukanlah sekedar program pertanian, namun merupakan strategi perubahan melawan paradigma tradisionalisme menuju monokultur dan homogen. Ia bukan hanya soal ekonomi, tapi proses hegemoni dan kekuasaan budaya yang menggusur ideologi budaya dan politik perempuan lokal. Lembaga keagamaan, pendidikan dan media massa dipakai untuk mempropagandakannya sebagai cara terbaik umtuk memecahkan masalah kemiskinan. Disinilah perusakan ekologis dan ketertindasan perempuan bermula.
Seiring dengan globalisasi, muncul pula istilah Bioteknologi dan Biofuel. Keanekaragaman hayati yang bagi kaum perempuan mempunyai nilai keberlangsungan kehidupan, bagi industri bioteknologi hanya dianggap sebagai ‘bahan baku’. Melalui mekanisme teknologi, ‘bahan baku’ tersebut diolah menjadi bibit ‘unggul buatan’ yang dipatenkan demi keuntungan. Bioteknologi bagi kaum ekofeminis dipandang sebagai bencana bagi lingkungan dan petani perempuan di Selatan. Teknologi dan komersialisasi serta paten bibit menjadi musuh perempuan karena selain menggangu proses kreasi alamiah, juga merupakan proses pencurian hak kaum perempuan miskin atas pengetahuan dan sumber daya.
Disamping itu, kebijakan Biofuel yang sementara digalakkan pemerintah untuk mengurangi krisis energi sangat berdampak pada lingkungan. Memang secara kajian gas buangnya, produksi biofuel terkesan ramah lingkungan karena sedikit menghasilkan polusi dalam jumlah yang relatif kecil namun perlu diketahui bahwa kerusakan yang diakibatkan penggunaan biofuel dihasilkan selama memproduksi etanol sebagai bahan baku utama yang menghasilkan emisi dan zat beracun. pemanfaatan biofuel secara otomatis membuka peluang terjaddinya pembakaran hutan saat pembukaan lahan, penggunaan pupuk penyubur untuk meningkatkan daya subur tanah, penggunaan pestisida pada perkebunan jagung, dan proses yang lain yang sangat berdampak pada lingkungan dan juga mengancam Food security karena sebagian besar lahan produktif dan kritis akan dikonfersikan menjadi lahan biofuel.

Ekofeminisme Vandana Shiva
Vandana Shiva, dalam melakukan pendekatannya guna memahami penindasan perempuan dan relasinya terhadap kerusakan alam menggunakan cara pandang yang khas, yaitu memfokuskan gagasannya pada dua ideologi yang berlawanan. Yakni antara prinsip ‘maskulinitas’ dan prinsip ‘feminitas’, sebagai the sustenance perspective yaitu prinsip yang diperlukan bagi kehidupan, adalah prinsip yang berciri kedamaian, keselamatan, kasih dan kebersamaan. Sebaliknya, maskulinitas bercirikan persaingan, dominasi, eksploitasi dan penindasan, yaitu prinsip penghancuran.
Shiva menawarkan pendekatan holistik, yakni kaitan antara feminitas dan ekologi. Dominasi prinsip maskulinitas yang anti alam dan perempuan, tetapi juga hancurnya ekologi dan sistem pengetahuan lainnya yang non rasionalis, termasuk prinsip feminin. Shiva melihat model pembangunan sebagai pembangunan yang bersifat barat, patriakal, dan didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang memenuhi pasar global sebagai salah satu hal yang menghancurkan kaum perempuan, alam dan yang lainnya. Shiva menunjukkan pertentangan antara antara model pembangunan barat yang bersifat untuk kulit putih, laki-laki, serta patriakal, dengan sistem pertanian tradisonal India yang bekerja dalam harmoni dengan alam.
Model pembangunan barat mengawali teknik-teknik penanaman monokultur di bidang kehutanan dan pertanian guna memenuhi permintaan pasar dan mengumpulkan kapital. Model ekonomi tradisional India telah melestarikan satu hubungan dengan alam yang saling menguntungkan melalui budidaya tanaman-tanaman multikultur untuk produksi subsisten lokal, dengan menggunakan apa yang alam dapat hasilkan dalam sistem pertanian tradisional.
Disini dapat kita lihat bahwa pemikiran Shiva muncul sebagai sebuah model pembangunan alternatif. Ia menawarkan solusi untuk memulihkan sistem-sistem pertanian subsisten secara global. Sebab mengkomoditaskan alam dan tenaga kerja perempuan yang merupakan sifat dari model pembangunan Barat telah menimbulkan penumpukan kapital di negara-negara maju dan kemiskinan di negara berkembang.

Keraf, Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas, 2002
Susilo,Rachmad K. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press, 2008




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbandingan teori Perencanaan John Friedman dan Barclay Hudson

Pajak dan Pencemaran Lingkungan

Teknologi Reverse Osmosis untuk pengolahan air bersih di Pesisir dan pulau-pulau Kecil