Gerakan Ekofeminisme dan Kritiknya terhadap Kapitalisme
Gerakan Ekofeminisme dan Kritiknya
terhadap Kapitalisme
Tentunya sejak kita duduk
dibangku sekolah dasar, kita selalu mendengar istilah Ibu Pertiwi yang berarti
bumi tempat kita hidup. Pertanyaannya adalah mengapa Bumi diasosiasikan dengan
kata Ibu pertiwi...?? apakah Bumi atau alam secara keseluruhan mempunyai
hubungan yang filosofis dan kultural dengan Ibu yang bermakna perempuan. Tentunya
pemaknaan ini bukan pada persoalan jenis kelamin apakah “ibu pertiwi” ataukah
“bapak pertiwi” melainkan jika dicermati, merupakan sebuah logika struktural
yang dibangun oleh laki-laki untuk mendikotomikan perbedaan sifat dan peran
antara laki-laki dan perempuan.
kasih sayang, kepedulian,
keikhlasan, merawat, menjaga, membesarkan tanpa pamrih selalu dihubungkan
dengan perempuan seolah hanya perempuan yang memiliki sifat tersebut sementara
laki-laki menganggap dirinya lebih tinggi dengan kekuasaan dan kekuatan
fisiknya bisa menguasai alam termasuk perempuan. Logika dominasi ini sudah
terbangun sejak dulu, berdasarkan prinsip maskulinitas, patriarkis dan
hierarkis yang hingga kini secara sadar atau tidak masih dianut masyarakat
modern.
Untuk itulah pandangan
ekofeminisme lahir yang merupakan sebuah bentuk telaah lingkungan yang
mendobrak cara pandang dominan yang berlaku dalam masyarakat modern yaitu
antroposentrisme bahkan lebih khusus lagi yaitu Androsentrisme yang merupakan
paham dan etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Bahwa hanya laki-laki
berhak menguasai alam termasuk perempuan dan berhak untuk menentukan pilihan
dan mengelola kehidupannya. Secara tradisional paham ini masih diterapkan pada
masyarakat kita yang patriarkal, contohnya dalam keluarga, anak laki-laki
diberikan kekebasan dan hak yang besar untuk bekerja atau melanjutkan
pendidikan sementara perempuan dibatasi pada jenjang tertentu saja kemudiaan dipaksa
mengurusi persoalan domestik keluarga yaitu bekerja di dapur.
Alam dan perempuan merupakan
sebuah entitas yang selalu menjadi korban atas prinsip dominasi tersebut. Menurut
Karen J Warren, cara berpikir patriarki, dualistik, dan menindas, telah
berakibat pada rusaknya alam dan kaum perempuan. Sebab perempuan selalu
dinaturalisasi (dialamiahkan) dan alam difeminisasi (dianggap perempuan),
akibatnya tidak jelas kapan penindasan satu berakhir dan kapan yang lain
dimulai.
Dapat dipahami bahwa paham androsentrisme
yang diterapkan laki-laki, tentu secara otomatis akan berdampak langsung pada
perempuan. Untuk itu, dominasi klasik inilah yang coba didobrak oleh
ekofeminisme dengan menawarkan cara pandang dan perilaku baru untuk mengatasi
krisisi lingkungan hidup sekarang ini. Ekofeminisme menawarkan sebuah telaah
kritis atas akar dari semua krisis lingkungan hidup dewasa ini, menghapus
dominasi dan subordinasi, juga menawarkan visi-visi alternatif masa depan yg dengan
pandangan yang holistik dan lebih ramah lingkungan.
Lahirnya Ekofeminsme
Istilah Ekofeminsme pertama kali
pada tahun 1974 dalam buku tulisan Francoise d’eaubonne yang berjudul la Feminisme ou la mort. Dalam karya ini diungkapkan pandangan tentang
hubungan langsung antara eksploitasi alam dengan penindasan pada perempuan.
Kedua-duanya tak bisa dipisahkan sebab persoalan lingkungan dan perempuan
sangat ditentuka keterpusatan yang
terletak pada laki-laki (androsentrisme). Adapun definisi ekofeminisme seperti
dinyatakan Ariel Salleh adalah sebagai berikut :
“eco-feminism adalah pengembangan
kini dalam pemikiran feminisme yang menyatakan bahwa krisis lingkungan global
akhir-akhir ini adalah diramalkan sebagai hasil kebudayaan patriarkal” (salleh,
1988)
Teori diatas diperkuat oleh
pandangan Karen J. Warren sebagai berikut :
“keyakinan, nilai, sikap, dan
asumsi dasar dunia barat atas dirinya sendiri dan orang-orangnya dibentuk oleh
bingkai pikir konseptual patriarki yang menindas, yang bertujuan untuk
menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan antara dominasi dan subordinasi
secara umum, serta dominasi antara laki-laki dan perempuan pada khususnya.”
Sherry B. Ortner menyatakan bahwa
tidak mudah bagi perempuan untuk memutuskan kedekatannya dengan alam. Sebab
praktis hampir semua kebudayaan menunjukan bahwa perempuan selalu lebih dekat
dengan alam. Ada tiga alasan yaitu : pertama, fisiologi perempuan. Dimana yang
lebih terlibat dalam waktu yang lebih lama dengan spesies kehidupan yang
merawat masa depan kemanusiaan. Kedua, tempat perempuan adalah domestik, yakni
tempat bayi-bayi serupa binatang perlahan-lahan ditransformasi menjadi makhluk
kultural. Ketiga, psikologi perempuan yang dibentuk sesuai dengan fungsi ibu
melalui sosialisasi dirinya sendiri yang condong berpikir konkret, relasional
dan lebih khusus dibandingkan laki-laki.
Susan Griffin menyatakan bahwa
perempuan mempunyai cara khusus untuk mengetahui dan melihat realitas, sebab
perempuan memiliki modal pengalaman antara dirinya dengan alam. Dunia perempuan
cenderung bersifat subjektif, penuh gairah, danbertubuh, sedangkan dunia
laki-laki bersifat datar, objektif, dan tidak bertubuh. Menurutnya pula, alam
tidak bisa direduksi ke dalam kegunaan bagi kebudayaan bagitupun bagi
laki-laki. Oleh karena itu perempuan harus mengeluarkan manusia dari dunia yang
dualistik semu dan destruktif, yang selama ini dibawa oleh filsuf-filsuf dari
barat dengan corak berpikir patriarkis.
Vandana Shiva dan Maria Mies
menyatakan sebagai berikut alam buku Ecofemism: “dalam struktur yang ada,
secara inheren terdapat ketidak adilan karena struktur yang telah ada
memungkinkan negara-negaara utara mendominasi negara-negara selatan, laki-laki
mendominasi perempuan dan semakin banyak penjarahan terhadap sumberr daya alam,
maka semakin terjadi ketimpangan dalam distribusi keuntungan ekonomi dalam
penguasaan alam.
Terpublikasinya gerakan
ekofeminsme yang dimotori vandana Shiva, tidak lepas dari gerakan Chipko di
india pada tahun 1974. Tujuh puluh empat perempuan di Kota Reni, bagian Utara
India, bersepakat menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat
pohon-pohon yang hendak ditebang oleh perusahaan-perusahaan besar. Gerakan ini
berhasil menyelamatkan sekitar 12.000 kilometer areal hutan. Gerakan perempuan
dalam penyelamatan lingkungan ini disebut garakan Chipko yang dalam bahasa
indonesia artinya memeluk.
Adapula gerakan Whyl, yang
merupakan kelompok yang paling aktif menolak penggunaan tenaga atom. Kelompk
ini berhasil membentuk jaringan gerakan lingkungan yang ada di Prancis, baik
yang dimotori kaum feminis, intelektual maupun mahasiswa. Pada tahun 1978, kaum
feminis di Jerman banyak berpartisipasi aktif dalam partai Hijau (Green Party)
dengan lebih memperhatikan perjuangan ekologi dibandingkan masalah feminisme.
Pada masa itu, ratusan ribu warga Jerman Barat turun ke jalan memprotes
penempatan rudal jarak menengah Amerika Serikat, karena khawatir eskalasi
berikutnya akan memicu persaingan senjata nuklir. Perjuangan partai ini bahkan
sampai berhasil menempatkan wakilnya Marieluise Beck di kursi parlemen Jerman
pada tahun 1980.
Maria Mies mengatakan :
Ekofeminis tidak seperti yaang diargumentasikan sebagian orang bahwa
perempuanlah yang akan membersihkan kekacauan ekologis yang disebabkan
laki-laki patriarkal-kapitalis. Oleh karena itu, perspektif subsistensi berarti
laki-laki harus berbagi dalam praktiknya kewajiban pemeliharaan bumi. Laki-laki
harus memulai gerakan untuk mendefinisi ulang identitas mereka, harus berhenti
terlibat dalam kegiatan produksi komoditas yang bersifat destruktif demi
kepentingan akumulasi dan mulai berbagi pekerjaan dalam penyelamatan
lingkungan.
Mies pun memberikan beberapa
solusi penyelamatan lingkungan hidup dengan perspektif ekofeminsme diantaranya
: manusia harus menghasilkan sebatas yang diperlukan untuk kebutuhan
fundamental, manusia menggunakan alam sebatas kebutuhan saja, manusia harus
mengganti konsep demokrasi representatif dengan demokrasi partisipatif, manusia
harus mengembangkan penyelesaian masalah yang multidimensional dan sinergis, manusia
harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis kearifan
lokal, manusia harus menghancurkan dikotomi-dikotomi yang dibangunnya, manusia
harus memandang alam dan segala isinya adalah milik bersama yang harus dijaga
bersama, laki-laki dan perempuan harus menumbuhkan nilai-nilai feminim
tradisional (peduli, simpati, merawat), manusia harus menyadari bahwa tidak
setiap orang harus mendapatkan semuanya.
Konsep Women in development (WID)
sebagai bagian utama dari ideologi developmantalisme yang di canangkan untuk
mendorong keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan utamanya di
negara-negara berkembang. Semenjak tahun 1970an, pembangunan begitu massiv
dilakukan diseluruh belahan dunia dan sangat menggembirakan ketika WID juga
menjadi satu-satunya kebijakan resmi yang berkenaan dengan hak-hak perempuan
untuk turut serta dalam pembangunan, yang dimulai ketika pemerintahan AS
mengumumkan The Pescy Amandement bagi Undang-Undang Bantuan Luar Negeri 1973
yang menetapkan perhatian khusus pada perempuan.
Namun, konsep WID ini tidak
terbukti membebaskan perempuan dari ketertindasan. Bahkan melalui Revolusi
Hijau, ketertindasan perempuan semakin dilanggengkan disertai dengan kerusakan
ekosistem lingkungan. Seiring dengan perkembangan dan kritik terhadap
kapitalisme, ide-ide developmentalisme ini mereposisi dirinya dengan
konsep-konsep New International Division of Labour (NIDL) yang memunculkan
konsep neoliberalisme dengan jargon globalisasi.
Bagi gerakan perempuan, perubahan
wajah kapitalisme ini secara substansial tidak mengubah sifat dasarnya yang
selalu eksploitatif dan akumulatif. Sebagai bentuk terbaru dari wajah
kapitalisme, globalisasi tetap dipandang sebagai sebab utama penindasan
perempuan dan kerusakan terhadap ekosistem.
Pada beberapa studi tentang
Revolusi Hijau, terungkap bahwa perempuan menjadi pihak yang paling dikorbankan
dalam masalah ini. Dengan menggunakan program yang dijalankan pemerintah, Revolusi
Hijau masuk kedalam kehidupan masyarakat agraris (termasuk Indonesia).
Pemerintah mengharuskan rakyatnya mengadopsi teknologi pertanian asing untuk
meningkatkan produksi pertanian. Misalnya penggunaan benih varietass unggul,
pupuk kimia, pestisida, dll.
pemerintah menerapkan program
pelatihan menggunakan teknologi pertanian untuk petani laki-laki. Perempuan
diberi wadah untuk mengembangkan keterampilan domestik mereka. Disini,
kesejahteraan keluarga diukur lewat terampilnya perempuan mengurus rumah tangga
(domestik), sesuatu yang ‘dikonstruksikan’ negara dalam membangun sistem
produksi-reproduksi (tenaga kerja) terselubung.
Pemerintah memaksakan program ini karena ada korporasi benih yang secara sentralistik menyeragamkan benih, kemudian pestisida, inovasi teknik penggemburan tanah, hingga pembuatan bendungan. Korporasi elit yang dalam dunia pertanian dikenal dengan TNCs (Trans National Corporations) yang merupakan milik negara-negara maju atau pemegang saham di IMF. Negara-negara maju itulah yang merupakan lembaga donor bagi negara-negara berkembang termasuk indonesia. Jadi ada konspirasi besar yang seakan memaksa kita untuk meninggalkan metode pertanian lokal yang ramah lingkungan untuk bergantung pada teknologi asing yang dampak ekologisnya sudah jelas merusak lingkungan.
Pemerintah memaksakan program ini karena ada korporasi benih yang secara sentralistik menyeragamkan benih, kemudian pestisida, inovasi teknik penggemburan tanah, hingga pembuatan bendungan. Korporasi elit yang dalam dunia pertanian dikenal dengan TNCs (Trans National Corporations) yang merupakan milik negara-negara maju atau pemegang saham di IMF. Negara-negara maju itulah yang merupakan lembaga donor bagi negara-negara berkembang termasuk indonesia. Jadi ada konspirasi besar yang seakan memaksa kita untuk meninggalkan metode pertanian lokal yang ramah lingkungan untuk bergantung pada teknologi asing yang dampak ekologisnya sudah jelas merusak lingkungan.
Revolusi Hijau bukanlah sekedar
program pertanian, namun merupakan strategi perubahan melawan paradigma
tradisionalisme menuju monokultur dan homogen. Ia bukan hanya soal ekonomi,
tapi proses hegemoni dan kekuasaan budaya yang menggusur ideologi budaya dan
politik perempuan lokal. Lembaga keagamaan, pendidikan dan media massa dipakai
untuk mempropagandakannya sebagai cara terbaik umtuk memecahkan masalah
kemiskinan. Disinilah perusakan ekologis dan ketertindasan perempuan bermula.
Seiring dengan globalisasi,
muncul pula istilah Bioteknologi dan Biofuel. Keanekaragaman hayati yang bagi
kaum perempuan mempunyai nilai keberlangsungan kehidupan, bagi industri
bioteknologi hanya dianggap sebagai ‘bahan baku’. Melalui mekanisme teknologi,
‘bahan baku’ tersebut diolah menjadi bibit ‘unggul buatan’ yang dipatenkan demi
keuntungan. Bioteknologi bagi kaum ekofeminis dipandang sebagai bencana bagi
lingkungan dan petani perempuan di Selatan. Teknologi dan komersialisasi serta
paten bibit menjadi musuh perempuan karena selain menggangu proses kreasi
alamiah, juga merupakan proses pencurian hak kaum perempuan miskin atas
pengetahuan dan sumber daya.
Disamping itu, kebijakan Biofuel
yang sementara digalakkan pemerintah untuk mengurangi krisis energi sangat
berdampak pada lingkungan. Memang secara kajian gas buangnya, produksi biofuel
terkesan ramah lingkungan karena sedikit menghasilkan polusi dalam jumlah yang
relatif kecil namun perlu diketahui bahwa kerusakan yang diakibatkan penggunaan
biofuel dihasilkan selama memproduksi etanol sebagai bahan baku utama yang
menghasilkan emisi dan zat beracun. pemanfaatan biofuel secara otomatis membuka
peluang terjaddinya pembakaran hutan saat pembukaan lahan, penggunaan pupuk
penyubur untuk meningkatkan daya subur tanah, penggunaan pestisida pada
perkebunan jagung, dan proses yang lain yang sangat berdampak pada lingkungan
dan juga mengancam Food security karena
sebagian besar lahan produktif dan kritis akan dikonfersikan menjadi lahan
biofuel.
Ekofeminisme Vandana Shiva
Vandana Shiva, dalam melakukan
pendekatannya guna memahami penindasan perempuan dan relasinya terhadap
kerusakan alam menggunakan cara pandang yang khas, yaitu memfokuskan gagasannya
pada dua ideologi yang berlawanan. Yakni antara prinsip ‘maskulinitas’ dan
prinsip ‘feminitas’, sebagai the sustenance perspective yaitu prinsip yang
diperlukan bagi kehidupan, adalah prinsip yang berciri kedamaian, keselamatan,
kasih dan kebersamaan. Sebaliknya, maskulinitas bercirikan persaingan,
dominasi, eksploitasi dan penindasan, yaitu prinsip penghancuran.
Shiva menawarkan pendekatan
holistik, yakni kaitan antara feminitas dan ekologi. Dominasi prinsip
maskulinitas yang anti alam dan perempuan, tetapi juga hancurnya ekologi dan
sistem pengetahuan lainnya yang non rasionalis, termasuk prinsip feminin. Shiva
melihat model pembangunan sebagai pembangunan yang bersifat barat, patriakal,
dan didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang memenuhi pasar global
sebagai salah satu hal yang menghancurkan kaum perempuan, alam dan yang lainnya.
Shiva menunjukkan pertentangan antara antara model pembangunan barat yang
bersifat untuk kulit putih, laki-laki, serta patriakal, dengan sistem pertanian
tradisonal India yang bekerja dalam harmoni dengan alam.
Model pembangunan barat mengawali
teknik-teknik penanaman monokultur di bidang kehutanan dan pertanian guna
memenuhi permintaan pasar dan mengumpulkan kapital. Model ekonomi tradisional
India telah melestarikan satu hubungan dengan alam yang saling menguntungkan
melalui budidaya tanaman-tanaman multikultur untuk produksi subsisten lokal,
dengan menggunakan apa yang alam dapat hasilkan dalam sistem pertanian
tradisional.
Disini dapat kita lihat bahwa
pemikiran Shiva muncul sebagai sebuah model pembangunan alternatif. Ia menawarkan
solusi untuk memulihkan sistem-sistem pertanian subsisten secara global. Sebab
mengkomoditaskan alam dan tenaga kerja perempuan yang merupakan sifat dari
model pembangunan Barat telah menimbulkan penumpukan kapital di negara-negara
maju dan kemiskinan di negara berkembang.
Keraf, Sonny. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas, 2002
Susilo,Rachmad K. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press, 2008
Komentar
Posting Komentar