Manusia Kontra Lingkungan
Dhany.R, 10-sept-2013
Manusia dan Lingkungan hidup
Lingkungan hidup dan manusia
merupakan satu kesatuan dalam ekosistem
yang saling ketergantungan. Dalam kajian ekosistem, lingkungan terbagi
atas beberapa komponen diantaranya komponen Biotik (manusia, hewan, dan tumbuhan),
komponen Abiotik (cahaya, suhu, udara, air, tasnah, dll), dan Komponen Culture
atau Budaya.
Manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang memiliki daya fikir
dan daya nalar tertinggi dibandingkan makluk lainnya. Di sini jelas terlihat
bahwa manusia merupakan komponen biotik lingkungan yang aktif. Hal ini
disebabkan manusia dpaat secara aktif mengelola dan mengubah ekosistem sesuai
dengan apa yang dikehendaki. Sedangkan Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
mahluk hidup lain.
Jelaslah bahwa manusia dan
lingkungan hidup merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dan saling
ketergantungan. Manusia memerlukan lingkungan hidup untuk mendukung aktivitas
sehari-hari dan lingkungan memerlukan manusia untuk memproduksi kembali hasil
yang dikeluarkan oleh manusia dan mendukung semua kehidupan dimuka bumi ini.
Untuk itu, interaksi, interelasi dan interdependensi antara semua komponen dalam
ekosistem yang mencakup manusia dan seluruh makhluk hidup dan tak hidup
didalamnya, harus berjalan dengan baik.
Pada jaman dahulu, pada tahap
Pan-Cosmism, dimana masyarakat dan alam masih hidup berdampingan, alam dianggap
sebagai sesuatu yang sakral dan tak terlawankan dan manusia hidup dengan memanfaatkan
hasil alam sesuai dengan kebutuhan saja. Keseimbangan alam masih terjaga,
karena daya dukung dan daya tampung lingkungan masih lebih besar daripada
kebutuhan manusia saat itu. Namun seiring kemajuan peradaban dan teknologi,
paradigma tersebut mulai bergeser ke tahap Antroposentrisme dimana manusia
mulai berusaha menguasai alam. Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk,
perkembangan pola pikir, modernisasi, hingga penemuan-penemuan teknologi dan
mesin industri, adalah beberapa alasan mendasar yang mendorong terbentuknya
paradigma tersebut demi memenangkan persaingan dalam pemenuhan kebutuhan
ekonomi.
Persaingan untuk memenuhi
kebutuhan dasar sandang pangan pun semakin tinggi sehingga mendorong manusia
untuk menciptakan teknologi dan mesin yang mampu mengeksploitasi sumber daya
alam secara berlebihan dan liar.
Sumber daya alam pun dieksploitas
secara liar dan massiv. Dampaknya adalah kerusakan lingkungan karena telah
terjadi ketidakseimbangan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan
tersebut dengan aktifitas masyarakatnya yang mungkin saja berpikir “kalau
sanggup mengeruk alam sebanyak-banyaknya, mengapa tidak..?”.
Lingkungan mulai rusak
Perilaku Antroposentrisme,
menetapkan manusia sebagai pusat semesta. Hanya manusia yang mempunyai nilai.
Sehingga alam dengan segala isinya adalah alat pemuas kebutuhan manusia.
Hubungan manusia dan alam berada pada relasi materi dan ekonomis. Manusia baik
secara sadar maupun tidak, berinteraksi dengan industrialisme, konsumerisme dan
perkembagan teknologi, menjadi sebab kerusakan lingkungan. Akibatnya semua sisi
lingkungan menjadi rusak baik itu lingkungan fisik maupun biologi dan bencana
alam pun datang silih berganti.
Beberapa kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi baik
dalam skala global mencerminkan betapa kondisi bumi kita saat ini benar-benar
telah memprihatinkan.
Rusaknya lingkungan air,
berbentuk pencemaran disungai-sungai oleh limbah-limbah domestik/rumah tangga
dan industri yang langsung mengalirkan limbah produksinya ke badan sungai dan
laut menyebabkan kematian pada ikan dan rusaknya ekosistem air tersebut. Lebih
jauh pencemaran itu dapat menyebabkan mutasi genetis pada ekosistem air tesebut
sepert ikan dan makhluk lain yang hidup didalamnya dan akan sangat berbahaya
ketika dikonsumsi oleh manusia seperti yang terjadi pada tragedi minamata di
Jepang dan teluk buyat yang tercemar limbah mercury. dan yang saat ini sedang menjadi perdebatan
adalah pencemaran danau Toba di Sumatera Utara oleh Limbah ternak babi. Padahal
daerah ini merupakan destinasi pariwisata yang sangat terkenal juga tak luput
dari pencemaran limbah industri.
Kerusakan lingkungan juga dapat
dilihat dari kualitas udara, seperti munculnya beragam polusi atau pencemaran
udara, baik yang dihasilkan oleh industri maupun kendaraan bermotor. Peristiwa
yang sangat ekstrim terjadi ketika kecelakaan industri di Bhopal, India pada
tahun 1984 yang menyebabkan polusi udara, yakni gas beracun. Peristiwa lain
juga terjadi pada bencana radiasi nuklir di chernobyl, Ukraina pada tahun 1986 dan
kebocoran reaktor nuklir Fukushima jepang yang meledak terkena tsunami pada
tahun 2011 lalu. Di tanah air, marak terjadi kebakaran Hutan, seperti yang
terjadi kembali di riau beberapa bulan lalu yang disebabkan oleh pembukaan
lahan untuk kebutuhan perkebunan kelapa sawit. Asap tebal membuat penurunan
signifikan terhadap kualitas udara dan dampaknya pun merambah hingga ke negara
tetangga seperti Singapura.
Sementara itu, rusaknya tanah dan hutan kita, tidak lepas dari adanya
lahan-lahan krisis akibat penggundulan hutan dan pembukaan lahan secara
besar-besaran untuk aktivitas pertambangan dan perkebunan misalnya pembukaan
lahan perkebuan kelapa sawit di sumatera dan aktivitas pertambangan yang
semakin marak di Kalimantan, papua, dan kini sulawesi. Hutan yang
menyangga sistem lingkungan hidup
didunia sebagai rumah untuk segala keanekaragaman hayati, penghasil oksigen dan
penyedia cadangan air telah mengalami kerusakan parah. Kerusakan hutan tentunya
menyebabkan pula punahnya satwa-satwa langka yang hidup didalamnya misalnya
orang utan, badak, harimau, dll.
Yah,,memang negara kita saat ini
sebagai negara berkembang, semakin “gila”nya mengeksploitasi kekayaannya guna
mengejar ketertinggalan dengan negara-negara maju. Para pemimpin negara ini
sepertinya menganut paham modernisme Kemajuan dan pertumbuhan di bidang ekonomi
dan materi menjadi tolok ukur kemajuan paeradaban suatu bangsa, tanpa pernah
berpikir mengenai kerugian dari dampak ekologis yang ditimbulkannya sangat
besar. Negara kita mempunyai sumberdaya alam yang begitu besar namun kita tidak
mempunyai teknologi dan sumber daya manusia untuk mengolah itu. Untuk itu, kita
mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar negeri untuk bekerja dan
mengeksploitasi kekayaan di negeri kita.
Namun apa yang kita dapatkan..??
kita “dirampok” secara sadar dan kita tidak mempunyai daya untuk menghalau hal
tersebut. Akhirnya yang terjadi kemudian adalah bukannya kemajuan eknomi yang
terjadi melainkan lingkungan kita yang menjadi rusak dan utang negara kita
semakin bertambah untuk mengimpor teknologi dan tenaga ahli dari luar. Belum
lagi di tambah dengan biaya yang dibutuhkan untuk menangani kerusakan
lingkungan dan bencana yang ditimbulkannya misalnya banjir, kebakaran hutan,
tanah longsor, dll. Nah pertanyaannya kapan kita akan menikmati kekayaan kita
jika hasil kekayaan itu habis terpakai untuk membayar utang dan membiayai
bencana yang semakin sering terjadi...??
KTT Bumi 1992 Gagal..??
KTT Bumi yang di sepakati di Rio
de janiero pada tahun 1992, sempat membawa angin segar bagi keberlanjutan
lingkungan dengan dicanangkannya sustainable development, namun nampaknya konsep
dan paradigma pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada pembangunan
ekonomi, sosial budaya dan lingkungan, masih belum mampu dilaksanakan selama
kurun waktu 21 tahun ini. Nampaknya ideologi economic developmentalism masih
menguasai sebagian besar paradigma bangsa-bangsa di dunia ini. Dan kita bisa
saja berpendapat bahwa ideologi ini sebenarnya bersifat politis untuk
meloloskan kepentingan negara-negara eropa di belahan utara yang menguasai
industri dan teknologi terhadap negara-negara selatan yang memiliki kekayaan
sumber daya alam. Setidaknya dalih keberlanjutan tiga aspek tersebut mampu
“meninabobokan” negara-negara berkembang untuk mendukung gerakan ini sebagai
solusi krisis lingkungan global. Namun nyatanya, eksploitasi sumber daya alam,
malah semakin menggila...
Kita tentunya telah menyaksikan
melalui media telvisi, koran, dan internet bagaimana kerusakan lingkungan dan
eksploitas Sumber daya alam dimuka bumi ini secara berlebihan terjadi
dimana-mana dengan tingkat kerusakan yang sudah sangatmengkhawatirkan. Maka
fenomena ini seharusnya lebih menyadarkan dan menggugah hati kita untuk
mengkoreksi kembali pola pikir dan tindakan sosial kita selama ini, kemudian
berbuat sesuatu untuk masa depan lingkungan, baik berbentuk tindakan afektif,
kognitif, psikomotrik maupun tindakan yang bersifat teoritis dan praktis.
Beberapa tindakan untuk mewujudkan hal ini dilihat dari munculnya kesadaran
ekologis (ecological awareness) yang menjadi stimulti yang cukup cerdas untuk
mencounter pemahaman anthroposentrisme.
Kembali pada Alam
Menurut arne naess, permasalahan
terbesar yang harus diatasi adalah pada persoalan paradigma kita terhadap
lingkungan itu sendiri. Dan untuk mengatasi krisis lingkungan yang terjadi,
maka paradigma atau cara pandang harus dirubah secara fundamental dan radikal.
Dengan memahami bahwa hanya dengan memperlakukan alam secara etis, menempatkan
alam dengan segala isinya termasuk hewan dan tumbuhan sebagai sebuah kesatuan
ekologis dan saling ketergantungan dengan manusia, menghapus paham dominasi
manusia terhadap alam, juga menghapus dikotomi manusia sebagai subjek dan alam
sebagai objek. Begitupun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang harus diarahkan kepada nilai-nilai etis terhadap lingkungan.
Arne naess menyebut pandangan itu
sebagai ecosophy yang berarti kearifan lingkungan, dalam pandangan ini
danjurkan untuk pola dan gaya hidup yang sesuai dengan kearifan merawat alam
sebagai rumah tangga bagi semua makhluk hidup. Keinginan memelihara hubungan
yang serasi dengan alam melahirkan banyak pengetahuan lokal (indigenous people)
yang sangat berguna untuk pelestarian daya dukung lingkungan. Indigenous
knowmledga yang merupakan environmental wisdom sampai sekarang masih ada yang
dipelihara dengan dan diterapkan secara turun temurun oleh beberapa suku
tradisional di antaranya tradisi “zoning” di suku Tabla di papua yang membuat
batasan-batasan wilayah untuk pemukiman, pertanian, hingga daerah keramat yang
tak boleh diganggu, ada juga tradisi sistem Sasi di Maluku dan Papua yang melarang
masyarakatnya menangkap ikan pada musim-musim tertentu seperti pada saat musim
transissi, dan ketika adanya perayaan adat. Larangan ini bertujuan untuk
memberikan kesmpatan pada ikan untuk hidup dan berkembang lagi sehingga ketika
sasi kembali dilepas, hasil tangkapn ikan akan semakin banyak.
Ada juga tradisi suku baduy dalam
pengelolaan pangan secara mandiri (self reliance) yang membuat masyarakatnya
swasembada beras. Kemandirian ini dibangun dengan cara tidak memperjualbelikan
hasil pertanian (padi) melainkan disimpan dilumbung, baik lumbung bersama
maupun lumbung keluarga. Lumbung bersama diisi oleh padi yang ditanam
bersama-sama sedangkan lumbung keluarga diisi padi yang ditanam sendiri.
Pengambilan gabah baik untuk acara adat maupun untuk konsumsi sehari-hari
diatur dengan aturan adat yang telah ditentukan sesuai dengan kubutuhan dan
persediaan gabah.
Beberapa contoh diatas merupakan
bukti kearifan lokal yang masih diterapkan hingga saat ini oleh masyarakat
tradisional. Mereka mampu membangun keharmonisan dengan lingkungan alam dan
memanfaatkan sumber daya alam sesuai kebutuhan, disamping itu juga masyarakat
meningkatkan kualitas kehidupan sosialnya untuk membangun kemandirian
masyarakatnya tanpa harus bergantung pada teknologi luar.
Tentunya untuk mewujudkan hal
diatas bukanlah merupakan hal mudah karena yang ingin dirubah adalah paradigma
manusia yang sangat kompleks. Dan tantangan yang kemudian dihadapi adalah
Jumlah peduduk yang semakin meningkat serta kemajuan teknologi yang seolah
memaksa kita untuk mengikuti pola hidup modernisme dan meningglkan kearifan
lokal kita.
Permasalahan krisis lingkungan
dan kependudukan bukanlah masalah yang bisa diselesaikan secara parsial dari
sisi ekonomis saja dengan menciptakan teknologi mutakhir, namun lebih dari itu,
ekologi manusia dan semua komunitas biotis maupun abiotis didalamnya meruapakan
jaringan kompleks yang juga meluputi persoalan sosial dan budaya dan
lingkungan. Bumi ini bukanlah mesin yang solusi permasalahannya harus dipahami
secara mekanis dan reduksionistis melainkan harus dipahami secara
holistik(menyeluruh) dan sistematis.
Komentar
Posting Komentar